Namaku Dika Ananto. Seorang murid SMA yang ingin sekali menciptakan film. Sebagai murid pindahan, aku berharap banyak dengan Klub Film di sekolah baru. Namun, aku tidak pernah menduganya—Klub Film ini bermasalah!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Yang Sibuk
Pagi ini Mona memberitahu Dika kalau ada yang ingin disampaikannya di ruang klub saat pulang sekolah. Dia mengatakan kalau skenario untuk filmnya sudah selesai. Jadi, dia ingin meminta pendapat anggota klub film.
Dika yang penasaran ingin sekali melihat skenarionya lebih awal dibanding kak Tio dan kak Nuri. Tapi, Mona melarang kalau itu tidak akan menjadi kejutan jika membacanya lebih awal.
Dengan raut wajah yang lemas. Dika hanya bisa menyandarkan kepalanya di atas meja. Disusul oleh rasa penasaran Juan mengenai film yang ingin dibuat klub film.
Dika mengonfirmasikan kalau hal itu akan terlaksana di bulan awal agustus. Jadi, Dika menyarankan kepada Juan untuk mengambil waktu kosong saat awal bulan agustus.
Belum saja Dika menjelaskan situasinya. Seorang gadis berkacamata dengan rambut yang dikuncir datang ke meja Juan dan mengatakan kalau dia ingin berbicara setelah pulang sekolah. Dika hanya bisa tertawa kecil melihat situasinya. Juan sangat populer dikalangan para gadis.
...***...
Sesuai yang dijanjikan oleh Mona. Dika berangkat bersama ke ruang klub dengan Mona sambil memeluk tasnya. Ekspresi Mona seperti seorang anak kecil yang ingin memamerkan karyanya.
Keduanya menaiki tangga dengan pelan dan secara tidak sengaja bertemu Tio dan Nuri yang sedang berjalan menuju ruang klub. Mona langsung menyapa keduanya sambil berlari kecil untuk menghampiri mereka.
Dika yang melihat itu dari belakang hanya bisa melanjutkan kedua langkah kakinya. Namun, Tio mendadak berhenti dan meminta Dika untuk lebih semangat lagi. Dika hanya bisa menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya kalau dia saat ini sudah sangat semangat.
"Kenapa sekolah ini tidak menggunakan lift, sih?" keluh Dika dengan napas yang terengah-engah.
"Memang awalnya sangat melelahkan. Tapi, gue yakin lu bakal terbiasa dengan hal ini," ucap Tio sambil menepuk pundak Dika.
Tio langsung membukakan pintu ruang klub. Menyalakan lampu dan kipas angin di sudut ruangan. Tidak lupa dia membuka jendela untuk mengalirkan udara dari dalam ke keluar ruangan.
Semua anggota langsung duduk di kursinya masing-masing dan bersiap untuk melakukan rapat pekerjaan. Dika membuka kemajuan progres yang sudah dia lakukan.
Dari dalam tasnya Dika mengeluarkan kamera yang dia khususkan untuk membuat film. Dia juga menjelaskan kalau kamera ini yang menjadi alasan beberapa hari lalu tidak datang ke sekolah karena Dika harus kembali ke pulau utama.
Terdengar tepuk tangan dari Tio sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dia mengeluarkan proposal yang dikirim ke OSIS. Tio menjelaskan kalau dia mengajukan dana sebesar dua juta rupiah untuk kegiatan klub film. Namun, yang diterima oleh klub film hanya satu juta rupiah.
Dika memotong perkataan Tio. Dika mengatakan mungkin akan penghematan bujet saat pelaksanaan pembuatan film. Tio hanya bisa mengendurkan punggungnya dan menjelaskan mungkin akan ada perubahan. Sebab jumlah nominal yang ditawarkan oleh OSIS belum nominal akhir.
Mona mengeluarkan empat tumpukan kertas dari dalam tasnya dan mengaku kalau itu pertama kalinya dia menulis skenario film. Karena itulah, Mona meminta pendapat semua anggota klub film.
Ada keheningan disaat semua orang fokus dengan skenario film yang dibuat oleh Mona. Disisi lain, Mona berkali-kali menelan ludahnya karena penasaran dengan apa yang ingin disampaikan. Terutama dia penasaran dengan pendapat Dika.
Dika langsung menoleh ke arah Mona, "Ini serius skenarionya berjumlah lebih dari lima puluh halaman?"
