NovelToon NovelToon
Seharusnya

Seharusnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:9.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lu'lu Il Azizi

Tentang sebuah perasaan dan liarnya hati ketika sudah tertuju pada seseorang.
Rasa kecewa yang selalu menjadi awal dari sebuah penutup, sebelum nantinya berimbas pada hati yang kembali merasa tersakiti.
Semua bermula dari diri kita sendiri, selalu menuntut untuk diperlakukan menurut ego, merasa mendapatkan feedback yang tidak sebanding dengan effort yang telah kita berikan, juga ekspektasi tinggi dengan tidak disertai kesiapan hati pada kenyataan yang memiliki begitu banyak kemungkinan.
Jengah pada semua plot yang selalu berakhir serupa, mendorongku untuk membuat satu janji pada diri sendiri.
”tak akan lagi mencintai siapapun, hingga sebuah cincin melekat pada jari manis yang disertai dengan sebuah akad.”
Namun, hati memanglah satu-satunya organ tubuh yang begitu menyebalkan. Untuk mengendalikannya, tidaklah cukup jika hanya bermodalkan sabar semata, satu moment dan sedikit dorongan, sudah cukup untuk mengubah ritme hari-hari berikutnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lu'lu Il Azizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Merawat

Aku mengambil nafas panjang, mencoba mencari tau keadaan.”tenang buk, ada apa dengan Ain?”ucapku berusaha tenang.

”ibuk baru dapat telpon dari pengurus pondok. Ain sakit, dia muntah-muntah terus.”jawab beliau dengan suara penuh cemas.

Mendengar kabar itu yang ada di kepalaku hanyalah secepatnya aku harus sampai di sana. Lupa dengan situasi ku dan Ain yang sedang tidak baik. Aku tidak peduli dengan hal itu.“aku berangkat ke pondok sekarang, buk!”panikku langsung mematikan telpon. Ku ambil kontak mobil inventaris toko. Secepat mungkin aku berangkat.

Jalanan sudah cukup sepi, memudahkan ku memacu gas mobil, melesat. Tentunya setelah mengirim pesan suara pada Vika.”aku nanti tidak pulang ke toko dan mungkin besok aku libur.”

Aku menghentikan mobil tepat di depan gerbang pondok yang sudah tertutup, lalu segera melapor pada kang satpam perihal tujuanku datang. Aku menunggu jawaban dengan tidak sabar, cemas.

Hampir 10 menit aku menunggu. Rasanya begitu lama, aku mencoba menelpon Ain namun nomornya tidak aktif. Beberapa detik sekali aku memandang halaman pondok dari luar gerbang, mondar mandir dengan rokok terus menyala. Kang satpam akhirnya membuka pintu gerbang, tiga orang terlihat berjalan dari ujung halaman pondok.

Aku tidak sabar dan segera nyelonong memasuki gerbang yang terbuka dengan tidak sempurna. Salah satu teman Ain berjalan memapahnya dan satunya lagi seorang santri putra berjalan sedikit di belakang, sepertinya dia membawa barang milik Ain. Wajah Ain pucat, segera aku menggantikan peran temannya, tidak peduli dengan tatapan aneh santri putra itu, juga tidak menghiraukan apa yang ada dipikiran kang satpam. Ku sentuh kening Ain menggunakan punggung tanganku, panas.

Ain sudah masuk dalam mobil, di bantu temannya. Aku ingat wajah itu, dia ada waktu di kondangan keponakanku, dia pasti teman sekamarnya.

”kapan Ain mulai seperti ini mbak. Sudah ke dokter?” tanyaku padanya, pandanganku masih tertuju pada wajah pucat wanita yang mampu mengembalikan getaran hatiku.

“sejak dua hari lalu mas, dia mulai mengeluh.”jawabnya memasukan tas ransel milik Ain ke dalam mobil. Sedangkan santri putra yang membawa tas Ain tadi, dia masih berdiri dengan kang satpam. Dia hanya mengamati dengan wajah khawatir.

