Ini adalah kisah nyata yang terjadi pada beberapa narasumber yang pernah cerita maupun yang aku alami sendiri.
cerita ini aku rangkum dan aku kasih bumbu sehingga menjadi sebuah cerita horor komedi.
tempat dimana riyono tinggal, bisa di cari di google map.
selamat membaca.
kritik dan saran di tunggu ya gaes. 🙂🙂
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Glundung Pringis
1
Karena bapak mengantar ibuku ke rumah saudaranya yang lagi sakit di kota Blitar, aku, Erni dan mas Andri sepakat untuk menginap di rumah Mbah Di. Rumah beliau seperti yang aku ceritakan sebelumnya, bertempat di desa Tebo Selatan. Jarak ke sekolah tergolong lebih dekat, daripada jarak rumahku sendiri ke sekolah. Lebih enak, lebih praktis kan? Ga takut kesiangan. Hehee
Rumahnya bergaya Belanda, dengan banyak sekali jendela-jendela, beratap tinggi, berdinding beton sangat tebal layaknya rumah-rumah peninggalan Belanda pada umumnya dan berlantai dua. Halaman rumahnya cukup luas, dan cukup untuk bermain sepak bola. Kata bapak, Mas Andri dan aku dilahirkan disana, sebelum akhirnya bapak membeli tanah dan membangun rumah sendiri di desa Mulyorejo.
Rumah itu menghadap ke utara, kanan rumah ada sawah yang tembus ke Ba’an dekat rumah Ayu. Kiri ada bentangan sawah yang luas, dan seberang rumah atau depan rumahnya ada hutan lebat. Jalan depan rumah tadi, kalau di telusuri, arahnya ke timur disana ada turunan cukup curam, lanjut lagi dan sampai ke kuburan umum desa Tebo Selatan.
Mas Andri mengajakku jalan-jalan menuju ke arah kuburan itu, kuburan itu berada di pinggir jalan. Akan tetapi kanan, kiri, dan belakangnya ada hutan belantara. Karenanya, walau pun saat itu masih siang, suasana disana sangat gelap. Kami lanjut ke arah timur, ada turunan lagi, dan di dapati disana ada proyek pembangunan yang baru saja dimulai.
“Oh, ini? Nantinya disini akan di bangun pondok pesantren.” Jawab seorang warga saat di tanya oleh Mas Andri. Dia mengobrol sangat lama dengan orang itu.
Di tengah obrolan itu, Erni adikku. Dia menyusul kami sendirian.’ Berani betul dia jalan sendrian’ kataku dalam hati. Dan kami pun bermain bersama. Mas Andri melihat kami yang mulai bermain memasuki hutan, dia lantas mengajak kami pulang.
Saat kami sampai di rumah kulihat Mbah Di sedang duduk di teras rumah, di temani secangkir kopi hitam. “Wah, dari mana cucu-cucuk kesayanganku ini?” kata dia saat melihat kami pulang.
“Dari arah kuburan, Mbah.” Jawab mas Andri. “Ternyata di sebelahnya lagi ada pembangunan pondok pesantren.” Dan mereka mengobrol kan banyak hal.
2
Malam harinya, aku dan Mbah Di duduk-duduk di teras atas yang menghadap ke arah sawah. Mas Andri sedang mengambil baju bersih di rumah sama Mbah Ti. Dan saat itu Mbah Di mulai menceritakan kisah-kisah jaman penjajahan, dari masa Belanda hingga Jepang.
Katanya, di sawah sebelah barat dulu itu tempat pembantaian para pejuang, dan kiai-kiai yang mengumandangkan kemerdekaan tanah air kala itu. Hingga cerita bagaimana beliau mendapatkan rumah tersebut.
Mbah Di tinggal berdua dengan Mbah Ti, karena bapak, seperti yang aku ceritakan sebelumnya. Memutuskan membeli tanah dan membangun rumah sendiri.
“Dulu, pas Belanda masih menguasai daerah sini. Rumah ini di miliki oleh keluarga Jansen.” Mbah Di memulai ceritanya. “Hingga masa masuknya pasukan Jepang, pemilik rumah ini, beserta keluarganya terbunuh saat terjadi perebutan kekuasaan.
Dikarenakan rumah ini pernah menjadi saksi bisu terjadinya pembunuhan, rumah ini di anggap angker oleh orang-orang sini. Tapi aku tidak takut sama hal-hal semacam itu, sehingga aku putuskan mewarisinya.”
