Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
"Oh, punya toko?" tanya Nijar makin penasaran.
"Iya, Mas."
"Restoran juga? Atau kafe mungkin?"
Arumi mengernyit, juga terkejut. Nijar terus mengejarnya dengan pertanyaan-pertanyaan membuatnya khawatir, jangan-jangan pria yang tengah berbincang dengan dirinya itu sedang menaruh kecurigaan.
"Eh, m-maaf, maaf. Saya sudah lancang. Saya tidak bermaksud penasaran dengan diri kamu, Arumi. Saya bertanya demikian itu karena kamu pintar memasak. Saya pikir, kalau kamu punya kafe atau restoran, saya pasti akan menjadi salah satu pelanggan kamu." Nijar menggaruk kepala sesaat sebelum mengatupkan tangan guna meminta maaf.
Arumi menarik nafas lega mendengar alasan itu. Ia mengangguk pelan seraya mengangkat wajah dan memandang Nijar.
"Cuma toko roti kok, Mas. Itu juga baru dibuka. Belum banyak pelanggannya," balas Arumi, lalu menunduk lagi. Tak ingin bersitatap dengan pria yang sudah dianggap masa lalu, khawatir jika Nijar mengenalinya lewat tatapan mata. Ia sebisa mungkin menutup-nutupi jati diri agar tidak diketahui Nijar.
"Oh, panta saja, kamu pintar memasak, punya toko roti rupanya. Tapi sama saja kok. Pada dasarnya perempuan yang pintar di dapur, pasti pandai segala macam masakan. Oke, Arumi, nanti akan saya sampaikan pesanmu untuk Aris."
"Iya, Mas. Terima kasih sebelumnya. Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalamualaikum.. .." Arumi mengatupkan tangan, lalu berbalik dan pergi meninggalkan Nijar. Langkahnya dipercepat.
Kekhawatiran terus menghantuinya, takut jika tiba-tiba Nijar mengenali sebagai Wulan Apriana.
Sampai di lobi, Arumi
lantas menuju parkir hotel. Ia berdiri di bagian paling kanan untuk menunggu taksi yang dipesan. Sambil berdiri memandang lalu lalang orang-orang yang keluar masuk tempat itu, dirinya masih tak bisa melupakan pertemuan dengan Nijar beberapa saat lalu.
Arumi mengenang kembali saat-saat masih bekerja di klub malam. Nijar yang datang sebagai tamu, ternyata tertarik padanya lalu kerap datang setelahnya. Pertemuan mereka yang intens menumbuhkan benih-benih cinta di hati Arumi. Apalagi Nijar hadir membawa perhatian yang selama ini tidak ia dapatkan dari pria manapun.
Dirinya terlarut dalam asmara yang memabukkan, sebelum akhirnya disadarkan oleh mamanya Nijar yang tidak merestui hubungan keduanya.
Arumi tersentak kaget manakala ponselnya berdering. Sebuah mobil telah berhenti tak jauh dari hadapannya. Seorang pria keluar sambil menelepon. Dialah sopir yang ia tunggu. Ia bergegas mendekat dan masuk ke dalamnya, lalu mengatakan tujuannya.
"Langsung ke Jalan Mangga nomor 202 ya, Pak. Berhenti di depan toko kue Amanda Bakery
Si sopir mengiyakan, dan Arumi pun dapat duduk dengan tenang. Sementara, ia ingin menenangkan hati dengan menyibukkan diri di toko kue. Melupakan sejenak rasa kecewanya pada Aris.
Arumi memejam, membayangkan beberapa pasangan yang mendapat perhatian secara langsung dari suaminya. Ia iri, lalu menyalahkan diri sendiri karena terlalu besar berharap diperlukan sama seperti mereka.
*
Di sisi lain di sebuah keramaian, Aris masih berbincang santai dengan teman-teman kantornya.
Terlihat asik, sesekali disusul tawa mereka. Saat itulah, Nijar datang mengejutkan Aris. Nijar ikut berbincang beberapa saat, terbawa suasana akrab mereka.
Di satu kesempatan, Nijar yang duduk berdampingan dengan Aris membisikkan sesuatu di telinga Aris.
"Aku tadi bertemu Arumi di luar. Dia menitipkan pesan untukmu."
Aris menarik diri dari asiknya perbincangan dengan teman-temannya. Dahinya mengernyit mendengar ucapan pelan Nijar.
