Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 Pertemuan di Tepi Sungai Gama
"Hallo, Amara? Ada apa?" jawab Dante dengan wajahnya yang sumringah.
Amara dengan nada ragu bertanya, "Dante, apa kau sibuk? Kalau iya, aku bisa menunggu."
Dante menyandarkan tubuhnya di kursi, mencoba mendengar lebih jelas. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari nada suara Amara, seolah ada beban besar yang ia sembunyikan.
"Untukmu, aku tidak pernah sibuk. Ada apa? Kamu terdengar... tidak seperti biasanya." Tanya Dante dengan nada agak khawatir.
Amara menarik napas dalam, "Ayo kita bertemu. Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu."
Dante duduk tegak, nada serius mulai terdengar di suaranya. "Katakan sekarang, Amara. Aku tahu kau akan mengatakan sesuatu dari kemarin, tapi ku pikir ini berbeda, dan tak secepat ini. Ada apa? Kau membuatku khawatir."
Amara menjawab, "Gak bisa. Aku ingin mengatakannya langsung. Aku akan menunggumu di tepi Sungai Gam. Bisa kamu datang?"
"Tentu saja. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku."
Amara menutup telepon dengan tangan gemetar, menatap ke kejauhan. Bayangan Nyonya Lauren dengan ancamannya terus menghantuinya.
---
Di Tepi Sungai Gama
Senja mulai turun di tepi Sungai Gama, memancarkan semburat keemasan di atas air yang mengalir tenang. Udara membawa aroma khas sungai, bercampur dengan keheningan yang menenangkan. Dante tiba lebih dulu, masih dibalut oleh baju kerjanya dengan setelan jas slim-fit berwarna charcoal gray, dipadukan dengan kemeja putih bersih yang membuat tubuh sempurnanya kian tampak mempesona meski hari sudah kian senja. Ia berdiri di pinggir sungai, matanya menatap kejauhan seolah mencari jawaban dari kegelisahan hatinya.
Dante melihat Amara datang dari kejauhan. Langkahnya pelan, hampir ragu-ragu, seperti seseorang yang sedang membawa beban berat. Rok panjang yang ia kenakan bergerak lembut tertiup angin, mengikuti Langkah kakinya yang trlihat lemah. Ketika ia sampai di dekatnya, Amara hanya tersenyum pelan tanpa berkata apa-apa.
Tanpa mendesaknya, Dante hanya mengisyaratkan dengan tangan, ke arah sebuah batu besar di tepi sungai. "Aku rasa kita akan lebih nyaman duduk di sana," katanya.
Amara menurut, duduk di atas batu itu sambil memeluk lututnya, seolah mencoba melindungi dirinya dari sesuatu yang tak terlihat. Dante duduk di sebelahnya, menjaga jarak yang cukup untuk memberinya ruang, tetapi dekat untuk menunjukkan kehadiran yang menguatkan.
Air di sungai terus mengalir, memantulkan warna-warna jingga dari langit yang mulai gelap. Beberapa perahu kecil lewat perlahan, membuat suasana semakin damai. Namun, di antara mereka berdua, keheningan terasa berat, penuh dengan kata-kata yang belum terucap.
Dante dengan suara lembut mulai membelah keheningan, "Senja selalu indah di sini. Aku sering datang ke tempat ini untuk berpikir... atau sekedar menikmati keheningan." Katanya dengan mata yang menatap jauh ke depan.
Amara hanya mengangguk kecil, tidak segera menanggapi. Ia menatap air di bawah mereka, melihat bayangan dirinya yang terpantul samar. Hatinya berdebar keras, tetapi ia tahu bahwa ia harus melakukannya.
……..
Dante menoleh, matanya yang gelap memandang wajah Amara dengan lembut, penuh perhatian.
"Amara, kau kelihatan gelisah. Kau bilang ingin bicara. Apa ini tentang kita? Atau sesuatu yang lain?"
Amara tidak segera menjawab. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Matanya masih terpaku pada aliran air di sungai, seolah mencari jawaban di antara riaknya. Ia tahu kata-kata yang akan ia ucapkan akan menghancurkan hati pria di sebelahnya, dan hatinya sendiri.
"Dante... aku sering berpikir tentang kita. Tentang semua yang sudah terjadi sejak aku datang ke keluargamu," kata Amara dengan suara lirih.
Dante mengernyit, merasakan ada sesuatu yang salah dalam nada suara Amara. Namun, ia tetap tenang, membiarkan Amara melanjutkan.