“Kamu pernah lihat pemilik sebelumnya Mbah.?” Tanyaku .
“Bukan pernah lihat saja, aku malah kenal dengan salah satu dari keluarga Jansen. Dia bernama Mark Jansen. Walaupun dia keturunan Belanda, tapi orangnya baik, suka membela kaum pribumi. Sehingga dia banyak di sukai warga sekitar sini. Dia punya anak gadis, kalau tidak salah namanya Selly atau Serlly. Aku lupa.
Anak itu juga menjadi korban kekejaman tentara Jepang. Anak yang malang, dia seumuran kamu saat itu.
Tapi, setelah Jepang kalah perang sama pasukan sekutu, mereka satu-persatu kembali ke negaranya. Yah walaupun ada pula yang masih tinggal di Nusantara ini.”
“Tinggal di Indonesia.?”
“Iya nak, setelah Jepang kalah perang. Indonesian mengumandangkan kemerdekaan, tapi Belanda tidak terima itu. Mereka kembali ke Tanah air, dan berusaha menjajah lagi.
Beberapa tentara Jepang yang kala itu membelot ke Indonesia, mereka membantu menghalau upaya penjajahan sekali lagi dari Belanda.
Dan perang hebat pun tidak terhidarkan, terutama di Surabaya.”
“Hoo. Terus keluarga Jansen yang lain, saat ini masih ada?”
“Tidak seorangpun yang selamat dari tragedi pembantaian. Mereka terbunuh di rumah ini. Karena itu rumah ini di anggap angker.”
“Mbah sendiri pernah di tampakin setan.?” Tanyaku .
“Sering, tapi kerena tidak mengganggu. Jadi aku biasa saja.”
“Ga takut.?”
“Kita sebagai manusia, derajat kita lebih tinggi daripada setan dan sebangsanya. Dan kita punya tuhan, Allah SWT yang senantiasa menjaga kita dari godaan setan.”
“Aku sering di tampakin setan Mbah, mau ga takut gimana? Wong wajahnya nyeremin gitu.”
“Ahahahaa, kalau hati kamu yakin Allah melindungimu, setan pasti bakalan pikir-pikir mau menggoda kamu. Jangan takut, dan yakinlah bahwa kamu tidak sendiri.”
“Siap!”
Dari tempat kami duduk nongkrong, terlihat seseorang berjalan malam-malam di tengah sawah. Kami memperhatikan sosok itu, terlihat kalau dia seorang wanita. Dia membawa bajong, atau tas punggung terbuat dari anyaman bambu.
Di tengah perjalanan, pas di bawah pohon kelapa, dia membungkuk seolah mengambil sesuatu dan memasukannya ke dalam bajong itu. Akan tetapi, tak lama setelah dia berjalan beberapa meter, dia seolah tersentak kaget, melihat isi bajongnya, lalu melemparnya. Lalu dia berlari ke arah rumah Mbah Di.
3
Ternyata, sosok tadi adalah Mbah Ti, istri Mbah Di. Alias nenekku.
Dia berlari ke arah kami sambil berteriak, wajahnya pucat pasi, keringat bercucuran, dan sekujur tubuhnya gemetaran hebat.
“Ada apa teriak-teriak?” tanya Mbah Di.
“Ada setan.!” Jawab Mbah Ti.
“Walah, tak kira ada apa.” Jawab Mbah Di enteng. “Kan sudah sering lihat gituan, masa masih takut juga.?”
“Tentu saja takut, mana bisa jadi biasa karena terbiasa melihat hal yang luar biasa.”
“Bisa saja kalau kamu menanggapi hal itu biasa-biasa saja.”
Wadah, ini bertengkar apa ngelawak sih?
“Mana bisa terbiasa karena terbiasa, itu bukan hal yang biasa.”
Karena bisa bosan mendengar pertengkaran yang luar biasa gara-gara hal biasa tapi juga luar biasa. Aku pun pamit istirahat duluan. Bisa-bisa aku tidak bisa kerasan di rumah yang lain dari pada rumah yang biasa ini.
4
Saat aku membuka mataku, Elly duduk di dekat kakiku. Dia tersenyum ramah seperti biasanya, dia memberi isyarat agar aku mengikuti dia. Tanpa pikir panjang aku pun menurutinya. Ini mimpi, tapi seolah tidak terasa kalau ini Cuma mimpi.
