Kesalahan di masa lalu membuat Maudy memiliki seorang anak.
Seiring bertambah usia, Jeri merindukan sosok seorang ayah.
"Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Maudy pada pria itu.
"Aku tidak mau!" tolaknya tegas.
"Kamu tahu, Jeri sangat menyukaimu!" jelas Maudy. Semua demi kebaikan dan kebahagiaan putranya, apapun akan dilakukannya.
"Aku tahu itu. Tapi, aku tidak suka mamanya!"
Akankah Maudy berhasil memberikan papa untuk Jeri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hai_Ayyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 - Papa Jadi-jadian
Jeri telah selesai menghabiskan makanannya. Bocah kecil itu juga menenggak air minum dan membersihkan mulutnya dengan tisu. Lalu membuang sampah kotak makanannya ke tong sampah.
Maudy memang membiasakan putranya untuk membuang sampah pada tempatnya. Dari kecil sudah diajarkan untuk menjaga kebersihan.
Setelah itu, Jeri akan kembali duduk di sofa. Bocah kecil itu tampak kesulitan untuk naik ke sofa dan tidak sengaja kepalanya mendorong tubuh Roni.
Hal itu membuat bibir Roni jadi menempel pada wanita yang terlalu dekat dengannya.
Cup...
"Kamu mau modus ya?" ucap Maudy yang langsung bangkit. Pria modus itu berani sekali menciumnya.
Maudy menggosok-gosok bibirnya, walau cuma menempel tapi terasa menjijikkan.
"Nona, anda salah paham!" ucap Roni membela diri. "Jeri tadi mendorong saya dan jadinya tidak sengaja mencium anda!"
Maudy mendecih sambil melipat tangan. Alasan apa itu malah menyalahkan putranya.
"Kamu sepertinya begitu sangat tertarik padaku?!" ucap Maudy. Pria modus itu melakukan segala cara untuk mendekatinya.
"Kamu salah paham. Aku tidak tertarik padamu!" sanggah Roni cepat.
Roni tidak terima tuduhan Maudy padanya. Ia sama sekali tidak tertarik pada wanita aneh itu.
"Kamu sengaja melakukan berbagai cara untuk mendekatiku. Pura-pura menabrakku sampai 2 kali, lalu mengajakku bicara dengan bilang pernah bertemu sebelumnya. Dan sekarang apa? kamu mendekati putraku untuk mencari perhatianku, kan?!" Maudy menjelaskan dengan rinci semua modus pria itu yang sudah terbaca olehnya. Jelas sekali pria itu begitu sangat menyukainya.
Roni tercengang mendengar kepedean wanita itu mengatakan tuduhan menggelikan tersebut. Ia sampai memijat pelipisnya.
"Kamu salah paham. Aku tidak pernah berniat mendekatimu. Apalagi mendekati Jeri. Jelas-jelas Jeri yang datang-datang memegang kakiku dan mengatakan aku papanya. Aku juga heran!" Roni menjelaskan juga, ia tidak mau dituduh begitu.
"Pasti kamu yang terus mendekati anakku dan pura-pura menyayanginya. Kamu mau mencari perhatianku, kan!"
"Aku tidak begitu, nona!"
"Jelas sekali, kamu menyukaimu!" Maudy masih menuduh.
"Aku tidak menyukaimu!" tegas Roni.
"Aku sudah bilang kamu itu bukan tipeku, jadi berhentilah mendekatiku!" Maudy akan menolak pria itu, tidak akan memberikan kesempatan untuk mendekatinya.
"Aku juga tidak menyukaimu, jadi berhentilah menuduhku mendekatimu!"
Keduanya berdebat saling menuduh dan saling tidak terima. Mereka kini bicara tidak formal. Melupakan jika mereka atasan dan bawahan dan juga masih di area kantor.
"Papa, mama." panggil Jeri pada kedua orang yang tampak berdebat itu.
"Ya, Jeri." jawab keduanya kompak dan langsung saling melihat dengan sinis. Malah sama-sama menjawab.
"Jeri sudah makan?" tanya Maudy menghampiri. Gara-gara berdebat dengan pria itu, jadi lupa jika Jeri di sini juga.
"Papa sama mama kenapa? Jangan berantem ya." ucapnya dengan polos.
Roni menghela nafas yang terasa berat dan menghampiri Jeri.
"Jeri, kamu sama mama ya. Om mau lanjut kerja." ucap Roni berpamitan pada bocah itu. Ia membujuk terlebih dahulu agar Jeri jangan sampai menangis lagi.
"Papa mau pergi?" tanyanya dengan mata mulai berair.
"Om mau lanjut kerja."
"Papa tidak pergi kan?" Jeri masih mempertanyakan.