"Di luar mana maksudmu?" meminta kejelasan. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak sengaja menemukan sosok Bella yang sedang berbincang dengan orang lain, bukan Arumi.
"Di dekat lift. Dia pulang duluan dan menitipkan pesan padaku. Katanya dia pulang lebih dulu dan mau langsung ke toko kue."
Degh. Aris merasakan denyut rasa sakit. Arumi menitipkan pesan lewat Nijar? Tak takut kah Arumi jati dirinya akan diketahui pria itu?
"Heh, bengong aja!" tegur Nijar yang langsung mengejutkannya. "Aku tak sengaja berpapasan dengan Istrimu. Saat aku tawarkan ingin memanggilkan kamu, dia menolak."
Aris menampakkan senyum tipis untuk menutupi kecemasannya.
"Ya, dia mungkin akan menghubungiku sebentar lagi," balas Aris.
Nijar tidak menanggapi lagi karena merasa masalah pertemuannya dengan istri sahabatnya bukanlah hal penting yang perlu diperbincangkan lebih banyak. Aris pun begitu, berusaha melupakan kata-kata Nijar dan melibatkan kembali dengan obrolan teman-temannya meskipun merasa ada kejanggalan tentang kepulangan istrinya.
Pukul dua siang, acara usai digelar. Pembagian hadiah dan door prize pun telah selesai, Aris berjalan lebih dulu keluar dari keramaian, menahan diri bersama dengan teman-temannya untuk tidak terpengaruh dengan kata-kata Nijar. Tetapi saat berada akan pulang dan mengecek ponselnya, tak satupun pesan Arumi masuk.
"Pasti ngambek." Batin Aris menebak. Ia buru-buru menuju parkir dan bergegas membawa mobilnya keluar dari kawasan hotel. Ada sedikit kecemasan dalam hatinya. Aris malah penasaran, bagaimana bisa Arumi lolos dari Nijar.
Ia mengarahkan mobilnya menuju jalan pulang. Aris pikir, Arumi sudah pulang ke kediaman mereka Sesampainya di rumah, keadaan sepi. Di bagian dalam pun hening. Nijar mengangkat ponsel, lalu menghubungi Arumi.
"Assalamualaikum, Rum. Kamu masih di toko? Mas sudah pulang, sudah sampai di rumah ," ucapnya memberitahu.
"Waalaikumsalam. Ya, Mas. Aku masih sibuk bantu-bantu di toko. Nanti aku pulang naik taksi saja."
"Mau kujemput?" tanya Aris menawarkan diri.
"Nggak usah, Mas. Sudah dulu ya, Mas. Ada pembeli nih. Assalamualaikum."
Aris menurunkan ponsel, mendesah pelan menanggapi Arumi. "Waalaikumsalam," balasnya terlambat.
"Semoga kamu maklum, Rum, dan tidak mempermasalahkannya. Aku memang belum siap dengan keadaan ini, belum siap menerima perbedaan ini. Mudah-mudahan kamu paham. Tapi kasihan kamu juga kalau kupaksa harus selalu mengerti. Kejadian semacam ini pasti akan terulang kembali. Apa kita akan seperti ini lagi? Entahlah, Rum ...."
Aris mengusap wajah perlahan. Rasanya, perbedaan itu semakin terlihat jelas di antara dirinya dan Arumi.
*
Arloji di pergelangannya Aris sudah menunjuk ke angka sembilan. Aris berdiri di luar pintu depan, menghadap ke halaman sambil
memperhatikan sewaktu-waktu jika ada mobil yang berhenti di depan. Ia sedang menunggu Arumi. Sudah sejak setengah jam yang lalu ia menunggu sang istri.
"Kenapa sampai semalam ini? Nggak biasanya Arumi sampai jam segini tapi belum pulang. Apa tokonya ramai sekali ya?" Aris bergumam sendiri. Ia menuruni tangga pada teras yang tidak seberapa tinggi, menuju halaman dengan pandangan menatap ke pintu pagar. Dirinya semakin resah.
"Apa aku jemput ke tokonya ya?" ia bergumam lagi. Aris menimbang sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Ia menekan sebuah nomor kontak yang ia namai 'Istri'.
Nomor tersambung. Suara Arumi terdengar mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam." Aris menjawabnya. "Kamu masih di toko, Rum?"
"Masih, Mas."
"Aku ke sana, ya?"