Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Evakuasi Jenazah Pak Arifin
Wijaya Kusuma tidak menjawab pertanyaan Arini, dengan langkah yang semakin tegang, dia menuju pelataran candi. Sepertinya, sesuatu yang mengerikan telah terjadi di dalam ruangan candi itu.
Firasat Wijaya benar, saat pintu terbuka, tampak sesosok jasad bersimbah darah. Itu adalah Pak Arifin. Arini sontak menjerit dengan histeris, jeritannya memecah keheningan hutan larangan.
Wijaya Kusuma segera menghampiri jasad Pak Arifin. Meskipun tubuhnya sudah bersimbah darah dengan luka menganga di perut, Wijaya tetap memeriksa nadinya.
Arini terus menangis dan menjerit, Wijaya Kusuma lalu mengamati sekeliling ruangan mendapati harta karun yang sudah berantakan tidak seperti saat pertama kali dia lihat.
"Bapak! Pasti Ajat sudah membunuh Bapak!" ucap Arini histeris.
"Arini, kamu harus jujur. Sebenarnya ada masalah apa Bapakmu dengan Ajat?" tanya Wijaya Kusuma menatap Arini dengan tatapan tajam.
"Aku tidak.. Tahu.. Kang," jawab Arini terbata-bata.
"Kamu harus jujur, karena cepat atau lambat, polisi akan tahu kebenarannya. Aku Kepala Desa ini, hanya aku yang bisa membuatmu selamat. Kalau warga desa tahu kebenarannya, mereka tidak akan segan-segan melakukan kerusuhan."
"Kang Wijaya!!" Arini tiba-tiba memeluk Wijaya Kusuma dan menangis di dekapan Wijaya.
"Katakan," kata Wijaya lembut.
"Pemuda yang tewas di kolam ikan beberapa hari yang lalu dibunuh oleh bapak," ungkap Arini dengan suara berat.
"Ya, terima kasih atas kejujuranmu,"
"Tolong tangkap Ajat! Meskipun Bapak sudah membunuh tapi bapak juga korban pembunuhan!"
Wijaya nampak terdiam mendengar Arini mengucapkan hal itu, seolah itu adalah karma yang harus diterima oleh bapaknya. Dia menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang penuh dengan konflik batin.
Sebuah akhir yang tidak pernah dia duga, pembunuh pemuda itu sekarang sudah mati di bunuh oleh sahabat karibnya, Ajat Sutradja.
"Kang Wijaya! Tolong jangan laporkan kematian bapakku ke kepolisian, biarkan ini menjadi rahasia antara kita berdua. Toh, bapak sudah meninggal," bujuk Arini.
Wijaya bimbang menatap jasad Pak Arifin, di satu sisi dia harus melaporkan pembunuhan ini ke polisi namun di sisi lain semua orang akan mengetahui lokasi candi tersembunyi ini.
Wijaya ingin mendiskusikan hal ini kepada Ki Dayat terlebih dahulu, akhirnya Arini dan Wijaya kembali ke desa. Namun, kematian Pak Arifin membuat istrinya histeris dan pada akhirnya kematian itu tidak bisa di tutupi lagi.
Semua warga menjadi tahu, mereka berbondong-bondong datang ke hutan larangan. Penampakan candi dan jasad Pak Arifin membuat perasaan mereka campur aduk, takjub sekaligus ngeri.
Saat Arini kembali ke candi untuk melihat evakuasi jasad, semua harta yang ada di dalam candi sudah kosong. Arini bertanya-tanya dalam hatinya: kemana Wijaya Kusuma memindahkan harta karun di dalam ruangan tersebut?
Tanpa diketahui oleh Arini, Wijaya sudah memberitahu Ki Dayat dan diam-diam Ki Dayat bersama orang-orang terpilih sudah memindahkan harta leluhur itu ke tempat lain.
Wijaya mengingat pesan Ki Dayat, "Harta leluhur harus tetap menjadi misteri, kemunculannya bisa membuat perpecahan antar warga. Oleh sebab itu harta ini harus tetap tak bertuan."
Wijaya Kusuma tertegun menatap jasad Pak Arifin yang dibawa kembali ke desa, Wijaya menghela nafas dan menatap langit.
"Ajat, meskipun kamu berencana mencuri harta itu. Pada akhirnya kamu berhasil melawan nafsumu sendiri, dimana kamu Jat?" ucap Wijaya dalam hati, dia pun melangkah mengikuti warga kembali ke desa meninggalkan hutan larangan.