”di suruh periksa, dia menolak, mas.”lanjutnya menjelaskan. Aku menggelengkan kepala, menarik nafas panjang lalu segera pamit, berniat menuju rumah sakit terdekat.

Hanya beberapa menit ketika mobil mulai berjalan Ain kembali ingin muntah, mungkin temannya sudah menduga. Dia terlihat memegang beberapa kantong plastik hitam. Ku pelan kan laju mobil, memijit pelan lehernya menggunakan tangan kiri.

”kebiasaan buruk mu dek...”ku gelengkan kepala, lalu meminta bekas plastiknya setelah dia berhenti muntah dan ku lempar asal di pinggir jalan.

“apa salahnya periksa, saat badan terasa mulai gak enak.”tuturku lirih setelah membuang nafas panjang, telapak tangannya, dingin sekali. Tidak ada satupun kata yang keluar dari bibirnya.

Meski sudah memakai jaket, namun ia masih menggigil. Ku lepas jaket, menyelimutkan perlahan pada tubuhnya yang lemas. Dia bersandar pada kursi mobil.

Setelah sampai dan mobil sudah terparkir pada tempatnya, kami harus sedikit bersabar, karena antri di belakang dua orang pasien, kami duduk di kursi tunggu. Beberapa kali ku usap kening Ain, merapikan anak rambut yang keluar dari kerudung hitamnya, tidak rapi.

”malam ini sudah makan, dek?”tanyaku.

Ain menggeleng lemah.

”siang?”

Kembali, dia menggeleng. Aku menarik nafas panjang, mengerutkan kening menatap wajah pucat nya, bibirnya juga nampak kering.

”pagi?”lagi, aku bertanya sekaligus membuang nafas panjang.

“sedikit...”lirih suara Ain.

Aku hanya berdecak, ingin memarahinya tapi tidak tega melihat raut wajah lemas dan pucat nya.

“mass... mual lagi.”ia menutup mulutnya dengan tangan kiri, menyandarkan kepala pada bahu kiriku.

”sabar dek, sebentar lagi giliranmu.”ku usap pelan bahu kirinya.

“istrinya kenapa mas?”tanya bapak-bapak yang baru saja duduk di sebelahku. Mungkin karena posisi Ain yang bersandar pada bahuku, sehingga dia beranggapan jika kami adalah sepasang suami istri. Beliau juga sedang mengantar istrinya(mungkin)

Aku kaget sekaligus tersenyum, dengan pertanyaan tersebut.

“belum tau pak, mungkin hamil.”jawabku ngawur.

”mas...”Ain langsung mencubit perutku, tidak bertenaga. Aku menahan tawa.

Akhirnya tiba giliran Ain di periksa, aku menunggu di luar.

***

Di tengah perjalanan pulang, aku berhenti di pinggir jalan. Membeli tahu lontong di warung tenda pinggir jalan.”di bungkus dua buk, yang satu jangan di kasih sambal. Putihan saja.”pintaku pada penjual warung. Ain tidak keluar dari mobil, dia sudah cukup tenang. Mungkin karena efek suntikan dari dokter. Aku tadi sempat bertanya pada dokter, apa saja yang boleh dan tidak boleh di makan. Ain hanya boleh memakan makanan bertekstur lembut, juga di larang makan pedas. Telat makan dan kurangnya istirahat yang menjadi penyebabnya, dia terkena gejala tipes, juga tensi darahnya rendah.

Sesampainya di rumah. Pikirku kami tidak perlu membangunkan ibuk, karena Ain punya kunci rumah sendiri. Tapi ternyata, mendengar suara mobilku berhenti di halaman, pintu rumah langsung terbuka dari dalam. Wajah khawatir terlihat jelas pada ekspresi ibuk, beliau langsung membantu Ain turun dari mobil lalu menghujaninya dengan banyak pertanyaan, sambil membantu berjalan masuk ke dalam rumah. Beberapa kali beliau juga memarahi keponakannya itu setelah aku beritahu apa yang di sampaikan dokter, Ain diam tidak peduli dengan wajah kusutnya. Dia meminta untuk tiduran di kasur depan TV, bukan di kamarnya.

