Menjadi aktris baru, nyatanya membuat kehidupan Launa Elliza Arkana jungkir balik. Menjadi pemeran utama dalam project series kesukaannya, ternyata membuat Launa justru bertemu pria gila yang hendak melec*hkannya.
Untung saja Launa diselamatkan oleh Barra Malik Utama, sutradara yang merupakan pria yang diam-diam terobsesi padanya, karena dirinya mirip mantan pacar sang sutradara.
Alih-alih diselamatkan dan aman seutuhnya, Launa justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Barra, hingga ia terperosok ke dalam jurang penyesalan.
Bukan karena Barra menyebalkan, tapi karena ia masih terikat cinta dengan sahabat lamanya yaitu Danu.
“Lebih baik kau lupakan kejadian semalam, anggap tidak pernah terjadi dan berhenti mengejarku, karena aku bukan dia!” ~Launa Elliza
“Jangan coba-coba lari dariku jika ingin hidupmu baik-baik saja.” ~ Barra Malik Utama
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erma Sulistia Ningsih Damopolii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 4 Saya Minta Kamu Disiplin! - Barra
Iva maupun Launa sama-sama terkejut melihat sosok yang kini tengah menyelamatkan mereka.
“Pak Garry?” Ucap mereka bersamaan.
Tak puas karena orang tersebut malah masih memelototinya, Garry kembali menarik kerah kaos orang tersebut dan membuka penutup wajahnya secara kasar. Begitu wajahnya terlihat, ia kembali melayangkan bogem di wajah pria itu hingga orang itu kembali tersungkur.
“Siapa kamu?” Gertak orang tersebut hingga emosi Garry terpancing. Garry pun melonggarkan dasinya lalu kemudian kembali menghajar orang tersebut hingga pria itu berteriak minta ampun.
Lantas, pria itu lari tunggang langgang dari hadapan mereka dalam keadaan takut.
Melihat hal itu, Launa maupun Iva bernapas lega. Garry pun menghampiri mereka dan bertanya.
“Kalian baik-baik saja?”
“Iya pak saya baik-baik saja, tapi Iva_”
“Saya juga baik-baik saja kok pak.” Sergah Iva karena tak ingin merepotkan Garry terlalu jauh.
“Tadi Launa bilang Iva, Iva kenapa?” Tanya Garry sembari memperhatikan wajah Iva yang tampak meringis kesakitan.
“Tidak apa-apa pak.”
“Kamu meringis, apa orang itu menyakitimu?”
“Dia menendang perut Iva pak.”
“Apa?”
“Tapi sudah tidak terlalu sakit kok pak, apa saya dan Launa sudah boleh kembali?” Tanya Iva yang sungkan andai dia harus merepotkan Garry lagi.
“Eh sebentar, lebih baik biar aman kalian saya antar.”
“Tapi kami bawa mobil pak.”
“Mobil kalian biar anak buah saya yang bawa, kalian naik bersama saya saja.” Tawar Garry hingga Iva dan Launa perlahan mengangguk tanda setuju.
Akhirnya, mereka pulang dengan diantar Garry sampai ke rumah Iva. Begitu tiba, Launa dan Iva kembali berterimakasih pada Garry.
“Sama-sama, jangan sungkan, kalau butuh bantuan kalian bisa hubungi whatsapp saya. Ada di dalam group.”
“Iya pak sekali lagi_”
“Sama-sama.” Timpal Garry memotong ucapan Launa.
“Apa bapak tidak mam_” belum sempat Launa menyelesaikan kalimatnya, ia justru mendapat cubitan kecil di pahanya hingga Launa melirik Iva penuh tanya.
“Eh kami_masuk duluan ya pak.” Pungkas Iva lalu kemudian mereka hendak melangkah namun Garry kembali menghentikan langkah mereka.
“Ada apa pak?” Tanya Launa penasaran.
“Launa, kamu ikut ke pesta perayaan ulang tahun perusahaan ya besok?” Tawar Garry namun Launa masih tampak bungkam. Iva pun melirik Launa penuh harap dan segera menimpali.
“Iya pak Launa pasti ikut. Iya kan Lau? Kamu mau ikut kan?” Tanya Iva memberi kode hingga Launa pun mengangguk.
Alhasil, Launa menyetujui permintaan Garry mengingat jasanya malam ini.