"Iya, serius. Apakah ada masalah?"
"Harus aku akui. Disaat kamu menulis novel, perjalanan ceritanya bagus. Aku bahkan membaca novelmu di internet," ungkap Dika, "Tapi, rasanya ini agak bertele-tele. Ngomong-ngomong kita mau bikin film pendek, bukan?"
Tio mengangguk membalas perkataan Dika. Dika menjelaskan kalau skenario yang dibuat oleh Mona bisa berdurasi hampir satu jam karena isinya padat.
"Tunggu-tunggu," pinta Mona untuk mengambil buku catatannya, "Bisa dijelaskan apa saja kekurangannya? Maaf jika agak berantakan. Sebab ini adalah penulisan skenario pertamaku."
"Tak apa. Santai saja. Kita semua orang baru disini. Jadi, tidak perlu memikirkannya sendiri," balas Dika, "Kamu gak perlu mencatatnya. Nanti biar aku yang menulis di lembaran kertas skenario buatanmu. Gak apa-apa, kan, ya?"
"Santai saja."
Mona menoleh ke arah Tio dan Nuri. Dia meminta pendapat mereka berdua dan mengikuti cara Dika untuk menulis kelemahannya skenarionya. Menurut Mona, mendengar pendapat semua orang secara bersamaan akan membantunya menyelesaikan skenario yang dia buat.
Tio dan Nuri mengangguk. Tidak seperti Dika yang terlihat banyak menambahkan catatan di banyak halaman skenario. Tio dan Nuri hanya menambahkan beberapa catatan kecil di halaman skenario milik Mona.
"Baiklah. Kurasa sudah cukup," celetuk Dika dan menyerahkannya pada Mona, "Aku sudah menyederhanakan ceritanya agar durasinya bisa dibuat lebih singkat. Sebab kalau dari ceritamu yang sepanjang kni. Aku yakin, jika ini dibuat jadi film pendek akan ada banyak penonton yang mengantuk."
"Baiklah akan kuterima," jawab Mona dengan hembusan napas lega dan melirik catatan yang ditulis Dika, "Banyak sekali catatannya, ya?"
"Maaf jika aku sangat merepotkan. Yang kupikirkan sekarang kita hanya perlu mencari cara tercepat untuk menyelesaikan filmnya," kata Dika.
Dika melirik ke arah semuanya dan bertanya mengenai grup klub film. Anehnya mereka belum pernah membuat grup sama sekali dan selama ini selalu datang ke kelas masing-masing untuk menginformasikan kegiatan klub. Hari itu grup klub film langsung tercipta.
Nuri yang ingin berkontribusi langsung mengeluarkan foto-foto dari ponselnya hasil latihannya sebagai tata rias. Dia mengaku menjadikan adik perempuannya sebagai modelnya. Kemudian mengirimkan beberapa foto ke dalam grup klub film.
"Bagaimana menurut kalian?" tanya Nuri, "Mungkin dari beberapa model disini. Ada yang model yang cocok dijadikan sebagai pemeran utama dalam film pendeknya."
"Aku suka gaya model gaya rambut panjang ini, sih," celetuk Tio.
"Kurasa model rambut kuncir kuda paling cocok," potong Mona, "Jadi, keliatan lebih dewasa gak, sih?"
"Iya, kan?" timpal Nuri.
Dika terdiam memandang semua foto model yang dikirim oleh Nuri. Dika berpikir model rambut mana yang pas untuk dijadikan model gadis depresi.
"Oi, Dika. Kamu tidak terpincut dengan adikku, kan?" celetuk Nuri, "Ngeliatmu yang terdiam seperti itu sangat membuatku takut akan masa depan adikku."
"Aku bukanlah cowok yang seperti itu. Aku sedang mencocokkan model rambut dengan cerita yang ditulis oleh Mona," balas Dika, "Kurasa perkataan kak Tio ada benarnya."
"Oh, benarkah?" balas Tio.
"Karena ceritanya tentang seorang gadis yang depresi. Akan ada momen dimana dia akan menggunting rambutnya sebagai tanda perubahan dalam tekadnya," jelas Dika.
"Aku pernah melihat hal seperti ini dalam beberapa komik jepang," celetuk Tio, "Aku rasa itu pemikiran yang bagus. Masalahnya siapa yang mau kalau rambutnya dipotong untuk keperluan pembuatan film?"
"Nah, itu dia yang kupikirkan," balas Dika.