Aku menyiapkan tahu lontong yang tadi ku beli, menaruhnya di atas piring serta dua gelas teh panas baru saja ku buat. Ibuk masih menghujani banyak pertanyaan pada Ain sambil memijit kakinya. Dia bersandar pada bantal yang di tumpuk.

Saat aku menyuruhnya untuk makan, dia meminta untuk sholat isya’ terlebih dahulu. Dengan cekatan Ibuk mengantarnya ke kamar mandi, tubuhnya masih sangat lemas untuk berjalan sendiri. Meski terlihat cerewet namun ibuk sangat telaten juga sabar membantu keponakannya itu, mulai dari masuk ke kamar mandi, hingga memapah Ain sampai pada pintu masuk ruang pasholatan.

Wajah kantuk beliau tidak bisa disembunyikan, saat ini sudah pukul 23.00 aku menyuruh ibuk istirahat, sedikit memaksa untukku bisa membuat beliau bersedia masuk kamar.

Aku menunggu Ain sambil membersihkan dan merapikan sprei yang akan dia gunakan untuk istirahat. Dia masih tetap memilih untuk istirahat di ruang TV

”mass...”Ain memanggil lirih.

Segera aku menyusulnya, lalu menggandeng pelan langkahnya yang terhuyung-huyung. Kini dia kembali seperti posisi tadi, bersandar pada bantal yang aku tumpuk, dia berada tepat di tepian kasur tanpa ranjang, sedangkan aku duduk tepat di depannya beralaskan karpet motif bunga.

Piring berisi tahu lontong sudah di tanganku lengkap dengan sendoknya. Suapan pertama masuk ke dalam mulut Ain, bibirnya sudah tidak terlalu kering. Tidak ada gerakan pada mulutnya, dia enggan mengunyah lontong yang sudah ada di dalam mulut itu, matanya tertutup. Saat matanya terbuka aku melotot ke arahnya, dia paham maksudku dan segera menelannya dengan paksa. Terlihat dari gelagatnya, ia menahan muntah. Namun aku pura-pura tidak menyadari.

Ku siapkan suapan kedua, Ain menggeleng.”pahit!”ucapnya protes. Kembali, aku melotot ke arahnya persis seperti kisah seorang ibu, anak dan sepiring nasi. Setelah menelan suapan kedua, Ain kembali protes.”sudah mass… pengen muntah!”ia menggelengkan kepala. Lagi.

“di paksa dek....”suaraku memelas, membuatnya nurut meski terpaksa.

Ain terus menggelengkan kepala dan aku juga terus keras kepala, hal itu terus berulang hingga suapan ke 12.

”terakhir dek....”

melihat wajahnya, aku sudah tidak tega untuk memaksanya lagi.

Ain meneguk teh yang sudah mulai kehilangan panasnya. Suasana begitu hening, hingga detak jam dinding terdengar begitu jelas, dengan iramanya yang selalu konsisten. Aku meletakkan piring pada meja, terletak tidak jauh dari posisiku, berganti mengambil plastik hitam berisi obat dari dokter.

1
Riyana Dhani@89
/Good//Heart//Heart//Heart/
mr sabife
wahh alur ceritanya
mr sabife
luar biasa ceritnya
mr sabife
bagus dan menarik
mr sabife
bgusssss bnget
mr sabife
Luar biasa
queen.chaa
semangat terus othorr 🙌🏻
Charles Burns
menisan 45menit biar setengah babak
Dale Jackson
muach♥️♥️
Dale Jackson
sedang nganggur le
Mary Pollard
kelihatannya
Wayne Jefferson
gilani mas
Wayne Jefferson
siap ndoro
Alexander Foster
mubadzir woii
Alexander Foster
mas koprohh ihhh
Jonathan Barnes
kepo kek dora
Andrew Martinez
emoh itu apa?
Andrew Martinez
aku gpp kok kak
Andrew Martinez
kroco noob
Jonathon Delgado
hemmbbbb
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!