****
“Va, pak Garry itu baik banget ya? Ramah, dan bedah sama bosnya itu.” Tutur Launa saat mereka sudah ada di kamar Iva.
“Iya, pak Garry memang ramah, dan juga berbahaya.” Ucap Iva namun kalimat terakhirnya hanya ia lanjutkan dalam hati.
“Beruntung banget dia bisa datang tepat waktu, kalau tidak, nggak tau deh gimana nasib kita.”
“I_iya. Aku ganti baju dulu ya Lau.”
“Aku juga ikut.” Tutur Launa lalu kemudian mengikuti langkah Iva menuju walk in closet.
Iva tidak mengutarakan secara jujur bagaimana karakter Garry yang sebenarnya karena tak ingin Launa ilfiel dan tiba-tiba batal pergi ke acara besok.
Usai ganti pakaian, Iva meraih ponselnya di atas nakas, dan membaca pesan dari pak Barra.
“Lau, besok pagi jam tujuh pak Barra minta kamu ke lokasi syuting, katanya dia mau kamu datang cepat biar kamu bisa latihan dulu. Ponsel kamu mana sih Lau? Kenapa pesan group pak Barra tidak kamu baca?”
“Sengaja, malas aja baca ketikan darinya. Kan ada kamu yang akan menyampaikan langsung padaku.” Ujar Launa seraya mengulas senyum termanis di hadapan Iva.
Mendengar itu Iva pun menghela napas panjang, saudaranya ini memang kerap bertindak sesuka hati.
****
Matahari mulai menunjukkan eksistensinya, meninggalkan rembulan yang semalam menyinari malam yang pekat itu. Mentari yang masuk melalui ventilasi jendela, menerpa wajah Launa hingga ia menggeliat dan membuka matanya perlahan.
Seperti orang pada umumnya, Launa tidak langsung bangun. Begitu membuka mata, ia masih bengong layaknya orang terlilit hutang ratusan milyar. Tak lama dari acara bengongnya itu, Launa menatap ke arah mentari yang semakin meninggi. Saat itu juga Launa pun terkesiap dan sadar akan agendanya pagi ini. Bergegas ia meraih ponsel dan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Launa terlonjak dan langsung beranjak dari tempat tidur meninggalkan Iva yang masih terlelap.
Begitu dirinya hampir masuk ke walk in closet, Launa berbalik dan melihat Iva yang justru masih mengarungi lautan mimpi.
“Ivaaaaa!!!” Pekik Launa yang cukup kesal kepada Iva pagi ini, karena tidak membangunkannya.
“Tunggu! Aku nggak boleh buang-buang waktu, aku harus cepat ke kamar mandi terus mandi, ganti baju dan langsung ke lokasi syuting.” Launa kembali menenangkan dirinya dan mengurungkan niatnya untuk memarahi Iva.
Buru-buru Launa mandi dan ganti baju, hari ini ia hanya mengenakan kaos oblong polosnya dan bandana warna soft pink dengan rambut yang dibiarkan tergerai.
Dengan secepat kilat ia menyambar tas dan kunci mobil di nakas Iva dan bergegas turun dari kamar saudaranya itu menuju parkiran.
Beruntung mobil sudah dipanaskan oleh supir Iva, pak Anwar. Jadi Launa bisa langsung berangkat menuju tempat tujuan dan menyetir dengan kecepatan penuh.
Tak butuh waktu lama, Launa kini sudah sampai di lokasi syuting dan benar saja, dia sudah sangat terlambat. Lawan main dan juga para crew sudah berada di sana untuk menunggu dirinya. Tak lupa juga si wajah datar ada di sana. Melihat ekspresi wajah Barra, Launa ngeri ngeri sedap, walaupun katanya tidak takut, tapi kali ini Launa takut padanya. Bagaimana tidak? Pagi ini Launa akui dialah yang salah, jadi pantas saja Barra menjadi momok yang menakutkan baginya hari ini.
“Selamat pagi pak.” Sapa Launa memberanikan diri menyapa Barra.
“Selamat siang juga Launa!” Sahut Barra dengan kalimat menohok tanpa menatap Launa.
“Maaf pak, saya terlambat.” Ungkap Launa sembari menundukkan wajah.
“Ini baru hari pertama, tapi kamu sudah buat ulah.”