Saat keluar kamar, didapati ada sebuah lorong panjang membentang. Di ujung lorong ada sebuah pintu, Elly menuju kesana dan melambai supaya aku mengikuti langkahnya.
Sisi kiri lorong hanya jejeran jendela yang menghadap hamparan luas sawah, sedangkan kiri, ada beberapa pintu, di samping kedua sisi pintu di pasang lampu templek. Lampu itu menyala temaram sehingga membuat suasan di lorong itu bagaikan jalan menuju dunia lain.
Pintu sudah dekat, dan ternyta Elly sudah menutup pintu saat dia memasukinya. Aku membukanya.
Ternyata pintu itu menuju sebuah kamar kecil yang di setiap dindingnya dihiasi wallpaper berwarnah merah dominasi emas. Kamar itu di terangi oleh lilin di meja sudut ruangan. Kasur kecil dengan empat tiang menempel di dinding seberang pintu. Elly duduk di atasnya.
Elly, membuka sebuah album foto. Membukanya halaman demi halaman. Aku menghampiri dia, dan dia pun menunjukan sebuah foto keluarga. Dua orang dewasa laki-laki dan perempuan, dan dua anak kecil perempuan. Jari Elly menutupi salah satu wajah foto anak itu, dan yang satunya bisa aku lihat. Itu adalah Elly, tapi dia terlihat lebih dewasa.
“Keluargaku.” Dia bicara kepadaku sambil tersenyum, tetapi sesaat kemudian dia menangis. “Aku merindukan mereka, tapi mereka sudah hilang entah kemana. Sekarang yang aku miliki hanya dirimu. Tapi, akhir-akhir ini kamu juga semakin menjauh dari aku. Apakah kamu juga akan menghilang seperti mereka?”
“Tidak, aku akan terus menemanimu.” Jawabku.
“Berjanjilah.”
Aku mengangguk.
Dan mimpi pun berakhir.
5
Saat bangun hri sudah cukup cerah, Mbah Ti sudah menyiapkan sarapan dan Mbah Di sudah berangkat jalan pagi rutinnya.
Setelah mandi lalu sarapan, aku berangkat sekolah. Saat keluar rumah, Mas Andri baru pulang.
“Lho, kemarin jaga tah?” tanyaku.
“Iya, Pak Santoso ga mau jaga. Dia masih trauma sama pocong kemarin lusa.”
“Kan aku sudah cerita ke mas Andri, kalau itu Cuma salah paham saja.”
“Aku lupa, jadi aku belum cerita ke dia.”
“Woalah, ya wes. Aku berangkat sekolah dulu. Assalamuallaikum.”
“Waalaikumsallam, hati-hati.”
Di sekolah, tidak ada hal yang menarik, pelajaran, istirahat, main bola di lapangan, melihat Bogel pacaran sama Ayu, dan pulang.
Karena aku masih menginap di rumah Mbah Di, aku langsung menuju timur. Karena beda dari biasanya, Udin bertanya karena penasaran.
“Mau kemana Yon?” Tanya Udin.
“Mau kerumah Mbah ku Din.” Jawabku. “Aku menginap disana sampai bapak ibuk pulang dari blitar.”
“Oohh. Nanti kumpul di sungai kayak biasanya ya.”
“Ok, sip.”
Sesampainya di rumah, kulihat Mbah Di dan Mbah Ti masih berdebat tentang kemarin. Tetapi begitu melihatku datang, mereka menghentikan perdebatannya.
Karena penasaran dengan kejadian yang di alami Mbah Ti, aku pun menanyakan hal tersebut. Seperti aku memanggil ibuku, aku memanggil Mbah TI dengan sebutan ‘emak’.
“Kemarin ada apa sih Mak? Kok tengah malam teriak-teriak?”
“Ga ada apa-apa kok nak.”
“Aku dengar sendiri kok, emak bilang ada penampakan setan. Lagian kan minta tolong Mas Andri antar pulang sebentar gitu. Malah lewat sawah sendirian.”
“Awalnya sih, Nak Andri mengantar aku, tapi sampai seberang sungai di Ba’an saja. Yah, karena aku pikir sudah dekat rumah jadi aman-aman saja, eh ga tau nya malah ada penampakan.”
“Penampakan apa?”
“Glundung Pringis.....”
Lha?
silahkan komen, dan share. tengkyu ferimat. 😁😁