Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERMAINAN AKSA (2)
Regita hanya bisa terpaku, bibirnya terkatup, matanya tak mampu lepas dari tatapan dalam Aksa yang begitu dekat. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, banyak hal yang ingin ia pahami, tetapi semuanya seakan tertahan di tenggorokannya.
Aksa memiringkan kepalanya sedikit, jemarinya masih menyentuh lembut dagu Regita, menahan agar gadis itu tetap fokus padanya. "Gue nggak tahu kenapa lo selalu nyoba buat menjauh," ucap Aksa, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Tapi yang gue tahu… sejak pertama kali lo muncul di rumah ini, gue nggak bisa berhenti mikirin lo."
Perkataan itu menggema di kepala Regita, membuat pipinya semakin memerah. "Kak, ini… aneh," gumamnya pelan, berusaha menemukan keberanian untuk menolak perasaan yang perlahan muncul di hatinya. "Aku—kita ini kakak adik tiri, nggak seharusnya…"
Aksa tersenyum kecil, wajahnya tetap dekat, seolah tak terganggu oleh peringatan Regita. "Kita cuma keluarga di atas kertas, Git. Kita bukan saudara kandung, dan perasaan itu nggak bisa diatur, kan?"
Regita terdiam, mendengar kata-kata Aksa yang terasa begitu tulus namun tetap mengusik hatinya. Ia tahu apa yang dikatakan Aksa ada benarnya, namun pikiran dan hatinya masih berperang, mencoba memutuskan apakah ia harus mundur atau tetap berada di sini.
Dengan lembut, Aksa mengusap pipi Regita dengan ibu jarinya. "Gue nggak maksa lo buat ngerasain hal yang sama," katanya. "Gue cuma… pengen lo tahu, apa yang ada di pikiran gue. Dan kalau suatu hari lo ngerasa perasaan lo berubah… gue bakal selalu di sini."
Regita tak tahu harus berkata apa. Ada sisi dirinya yang ingin kabur, tapi ada sisi lain yang ingin tetap tinggal dan mendengar lebih banyak lagi dari Aksa. Perasaan itu begitu membingungkan, tetapi juga tak bisa ia pungkiri.
Aksa menghela napas pelan, seakan mengerti kebingungan yang tengah dirasakan Regita. "Gue nggak bakal maksa lo, Git. Gue cuma pengen lo ngerti, bahwa gue… gue serius sama apa yang gue rasain."
Regita menelan ludah, hatinya berdebar kencang. "Kak Aksa… kenapa kamu…"
Aksa tersenyum kecil. "Karena lo beda, Git. Dan gue nggak bisa lepas dari perasaan ini."
Regita menggigit bibirnya, perasaannya masih campur aduk. Ia tak pernah membayangkan bahwa Aksa—orang yang selama ini ia anggap kakak tirinya—bisa bicara dengan begitu serius tentang perasaan mereka. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun kata-kata terasa seperti tersangkut di tenggorokannya.
Aksa memandang wajah Regita yang terlihat begitu ragu. Dengan lembut, dia mengulurkan tangan, menggenggam tangan Regita, memberikan kehangatan yang menenangkan. “Lo nggak harus jawab sekarang, Git. Gue tahu ini mendadak. Tapi… kalau nanti lo udah tahu apa yang lo rasain, lo bisa bilang ke gue, kapan aja.”
Regita menatap genggaman itu, merasakan kehangatan yang seolah menembus kulitnya, menenangkan detak jantungnya yang masih belum teratur. “Kak… aku…” katanya pelan, suaranya bergetar. “Aku nggak tahu apa yang aku rasain sekarang. Ini semua… baru buat aku.”
Aksa mengangguk, memahami kebingungan di balik tatapan Regita. “Gue nggak bakal paksa lo, Git. Gue cuma mau lo tahu bahwa… apa yang gue rasain ini nyata. Dan kalau lo ngerasa sama, gue di sini. Gue nggak kemana-mana.”
Seketika, suasana di antara mereka kembali hening. Tak ada yang berani bicara, namun kedekatan mereka terasa begitu intens. Dalam hati kecilnya, Regita merasa ada sesuatu yang mengikat mereka—sesuatu yang kuat tapi tak terjelaskan.
“Aku cuma nggak pengen kita berakhir kacau…” bisik Regita, menunduk, berusaha menyusun perasaannya.
Aksa mengangguk dengan senyum tipis. “Gue juga, Git. Gue nggak akan lakuin apapun yang bikin lo ngerasa nggak nyaman. Kalau emang nggak ada harapan buat kita… gue bakal belajar ngelepas.”
Ucapan itu membuat hati Regita terasa sedikit lega, meski ada sedikit rasa nyeri yang tiba-tiba muncul. Seolah ada sesuatu yang perlahan-lahan retak dalam dirinya. "Tapi kalau… kalau emang ada…?” tanyanya nyaris berbisik, suara penuh keraguan namun juga sedikit pengharapan.
