SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Aisyah keluar dari kamarnya, sudah rapi memakai seragam Pramuka sekolahnya. Ia segera duduk di meja makan sembari menunggu Ibunya yang tengah membuatkan sarapan untuknya. Sang Ayah yang berada di hadapannya itu sedang membaca koran—sesekali helaan napas terdengar.
"Aisyah, kalau pulang hati-hati, ya. Sekarang lagi ramai banget kasus penculikan di sini," kata sang Ayah memperingati. “Ayah juga masih menyelidiki siapa pelakunya,” lanjutnya memberitahu. Ayah Aisyah adalah polisi daerah yang bertugas di Kedungmalang.
"Iya, Syah. Kalau sudah waktunya pulang langsung pulang, gak perlu main kemana-mana," sahut Ibunya itu ikut memperingati juga seraya membawa sarapan pagi mereka.
"Iya, Ayah, Ibu, Aisyah tahu kok," jawab Aisyah sambil tersenyum tipis kemudian memakan sarapannya.
Setelah itu, ia mencium kedua punggung tangan orang tuanya dan berpamitan untuk berangkat sekolah. Hanya perlu waktu selama lima menit untuk dirinya samai ke sekolah.
Di tengah perjalannya menuju kelas, ia melihat seorang laki-laki yang ia kenali di tempat parkir motor. Dengan segera Aisyah menghampiri laki-laki itu.
"Kevin," panggilnya membuat sang empu menoleh.
"Eh, Aisyah? Emm–ada apa?" balas Kevin bertanya dengan mata yang terlihat seperti orang gugup.
"Kok ada apa? Aku cuman manggil aja siapa tau bisa jalan bareng ke gedung," jawab Aisyah ikut terbingung. "Kamu habis parkirin motor?" tanyanya.
"Eng–bukan, habis periksa anak-anak yang bawa motor tapi gak bawa helm," jawab Kevin. "Ayo, ke kelas," ajaknya tiba-tiba berjalan lebih dulu.
Aisyah tak mengelak dan mengikuti langkahnya dari belakang. Menatap punggung laki-laki itu dengan mata memincing sesekali menoleh ke arah parkiran motor tadi sampai ia memutuskan untuk berjalan sejajar dengan Kevin.
Selama perjalanan menuju kelas, keduanya menjadi pusat perhatian secara tiba-tiba. Bukan karena dirumorkan saling memiliki hubungan, melainkan yang menjadi pusat perhatian pertama adalah Aisyah dengan gelarnya sebagai anak kelas 11 MIPA 1. Keduanya merasa heran, sebab tak mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Sampai akhirnya Kevin dan Aisyah berpisah ketika telah sampai di depan kelas Kevin.
Aisyah sendiri kembali berjalan menuju kelasnya yang kini sunyi. Seharusnya ia tak heran, karena kelasnya itu memang dipenuhi anak-anak ambis, tapi baginya kali ini ada yang menjanggal pikirannya. Seambis apapun teman-temannya, pagi-pagi seperti ini mereka tidak akan menutup pintu kelas. Ketika sudah sampai di depan pintu, ia merenung sejenak saat mendengar suara bising dari kelasnya.
Itu benar. Baru saja membuka pintu, rupanya kelas 11 MIPA 1 kini sedang meributkan sesuatu yang membuat Aisyah dengan spontan menutup pintu kelas kembali. Ada apa? Ia bahkan tidak telat masuk kelas. Masih ada 20 menit sebelum bel masuk berbunyi.
Sambil berjalan menuju kursinya, seketika dirinya mendengar sebuah nama diiringi dengan gebrakan meja.
BRAK!
“Pokoknya kita harus cari Gea!”
“Gak bisa! Kita harus percayai polisi untuk cari dia!”
“Hei! Ini sudah kali keempat terjadi penculikan! Kenapa kita harus nunggu mereka?”
Aisyah belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi membuatnya bertanya pada teman sebangkunya yang bernama Linda, “Kenapa ya Lin?—eh?”
Belum sempat dia mendengar jawaban dari Linda, lengannya sudah ditarik oleh Arga yang kini membawanya keluar dari kelas. Semua tampak tak peduli dengan kepergian mereka atau bahkan tidak ada yang menyadari kecuali teman sebangku Aisyah sendiri.
Arga terus membawanya hingga menuju perpustakaan di mana sudah ada Rian dan Dimas yang menunggu di depan. Tak lama, Arga melepas genggamannya, kemudian datanglah Nadya sambil membawa kunci perpustakaan di tangannya.
“Ribut penculikan lagi, ya?” tanya Aisyah pada mereka.
“Syah, kamu walaupun pintar sampai ranking 1 paralel ternyata bisa susah cerna situasi juga, ya?” balas Rian membuat Aisyah memutar bola matanya malas.
“Dia gak buka grup semalam,” Dimas menyahut.
Nadya menahan tawanya sambil membuka perpustakaan. Mereka berlima kemudian masuk dan menutup pintunya kembali.
“Kamu kasih apa ke Bu Rina sampai dia kasih kamu kunci perpusnya?” celetuk Dimas bertanya.