"Aku hanya sementara di keluargamu. Aku tahu itu sejak awal. Tugasku di sana adalah membantu Nico sampai dia bisa mandiri. Aku... aku tidak pernah menjadi bagian dari keluargamu yang sebenarnya," Kata Amara
Dante menggeleng pelan, memotongnya dengan nada tegas, "Amara, jangan berkata seperti itu. Kau sudah menjadi bagian dari hidupku. Bukan hanya untuk Nico, tapi untukku. Aku mencintaimu," kata Dante menegaskan.
Amara meremas jari-jarinya, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kebohongan yang diperintahkan Nyonya Laurent. Suaranya mulai gemetar.
"Dante, aku harus jujur. Aku tidak mencintaimu. Aku... aku pikir aku bisa, tapi aku tidak bisa. Kau harus berhenti berharap padaku."
Kata-kata itu menghantam Dante seperti pukulan keras. Ia menatap Amara dengan pandangan tidak percaya, mencoba menemukan kebenaran di balik wajahnya yang tampak hancur.
"O ya? Kau... tidak mencintaiku?"
Amara mengangguk pelan, matanya mulai dipenuhi air mata. "Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin menyakitimu lebih jauh. Hubungan ini tidak masuk akal, Dante."
Dante mendekat, menggenggam tangan Amara dengan lembut tetapi penuh ketegasan. "Lihat aku, Amara. Katakan itu lagi, tetapi kali ini tatap mataku. Katakan bahwa kamu benar-benar tidak mencintaiku."
Amara mengangkat wajahnya perlahan, matanya bertemu dengan mata Dante. Namun, air mata yang mengalir di pipinya mengkhianati kebohongan yang ia coba katakan.
Amara berbisik, "Aku... aku tidak mencintaimu, Dante."
Dante menggelengkan kepala, suaranya kini penuh dengan emosi yang tertahan. "Kau bohong,” katanya sambil tersenyum kecut. “Aku tahu kamu mencintaiku, Amara. Aku bisa merasakannya setiap kali kita bersama, setiap kali kau menatapku. Ada apa sebenarnya? Kenapa kau berubah secara tiba-tiba begini? Apa yang membuatmu mengatakan ini?"
Amara menunduk, melepaskan tangannya dari genggaman Dante. Ia berdiri dan memunggungi Dante, menatap sungai yang terus mengalir seolah ingin membawa pergi semua perasaannya.
"Tidak ada apa-apa, Dante. Aku hanya ingin kau tahu kebenarannya sebelum semuanya semakin rumit," Kata Amara dengan nada tajam, tetapi penuh rasa sakit.
Dante berdiri, mendekatinya. Suaranya kini lebih lembut, tetapi penuh dengan tekad. "Amara, aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Kalau ini tentang Nenek, kalau dia mengatakan sesuatu padamu…"
Amara langsung memotong, suaranya meninggi, "Tidak ada hubungannya dengan Nyonya Laurent! Ini tentang aku, Dante. Aku tidak bisa mencintaimu. Aku tidak pantas untukmu."
Dante terdiam, merasakan amarah dan kepedihan bergemuruh di dadanya. Namun, ia menahannya, memilih untuk tidak memaksa Amara. Ia menghela napas panjang, menatap punggung wanita yang ia cintai dengan rasa sakit yang mendalam.
"Kalau itu yang kamu inginkan, Amara, aku tidak akan memaksamu. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku tahu ini bukan kebenaran. Dan aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Amara menutup matanya, air matanya mengalir deras. Ia ingin berbalik, ingin mengatakan kebenaran, tetapi ancaman Nyonya Lauren terlalu menakutkan. Dengan langkah berat, ia berjalan menjauh, meninggalkan Dante di tepi sungai. Ia harus segera mengirimkan rekaman hasil percakapannya dengan Dante tersebut kepada Nyonya Laurent, kalau tidak, adik perempuannya yang masih kuliah akan menjadi taruhannya.
Sementara Dante masih berdiri diam, menatap punggung Amara yang semakin menjauh. Angin senja meniup rambutnya, tetapi ia tidak peduli. Dalam hatinya, ia berjanji untuk tidak membiarkan perasaan ini berakhir begitu saja.
Dante berbisik pada dirinya sendiri, "Aku akan menemukanmu lagi, Amara. Dan saat itu, aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita."
Senja beranjak menjadi malam. Cahaya matahari terakhir memudar di ufuk, meninggalkan Dante sendirian di tepi Sungai Gama dengan hati yang hancur, tetapi sesuatu yang kuat di hatinya berkata, bahwa dia akan…
Bersambung.....