“Maaf pak, semalam saya hampir dapat musibah, saya hampir diculik dan untung saja ada pak Garry yang datang menyelamatkan saya dan juga Iva. Jadi say_”
“Stop stop! Saya tidak peduli kamu hampir diculik kek, kerasukan jin kek, mati konyol ataupun semacamnya, saya hanya meminta kamu disiplin.” Timpal Barra tak ingin mendengar keluhan Launa, apapun alasannya dia tidak peduli sungguh.
Mendengar itu, Launa kembali mengumpat dalam hati. Kekesalannya bertambah karena Barra tidak mau mendengar penjelasan darinya.
“Gila ya? Emang kalau aku mati aku masih bisa syuting?” Gumam Launa dalam hati sembari terus menatap kesal punggung Barra yang sudah berlalu dari hadapannya.
Alhasil, mereka memulai syuting karena Barra tidak mau mengulur waktu yang memang sudah terbuang sia-sia.
“Cut! Ulang!” Sentak Barra saat Launa justru lupa dialog di tengah proses syuting berjalan.
“Baik pak.” Sahut Launa lalu syuting kembali diulang.
“Citra, tunggu! Dengarkan penjelasanku dulu.” Ucap lawan main Launa lalu kemudian Launa menatap nyalang ke arah pria itu.
“Brengsek! Lepaskan aku penculik!”
“Cut! Ngaco! Dialognya apa Launa! Dia pasangan kamu bukan penculik.” Pekik salah satu crew yang membantu Barra mengarahkan jalannya film. Sedangkan Barra, hanya memijat pangkal hidungnya tanpa bicara apapun lagi, karena sudah lelah menghadapi Launa.
Entah apa yang Launa rasakan, mendadak dia teringat peristiwa semalam dan malah melontarkan kata-kata itu, seolah dia lupa dan mengira bahwa pasangan mainnya adalah penculik. Padahal di dalam film itu, tidak ada adegan penculikan.
“Maaf, bisa diulang lagi nggak?” Tanya Launa lirih dan kembali menjernihkan pikirannya. Dia berusaha fokus dan tidak ingin melakukan kesalahan lagi.
Akhirnya, syuting pun di ulang dan Launa mulai berakting untuk menunjukkan kepiawaiannya. Untuk kali ini, kemampuan akting Launa mendadak bagus dan mendapat pujian dari para crew kecuali si paling cool Barra.
Selesai itu, Barra langsung beranjak menuju ruangannya untuk makan siang karena proses syuting tersebut berjalan sampai siang hari.
Sementara Launa, ia tak hentinya tersenyum penuh kelegaan karena ia bisa melewati proses syuting dan menunjukkan bakatnya yang luar biasa itu.
Bakat akting Launa memang luar biasa, apalagi dia pandai memainkan wajah dengan berbagai ekspresi yang dituntut dalam film tersebut. Para crew dan juga lawan mainnya tak henti memuji Launa, bagaimana tidak? Akting Launa sangat mumpuni dibanding artis pendatang lama lainnya.
Setelah cukup lama beristirahat, tiba-tiba Iva menelepon Launa dan memintanya ke ruangan Iva.
“Anak ini, kemana saja dia dari tadi? Katanya mau temenin aku syuting.” Gerutu Launa lalu kembali mengayunkan langkah menuju ruangan Iva.
Sesampainya di sana, Launa langsung melayangkan protes perihal keterlambatannya tadi pagi. Ia menganggap Iva yang salah dan tidak membangunkannya namun Iva segera meralat omongan Launa.
“Aku lupa pasang alarm Launa, udah deh jangan bahas itu dulu. Masih ada yang lebih penting untuk kita bahas hari ini.” Ujar Iva sembari menyodorkan sebuah kerta ke arah wanita itu.
“Apa ini?”
“Buka saja.” Jawa Iva dengan wajah cemasnya.
Launa pun meraih kertas tersebut dan perlahan membukanya.
“What?” Pekik Launa kaget bukan main dengan mata yang membulat sempurna. Ia sampai menggeram dengan gigi yang bergemeletuk, dan meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk.
“Apa maksudnya ini?” Launa pun mengepalkan tangan sampai buku tangannya memutih. Ini benar-benar sulit diterima akal.
sorry tak skip..