Riana, seorang fresh graduate yang diterima bekerja menjadi salah satu karyawan di sebuah perusahaan pengembang game yang cukup ternama, Gameflix. Riana tidak pernah menyangka akan mendapatkan kejutan di hari pertamanya bekerja. CEO perusahaan tempat dia bekerja melamarnya di hari pertamanya bekerja! Bagaimana kisah Riana selanjutnya? Simak kisah serunya ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Purnamanisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menerima
Barra menatap Riana yang sibuk menatap langit malam. Tak pernah ada yang menganggap kehidupan Barra keras dan sulit sebelumnya. Semua menganggap kekayaan dapat menguatkan Barra. Salah!
Sepeninggal ibunya, Barra tak punya lagi sandaran. Ibunya satu-satunya yang memperlakukan Barra dengan baik. Ayahnya sudah mulai menekankan pada Barra bahwa dia adalah pewaris tunggal ketika usianya menginjak remaja.
Barra remaja mulai kehilangan sosok ayah yang sibuk dengan perusahaannya yang semakin berkembang. Ibunya yang mulai sakit-sakitan tak mampu lagi memberikan kasih sayang dan perhatian sepenuhnya pada Barra. Sejak saat itu Barra lebih sering menghabiskan waktunya bermain game. Barra mendapatkan penghiburan melalui game-game yang dia mainkan.
Barra remaja tak pernah tahu bahwa kehilangan seorang ibu bisa membuatnya begitu terpuruk. Tak ada yang dapat mengerti perasaannya saat itu, bahkan ayah yang diharapkan Barra dapat memahami kesedihan Barra sama sekali tak menghiraukan perasaan Barra dan menikah lagi setahun setelah ibunya menikah.
Barra masih menatap Riana yang masih tak sadar bahwa Si Gunung Es itu mungkin mulai mencair. Barra tak pernah bagitu memperhatikan wajah Riana. Dalam temaram cahaya lampu taman, wajah Riana terlihat teduh. Barra membayangkan bagaimana Riana kecil bertahan dengan semua orang meninggalkannya seorang diri? Bahkan Barra yang kala itu sudah remaja begitu sulit untuk bangkit.
"Kamu..." kalimat Barra terpotong.
"Ya, Tuan?" tanya Riana karena Barra tak segera melanjutkan kalimatnya. Barra masih berpikir bagaimana dia mengatakannya. Riana menatap Barra penuh tanya.
'Dia mau ngomong apa sih?'
"Kruuuuk...." tiba-tiba saja perut Riana meronta. Riana meringis menahan malu sambil memegang perutnya.
"Ayo makan," ajak Barra lalu beranjak dari bangku taman menuju ruang makan. Riana mengekor di belakangnya.
Riana menatap punggung Barra yang bidang. Pertanyaan yang selama ini berkeliaran di pikiran Riana muncul kembali. Mengapa Barra ingin menikahinya? Riana tak menemukan jawabannya.
"Makanlah, lalu saya antar kamu pulang," perintah Barra pada Riana ketika sudah tiba di ruang makan kembali.
"Tuan tidak makan?" tanya Riana. Barra hanya menggelengkan kepalanya.
"Ya sudah ayo kita pulang," kata Riana sambil berjalan menuju pintu keluar. Barra menatap Riana heran. Riana yang merasa Barra tidak berjalan mengikutinya, berhenti lalu menoleh.
"Ada apa, Tuan?" tanya Riana bingung.
"Saya mau makan dulu," kata Barra lalu duduk dan mengambil makan. Riana tersenyum, lalu ikut duduk dan makan.
'Hampir saja aku pulang dengan perut kosong. Sepertinya Si Gunung Es ini tidak sedingin yang orang-orang kira,' batin Riana sambil tersenyum.
"Saya tidak mau dikatakan pria tak berperasaan, memulangkan seorang wanita dengan perut lapar," kata Barra yang melihat Riana tersenyum sendiri. Riana terkejut.
'Ilmu cenayangnya mulai dikeluarin,' batin Riana.
"Kalau memang Tuan punya perasaan, mengapa tak memberitahu saya alasan sebenarnya Tuan ingin menikahi saya?" tanya Riana. Barra menatap Riana yang juga menatapnya.
"Saya juga heran kenapa ayah Tuan langsung setuju saja Tuan menikah dengan saya yang bukan dari kalangan keluarga konglomerat," lanjut Riana. Barra masih menatap Riana yang ternyata sudah terbiasa dengan tatapan tajam Barra.