Aksa tersenyum, lalu mengusap lembut tangan Regita. “Kalau emang ada harapan, gue bakal jadi orang pertama yang jaga perasaan lo, Git.”
Mata mereka bertemu lagi, tatapan yang begitu dalam dan penuh ketulusan. Momen itu begitu sunyi, namun memiliki makna yang terasa begitu kuat bagi keduanya, hingga mereka hanya bisa menikmati kehadiran satu sama lain, tanpa perlu berkata lebih banyak lagi.
Regita menghela napas perlahan, perasaannya campur aduk antara takut, gugup, dan penasaran. Ada sesuatu dalam diri Aksa yang membuatnya merasa aman namun sekaligus berbahaya. Meski mereka terikat sebagai keluarga tiri, Aksa tetap memberikan perhatian yang lebih, perhatian yang terasa hangat namun mengusik hatinya.
“Kak…” kata Regita akhirnya, suaranya nyaris berbisik. “Apa yang bikin kamu… ngerasa kayak gini ke aku?”
Aksa tersenyum tipis, menatap lurus ke arahnya. “Gue nggak tahu, Git. Sejak lo datang ke rumah, gue ngerasa hidup gue mulai berubah. Gue ngelihat lo… beda dari semua orang. Dan lo nggak pernah takut buat jadi diri lo sendiri. Itu bikin gue nggak bisa berhenti mikirin lo.”
Regita menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah. Kata-kata Aksa begitu tulus, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Di balik semua kehangatan yang diberikan Aksa, ada sesuatu yang membuatnya ingin mengenal pria itu lebih dalam.
“Aku… belum pernah ngerasain ini sebelumnya, Kak. Aku takut, bingung…” ucapnya dengan jujur.
Aksa mengangguk, tatapannya penuh pengertian. “Gue nggak akan maksa lo buat ngerti semuanya sekarang, Git. Gue cuma minta satu hal… biar gue tetap ada di samping lo. Kita nggak harus buru-buru. Gue bisa sabar nunggu sampai lo yakin.”
Perkataan itu membuat hati Regita terasa lebih tenang. Ia mendongak, menatap Aksa dengan mata yang penuh rasa syukur dan sedikit senyum. “Terima kasih, Kak. Mungkin aku juga butuh waktu buat memahami ini semua.”
Aksa menepuk punggung tangannya lembut, memberikan kenyamanan tanpa kata-kata. “Gue di sini buat lo, Git. Apapun yang lo putusin nanti, gue bakal terima.”
Setelah beberapa saat hening, Regita menghela napas dalam, merasa beban di hatinya mulai sedikit terangkat. Ia menyadari, meskipun perasaannya masih tak menentu, kehadiran Aksa memberikan ketenangan yang tak bisa ia dapatkan dari orang lain.
Aksa menatap Regita dengan alis terangkat, seolah menahan senyum yang mencoba mengintip di sudut bibirnya. “Git,” bisiknya menggoda, “kenapa tadi lo tutup mata? Lagi nunggu gue cium, ya?”
Wajah Regita memerah seketika, dan ia hanya bisa mengangguk pelan, nyaris tak terlihat. Tangannya refleks menarik ke belakang, seolah mencoba menjauh, namun Aksa segera menangkap tangannya, membuatnya tak punya pilihan lain selain tetap berada di tempat.
“Astaga… lo beneran nunggu gue, ya?” goda Aksa lagi, kali ini suaranya lebih lembut, dengan tatapan yang penuh godaan.
Regita menunduk, menggigit bibirnya malu-malu. “Iya, tapi… aku cuma nggak tahu… aku nggak ngerti kenapa aku lakuin itu…” katanya hampir berbisik, suaranya penuh keraguan namun juga tak bisa menutupi rasa penasarannya.
Aksa tertawa kecil, lalu mendekatkan wajahnya lagi, membuat jarak di antara mereka kembali nyaris tak ada. “Lo bikin gue nggak bisa berhenti buat deketin lo, Git. Sebenarnya, gue juga udah lama nahan diri buat nggak terlalu jauh masuk ke dunia kamu. Tapi kalau lo emang mau…” Dia berhenti sejenak, menunggu reaksi Regita.
Regita mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca penuh rasa bingung dan penasaran yang bersatu, namun akhirnya ia mengangguk pelan. Aksa tersenyum lembut, lalu mendekat sedikit lagi, memberikan kecupan singkat di pipinya yang merah, tepat di bawah mata.
“Jadi, kalau suatu saat lo siap, lo tahu di mana harus nemuin gue,” bisik Aksa, sebelum melepaskan dirinya dan beranjak pergi dengan senyum penuh arti.