NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Dorongan pintu yang digerakkan dari luar kamar itu mengejutkan seorang anak berumur empat belas tahun. Mata terbelalak lebar, disertai embusan napas pendek-pendek setelah menyadari tangan-tangan muncul diatas kepalanya.

Gita menghindar setelahnya, mendorong tubuh ke belakang untuk menghindari ketika akan terjadi suatu mara bahaya.

"Dek?" pertanyaan menggantung menyusul Nita untuk membuka pintu milik Adiknya. Kepalanya pun muncul masuk, menyusul setengah tubuhnya mengikuti gerakan. Mengintip keadaan seseorang di dalam kamar tidur yang terbuka setengah. "Bukannya tidur di kasur, mengapa tidur di lantai?"

Gita melotot tegang, menekuk lutut hingga menyentuh dadanya. "Ternyata kamu, Kak." Gita bangun berdiri, menyesuaikan pandangan mata yang sempat kabur, samar. Kepala nyeri ditahan. Mengelus hingga rasa sakit itu dapat mereda. 

Pandangan kembali datar, fokus memperhatikan penampilan ter-rapi di matanya. Memakai kemeja tanpa lipatan-lipatan kecil, celana panjang dan rambut pendek lurus seperti selesai menggunakan catokan rambut. Wangi parfum menjalar sampai ke hidung Gita.

"Mau kemana, Kak? Biasanya lebih cepat aku yang berangkat sekolah. Sekarang giliran Kakak."

"Menurutmu?" Pertanyaan lama seharusnya sudah harus dimengerti oleh adiknya tentang pekerjaan Kakaknya. "Jangan bicara lagi. Kakak ada tugas menumpuk. Cepat mandi. Sarapan sudah Kakak siapkan di meja makan. Kamu sudah besar, urus barang-barang sekolahmu. Langsung cari angkot. Jangan bolos. Awas saja." 

Ancaman lama selalu dilakukan untuk mengingat kehidupan sekolah Gita. Anak pelupa seperti ayahnya menjadi pengingat bagi Nita untuk selalu memberikan peringatan. 

Gita meng-iyakan suruhan Kakaknya. Ancaman lama selalu diturunkan turun-temurun. Entah itu Buyutnya, Neneknya, Ibunya, sampai Sang Kakak sebagai generasi muda sekarang. Bisa jadi suatu saat Adiknya akan mengikuti sifat temperamen itu.

Nita bergerak melanjutkan persiapan menuju kendaraan ber-roda dua. Sibuk sudah di pagi hari, mengomel mencari barang hilang, lari sampai menyenggol perabotan rumah. Barang-barang jatuh menggelegar berisik, bahkan menyaingi suara ayam berkokok keras.

Gita menggeleng, tersenyum akan kelakuan Kakaknya yang seperti dirinya. Bergerak cepat mencari buku yang disesuaikan dengan paket mata pelajaran, dimasukkan ke tas polos. Beralih mencari seragam baru yang dilipat, menarik kain itu hingga tumpukan diatas harus dibuang acak. Sangat sulit jika ditata rapi kembali. 

Peraturan pertama yang dilakukan adalah menceburkan diri menyentuh dinginnya air. Siap tidak siap wajib dilakukan. 

Melakukan hal itu sampai selesai, dilanjutkan bersiap diri dan bergegas turun mengambil paket sarapan yang disimpan dengan penutup setengah bulat.

Tidak ada yang spesial dalam menikmati jam sarapan itu. Mata mengantuk berat, mulut menguap minta jatah tidur lagi dan garukan punggung yang ternyata kurang menjaga kebersihan sengaja dilakukan.

Memastikan semua kegiatan di dalam rumah telah selesai, saatnya anak sekolah dengan ikatan rambut beranjak pergi.

Beban pada dirinya menumpuk berat karena rasa lelah yang harus ditahan pagi ini. Perjalanan panjang menanti perempuan muda menuju tempat dimana ia belajar.

...***...

Angkot bergerak melaju ke tempat pemberhentian setelah siswi sekolahan menuruni kendaraan itu.

Gerbang besar dengan papan nama bercetak tebal dipasang tengah-tengah. Suasana kondusif menciptakan rasa damai selama murid-murid lain berjalan masuk mengalami deretan guru-guru yang bersiap diri sejak lama.

Pakaian batik selalu menjadi seragam paling menonjol. Memakai peci hitam, janggut dan kumis dirapikan segera, tersenyum menyambut yang datang.

"Pagi, Pak," ucap Gita menempel telapak tangan, menyentuh pipi dan dilepaskan.

Guru BK memakai peci hitam yang pernah disebutkan oleh Gita, mengangguk saja. Mata ditajamkan layaknya menargetkan subjek untuk dijebloskan ke penjara. Sasaran buronan lebih tepatnya.

Gita berjalan lebih cepat, tidak mau diberikan tatapan mengerikan itu lebih lama. Masalah akan bertambah jika Pak guru memikirkan untuk menggeret Gita ke ruang interogasi lagi.

