Byan, seorang pria yang memiliki mimpi, mimpi tentang sebuah keadaan ideal dimana dia membahagiakan semua orang terkasihnya. terjebak diantara cinta dan sayang, hingga terjawab oleh deburan laut biru muda.
tentang asa, waktu, pertemuan, rasa, takdir, perpisahan.
tentang mimpi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arief Jayadi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RASA, Anugerah ataukah Kutukan?
entah,Anugerah ataukah Kutukan....
Terkadang perasaan datang, bukan karena diinginkan, ia seperti tiba tiba mengetuk batang otakmu dan meminta admin otakmu memprosesnya saja, mengalir seperti air sungai, mengikuti perbedaan elevasi tubuhmu. Itu kata perasaan kepada admin nya, dia tau admin yang lain sedang mengolah data yang tersampaikan dengan logaritma benar atau salah, tapi perasaan bekerja bersama sama dengan adminnya tentu saja kadang tetap berusaha untuk menepikan logika tersebut.
Kembali lagi, ketika otak memproses semua data informasi yang ia dapatkan dengan spesifik, tidak tumpang tindih, tertata rapih dengan plot yang disesuaikan dengan prioritas, hanya saja yang membuat semuanya lebih rumit di banding benang layangan adalah ada ketidakmauan si manusia mendengar proses otak tersebut, dengan mengatasnamakan variable dan pembenaran-pembenaran, bahkan hanya karena faktor keengganan untuk sekedar merasa sakit, takut dan lain sebagainya.
Kau menyukai seseorang, otak akan memprosesnya selayaknya kau menyukainya. Kemudian dengan sangat tepat ia mengolah hipotesa kesukaan itu dengan uji yang berbagai macam, termasuk uji kepatutan. Patutkah seorang yang sudah memiliki kekasih yang akan dinikahi dalam waktu dekat ini menyukai orang lain, seperti itu contohnya, dan tentu saja masih ada uji kepantasan lainnya.
Sebagai manusia yang di anugerahi rasa, tentu akan ada penyangkalan, pembenaran, dan lain sebagainya. Tapi otak selalu memprosesnya dengan spesifik, tidak mungkin salah, rasa lah yang mengakibatkan semuanya menjadi salah. Jadi rasa, kau itu anugrah atau kutukan sebenarnya? Pada kasusku, aku tidak membagi rasaku akan Asih, tapi tumbuh rasa baru akan Ony. Sekali lagi kukatakan, rasa yang membuat semua menjadi runyam.
Seperti saat melangkahkan kakiku melalui hari, aku membutuhkan pagi untuk menemui siang, kemudian menyelesaikan siang guna memandang senja hingga akhirnya aku pulang dipeluk malam. Aku takkan bisa menemui siang tanpa ku sapa pagiku, pun aku takkan bisa pulang bila senja tak kunjung menghilang berganti malam.
Ony, akan selalu kukatakan, ia seperti pagi, ia menawarkan semangat. Ia begitu panas, seperti terik mentari pagi yang menguapkan embun di sela daun. Ia begitu menawarkan gairah, semangat, membakar, memuncakkan aku untuk menerjang apapun yang akan terjadi di setiap harinya. Ony selalu memberikan aku adrenalin, keliaran yang sudah lama setengah tertidur di badan petualang ini bangkit, dalam arti yang benar. Ia memberiku kekuatan untuk bisa dengan teguh tak tergoyahkan menjalani hari. Dan ketika ia tidak ada, aku kehilangan pagi, aku rapuh, aku melemah. Fotosintesis, vitamin D, dan seluruh kemuliaan pagi tak aku temui. Membuatku semakin tak ingin keluar dari selimut yang mengurungku.
Lain lagi tentang Asih, ia adalah temaram, ia adalah kehangatan, kelembutan. Asih adalah obat, ia meleburkan seluruh keletihan sepanjang hari dan menawarkannya dengan kalimat kalimat yang selalu membuatku bisa terlelap. Ia selalu saja tau bagaimana harus menepiskan gundah, letih, amarahku, kadang hanya dengan diam ia menawarkan kesembuhan.
Ya mereka tak bisa saling mengungguli, mereka tak bisa saling digantikan, mereka kubutuhkan. Mereka berbeda di tiap sisinya, tapi mereka melengkapi. Bukan berarti aku ingin memiliki mereka berdua, aku tau aku tak bisa, tak boleh, tapi aku juga tak mungkin bisa melewati 24 jam tanpa adanya pagi ataupun malam kan??
Sekali lagi, aku tau dengan benar perasaan ku tak bisa dibenarkan, terutama oleh Asih, atau mungkin oleh keduanya, karena kini mereka menjauh. Aku seperti kehilangan keduanya, menjalani 24 jam penuh kekosongan. Aku tau aku harus segera memperbaiki segalanya, aku hanya sedang menimbang resiko mana yang lebih siap aku hadapi. Tapi semakin aku menimbang, rasa, seperti semakin membuatku bimbang, ia semakin menghukum diriku karena aku melangkah terlalu jauh. Sampai di titik tertentu, semua menghitam. Pandanganku menghitam.
aku terbangun, aku tak tahu sudah berapa lama aku kehilangan kesadaranku, dan terjelembab di bawah sofa tamu di rumahku. Rupanya tubuhku pun tak siap akan permainan rasa dan logika ini.
aku mencoba segera bangkit dan melanjutkan kegiatanku. waktu sudah menunjukkan 07.00 pagi, sudah waktunya aku harus bersiap menuju kantor pikirku, tapi badanku masih menolak
"aku lelah, terlalu lelah" gumamku pada diriku sendiri.
segala urusan rasa ini melemahkan ku, menggerogoti kemampuanku bertahan dan menyerang, memang benar rasa ini sebenarnya anugerah atau kutukan? atau rasa adalah keduanya. Aku tau aku harus segera memperjelas posisi rasa ini, aku tak bisa terus dilemahkan oleh rasa!
*****
"Lalu rasa, kau ini anugrah atau kutukan?"
*****