“Cuman alasan sih, tapi selanjutnya kalau gak dikasih mau aku kasih duit,” jawab Nadya santai.
“Penyuapan,” sahut Rian.
Tak heran jika suatu saat Nadya akan melakukannya. Keluarganya memang cukup terpandang dan terpilih menjadi salah satu anggota komite di SMA Rimba Sakti.
Aisyah membuka ponselnya dan membulatkan matanya ketika melihat notif yang memenuhi chat-nya. Mengingat kata ‘gak buka grup’ dari Dimas, dirinya langsung membukanya.
...‘TEMAN BARU NIH’...
‘Jam 11 malam?’ batin Aisyah tak percaya.
Nadya .CS
Dengar info dari temanku di kelas MIPA 1
Katanya Gea diculik?
Rian ips2
Serius?
Ini sih udah bukan penculikan biasa
Udah penculikan berantai
Arga
Besok kita kumpul di perpus
15 menit sebelum bel masuk
Rian ips2
Siap bos!
Nadya .CS
Aisyah kemana ya?
Dari grup ini dibuat dia gak pernah ikut nimbrung
Rian ips2
Pasti belajar
Dimas .B
Tidur
Chat itu berakhir. Kini Aisyah mengerti mengapa dirinya tak tahu tentang pembahasan di grup tersebut, tentunya karena jam 11 malam sudah menjadi jadwal bahwa Aisyah harus sudah tidur.
Kelima anak itu melangkah ke tempat yang sama seperti terakhir kali mereka berdiskusi, bahkan dengan posisi duduk yang sama. Aisyah menutup ponselnya dan meletakkannya di meja. Dimas sendiri mulai membuka laptopnya.
“Oke, kali ini Gea dari kelas 11 MIPA 1,” ucap Rian membuka topik.
Semuanya merenung sejenak—memikirkan bagaimana jahatnya penculik itu yang sudah menculik keempat anak SMA Rimba Sakti di mana kesemuanya adalah perempuan.
“Kali ini justru anak teladan, ya,” Nadya menyahut sambil menghela napas.
“Pertama, anak yang suka alpa. Kedua, anak yang suka cari masalah. Ketiga, anak baru. Keempat, anak teladan,” kata Rian ikut berpikir.
Dimas memperlihatkan layar laptopnya pada mereka. Kali ini bukan sebuah layar CCTV, melainkan sebuah biodata siswi yang baru saja diculik bernama Gea Nur Ustawiyah. Anak dari kelas 11 MIPA 1 dengan julukannya sebagai murid paling teladan di sekolah. Tidak pernah memiliki keterangan sakit, izin, ataupun alpa serta rival dari Aisyah sejak kelas 10. Gea selalu berada di peringkat 2 selama ujian yang dilangsungkan di sekolah. Bahkan tidak ada yang menyangka bahwa korban selanjutnya justru anak seperti Gea yang mana mustahil bagi dirinya untuk diculik.
Arga mengusap wajahnya kasar lalu berbicara, “Ini bukan lagi sekadar diskusi seolah kita lagi main detektif-detektif-an. Kita mungkin nunggu penyelidikan polisi, tapi sebagai murid juga di sekolah ini, kita gak mungkin tinggal diam, kan? Gak ada yang tau siapa yang bakalan diculik habis ini. Kita harus selidikin ini juga. Ada yang keberatan?”
“Aku sih nggak,” jawab Rian spontan.
“Lomba IT besok, tapi kalau ada yang menarik begini gak mungkin dilewatin,” sahut Dimas ikut menjawab.
“Oke, aku juga setuju,” jawab Nadya yang seketika langsung dipelirik oleh Rian.
“Bukan karena biar dekat sama Arga, nih?” celetuk Rian.
“Bukan!” Sergah Nadya sambil memutar bola matanya malas.
Semua menatap Aisyah yang sedari tadi hanya tersenyum atas pertengkaran singkat Rian dan Nadya. Raut wajah gadis itu terdiam usai mereka berempat menatapnya menunggu jawaban.
“Kalau aku bilang sibuk OSIS kalian tetap maksa, kan?” tutur Aisyah pada mereka kemudian kembali berkata, “Jadi aku ikut.”
Rian langsung merasa senang, “Sekre OSIS ada di pihak kita sekarang,” katanya membuat yang lain ikut tersenyum puas mendengar jawaban Aisyah.
Nadya pun berbicara, “Penculiknya selalu ngelakuin itu pas pulang sekolah, kan? Setiap hari Senin sampai Kamis kita pulang sore, sedangkan hari ini kita pulang dua jam lebih awal.”
“Ya, dan lagi siang-siang gini jalanan bakalan lebih ramai dari biasanya, kemungkinan keberhasilan dia ngelakuin penculikan adalah 30%,” jelas Arga melanjutkan perkataan Nadya. “Kita harus ingat kalau bisa jadi penculiknya berasal dari sekolah kita dan bahkan orang yang cukup kita kenal,” lanjutnya dan disetujui oleh yang lain.
“Aku punya ide,” ucap Aisyah menyahut.
Seketika semua menoleh ke arahnya penasaran.