Dia tidak mau, dia bersikeras berlari usai menyalami tujuh guru-guru tua maupun muda.

Gita berjalan cepat memasuki lorong sekolah sebagai jalan utamanya. Sebenarnya terdapat jalan tikus yang memudahkan perjalanan itu. Namun dia tidak mau, takut adanya kejutan di sana karena terkadang anak laki-laki suka mengagetkan siapa saja yang melintas.

Diselingi memandang anak-anak yang sampai membawa tas, Gita menemukan trio nakal memainkan basket. Seperti kemarin kegiatan mereka. Layaknya merasakan dejavu yang terulang-ulang seperti siklus kehidupan.

Gita berhenti sejenak karena menyadari seorang murid berhenti tepat di depan wajah Gita setelah selesai melihat lingkungan sekolahnya.

Gita menampar orang itu, menjauhi dari pandangan yang menganggu sampai yang mengejutkan pun harus terdorong kecil.

Anak kecil yang tidak tau apa-apa, harus mengeluarkan tenaga sebelum waktu belajar dilaksanakan.

Perempuan tergerai rambutnya berdiri, memiliki pekerjaan sampingan untuk mengelus pipi. "Tamparanmu menang selalu kuat, Git. Tapi kali ini memang sakit."

"Kau...kalau ingin berbicara, Sal, nanti di kelas. Aku akan ke tempat itu. Sabar."

Salma mengelus pipi lagi.

"Kau tidak apa-apa? Aku ambilkan es untukmu, ya? Pipimu memerah karena tamparan dariku."

Temannya tidak bertindak, menggigit bibir, menekan suaranya untuk mempertahankan rasa sakit. "Jangan, Git.   Sakit ini akan menghilang kalau fokus belajar. Dan sekarang kantin belum buka. Kamu mau cari dimana?"

"Dimana saja, asalkan kau mendapat pereda sakit. Tapi di daerah sekitar sekolah memang tidak mudah mencari yang sesuai."

"Kelihatannya susah, Git. Daerah ini saja sudah dibabat habis untuk pembangunan rumah."

"Ya, tetapi mengapa kau ada disini? Kau selalu di dalam kelas, baca buku. Seperti anak rajin."

"Tidak selalu yang rajin akan menetap lama di Kelas. Dan aku memang mengkhawatirkan kalau kamu akan berkelahi tanpa ada yang mengawasi. Takut pak Ali akan menggiring kita ke ruang BK lagi."

"Tampangnya alim, mana mungkin perempuan ini mudah takut."

"Hei, Git, jangan keras-keras memanggilnya."

"Biarkan saja. Aku sudah bertemu dengan orang itu tadi, sewaktu bersalaman di depan."

Suara serak muncul di dalam diri Gita. Suara itu ada di belakang diri dia murid yang menggosip bersama di tengah-tengah lorong panjang.

Yang menyebut nama seorang guru, maka ia akan terpanggil datang dengan sendirinya tanpa ada yang menyuruhnya.

"Siapa yang tadi memanggil nama Bapak?"

Kedua murid memutar diri, menangkap pandangan baru dengan wajah pria muda mengenakan peci. "Eh, ada Bapak." Gita nyengir ketahuan.

"Tadi ada satu murid yang menyebut nama Bapak," Pak Ali melihat anak didik di bawah. "Siapa yang memulai tadi?"

Gita menggeleng seperti tidak mengenal siapa yang membicarakan tentang gurunya. "Salah orang, Pak. Bukan Pak Ali guru Agama. Tetapi Pak Ali guru Kesenian."

Pak Ali pemakai peci memandang anak didiknya lagi.

"Ada apa, Pak? Mengapa Bapak ada disini? Sebentar lagi jam pelajaran, Pak. Tidak bagus ada di luar terus, Pak." Gita menaikkan bahu, berusaha memberikan penilaian baru.

Pak Ali tertawa.

Gita menatap temannya yang terlibat cemas ketakutan. Keringat jatuh menemui kain merah baju.

"Bapak yang bingung dengan kalian berdua. Kalian menghalangi orang-orang yang ingin melintas. Saya pun sebenarnya ingin memutar arah. Namun saya malas dan berjalan menemui kalian ini."

Gita menahan tawanya sekuat mungkin. Ternyata Pak Ali tidak memarahi kami karena Gita menyebut namanya dan itu membuatnya lega.

Dibuka jalan lebar, mempersilahkan guru muda untuk meneruskan arah jalan. "Silahkan, Pak. Selamat bekerja." Gita membuka tangan, diarahkan kesamping.

Guru Agama menggeleng terhadap tingkah laku satu murid menonjol daripada temannya yang pemalu. "Sebaiknya kembali ke kelas. Sebentar lagi bel berbunyi."

"Iya, Pak. Kami mengerti. Akan segera kami lakukan."

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!