Roni menggeleng. "Om mau lanjut bekerja, Jeri. Nanti kita ketemu lagi ya."
Jeri pun mengangguk pada penjelasan Roni. Papanya hanya bekerja dan tidak akan pergi lagi, jadi ia tidak akan menangis untuk menahannya.
Teman-teman di sekolah juga begitu. Yang didengarnya papa mereka juga bekerja dan nanti akan datang lagi.
Setelah berpamitan pada Jeri, Roni pun berlalu pergi dan ia sempat melirik wanita kepedean itu melihatnya dengan sinis.
"Jeri, mama mau lanjut kerja ya."
"Iya, mama kerja saja. Jeri mau menggambar."
Maudy melihat sang putra sibuk mengeluarkan buku gambar dan pensil warnanya. Wanita itu pun akan meneruskan urusannya, ia kembali ke meja kerjanya.
Tak lama keduanya pada fokus. Satu pada pekerjaan yang menumpuk. Dan yang satu lagi sedang menggambar.
"Mama tidak makan siang?" tanya jeri disela kesibukannya. Mamanya belum ada makan siang dan langsung bekerja saja.
Maudy tersenyum tipis, ia sampai lupa makan siang.
"Mama harus makan. Jeri tidak mau mama sakit." ucap Jeri. Jika mamanya sakit, ia bisa sedih. Nanti tidak ada yang memasak dan membawakan bekal untuknya.
Wanita itu jadi terharu mendengar perkataan putranya.
"Nanti kalau mama sakit, papa juga repot."
Maudy menepuk jidatnya, Jeri malah membawa papa jadi-jadian itu.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Roni telah berada di ruangannya. Hari ini ia tampak lelah sekali, anak atasannya itu tidak mau melepaskan dirinya. Harus dibujuk pelan-pelan baru nurut.
Ini juga ia baru selesai makan siang. Tadi makan dengan terburu-buru, karena jam makan siang akan berakhir.
Pria itu mulai fokus pada pekerjaannya yang sempat tertunda tadi. Tapi pikirannya mulai mengingat wanita itu.
"Dia mantannya Yoan, kan?" gumam Roni. Yoan itu suami dari mantan pengantin wanita yang ditinggalkannya. Dan Yoan itu, pria yang ditinggalkan Maudy di hari pernikahan.
"Si Eneng." ucapnya pelan. Dahulu ia memanggil wanita itu dengan panggilan si eneng. Dan dari dulu wanita itu memang sombong dan kepedean sekali. Sifatnya tidak pernah berubah.
Sementara di ruangannya, Maudy juga mulai mengingat Roni. Pria itu dulu pernah memberi informasi padanya tentang istri sang mantan. Mereka dulu pernah kompak akan menghancurkan pernikahan mantan-mantan mereka kala itu.
'Ihhh, kenapa dulu aku bisa kompak dengan pria jahat itu!' Maudy jadi merinding. Saat itu Roni yang memberi tahu alamat rumah Yoan, hingga ia datang dan meneror istrinya.
Kalau diingat lagi, Maudy jadi menyesal pernah berbuat jahat pada orang lain. Saat itu ia sangat egois dan tidak pernah memikirkan orang lain.
"Ma." panggil Jeri sambil menarik ujung baju mamanya.
"Hah, iya sayang." jawab Maudy saat tersadar dari lamunannya.
"Ma, kita tidak pulang?" tanya Jeri. Ia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 4. Sudah jam pulang kantor.
"Mari kita pulang, sayang." Maudy pun membereskan barangnya, lalu membantu Jeri membereskan buku dan pensil warnanya.
Tas ransel itu kini Maudy pakai dan ia akan meraih Jeri dan akan menggendong sang anak.
"Jeri jalan saja, ma." ia menolak untuk digendong. "Mama sudah capek kerja, nanti tambah capek jika gendong Jeri lagi."
Jeri melihat wajah mamanya yang tidak secerah saat berangkat kerja. Pasti mamanya kelelahan dan dilihatnya juga sepatu tinggi yang dipakai mamanya begitu tinggi dan lancip. Nanti kesulitan jika menggendongnya.
"Mama tidak apa, nak. Mama kuat!"
Jeri menggelengkan kepala. "Jeri tidak mau nanti mama sakit."
Maudy mulai berwajah mewek. Putranya begitu peka sekali.
"Nanti kalau Jeri capek bilang sama mama ya." saran Maudy. Jarak dari ruangannya ini ke parkiran mobil cukup jauh.
"Siap, mama!" jawab Jeri bersemangat.
Maudy pun tersenyum senang.
"Ma, telepon papa. Jeri mau pulang sama papa." pinta Jeri.
"Apa?"
.
.
.