"Tuan bilang karena Tuan suka, jadi Tuan ingin menikah. Saya bukan wanita bodoh yang percaya dengan kata-kata yang tak masuk akal seperti itu,"
Entah megapa Riana jadi meledak-ledak. Mungkin karena dia membayangkan akan menjadi seorang isteri dari orang kaya, yang biasanya terlalu banyak aturan. Riana terbiasa hidup mandiri dan bebas. Meskipun bebas, Riana tetap memiliki aturan sendiri untuk dirinya sendiri, bukan diatur orang lain, kecuali dalam hal pekerjaan.
"Kalau kamu tahu alasan saya menikahi kamu, apa yang akan kamu lakukan? Menolak? Kamu sudah berusaha menolak pernikahan ini dari awal. Tapi saya memberikan kamu pilihan untuk menikah dengan saya dan masih tetap bekerja, atau menolak menikah dengan saya dan menjadi pengangguran seumur hidup. Dan pilihan kamu adalah?" Barra balik bertanya yang sukses membuat Riana tak bisa berkutik lagi.
"Apakah sebuah alasan diperlukan untuk menikah? Orang-orang bilang mereka hanya butuh cinta untuk menikah. Apakah kamu juga begitu?" tanya Barra lagi. Riana terdiam.
"Alasan saya menikahi kamu tidak perlu saya katakan. Tapi yang jelas, mengapa pengantin wanitanya adalah kamu, itu karena saya menginginkan kamu, itu saja," kata Barra.
"Kenapa harus saya?" tanya Riana sambil menatap tajam Barra. Barra terdiam.
Barra sendiri tak tahu mengapa dia memilih Riana saat itu, padahal ada karyawan wanita yang lain. Barra hanya melihat Riana yang mengendap-endap, menyusup diantara karyawan yang lain, terlihat mencolok. Mungkin awalnya Barra hanya ingin memberi pelajaran pada Riana atas ketidak sopanannya saat itu. Tapi, melihat latar belakang pendidikan Riana yang luar biasa membuat Barra jadi sedikit tertarik dan mantap memilih Riana untuk alat mendapatkan investasi dari ayahnya.
"Sudah selesai makan? Ayo pulang," ajak Barra sambil beranjak dari ruang makan. Riana masih terduduk disana, menghela nafas panjang. Riana berjalan dengan langkah gontai. Mungkin lebih baik dia lari saja dan menghilang. Namun, dia bukan wanita yang akan lari dari masalah.
Barra sudah menunggu Riana disamping mobilnya. Riana yang sudah berada di dekat Barra kembali melihat istana megah di belakangnya. Dia seperti Cinderella. Hanya saja, pangerannya tidak mencintainya. Cinta? Apakah itu penting?
Riana masuk ke dalam mobil diikuti Barra. Mungkin memang Riana harus mengikuti saran Ibeth bahwa dia harus menerima pernikahan ini dari sisi positif yang dia dapat. Lagi pula kedua orangtua Barra tidak semenyeramkan seperti apa yang dia bayangkan.
"Maaf..." ucap Barra di tengah kesunyian seiring mobil melaju. Rei melirik ke arah spion. Riana menoleh ke arah Barra yang melihat keluar jendela.
"Maaf untuk apa, Tuan?" tanya Riana.
Tak ada suara. Riana mengerutkan alis. Riana hampir saja mengira dia salah dengar jika Barra tidak segera membuka suara.
"Maaf, sudah membawa kamu masuk ke dalam hidup saya," kata Barra kemudian, masih dengan menatap keluar jendela.
Riana terdiam. Seperti apa kehidupan Barra yang sebenarnya? Riana cukup tahu sepotong masa kecil Barra. Lalu? Mungkin karena mengalami hidup yang keras membuat Barra terlihat dingin bak Gunung Es. Mungkin saja dia pria baik. Mungkin saja di balik sikap dinginnya, ada kehangatan seperti saat ini. Mungkin.
Riana tersenyum menerima takdirnya yang harus menikah dengan orang asing. Lagi pula, semua berawal dari ketidak kenalan, lalu mengenal dan akhirnya muncullah cinta. Jadi, untuk apa memusingkan alasan Barra menikahinya?
"Jangan minta maaf. Tak perlu. Mungkin ini memang sudah takdir saya untuk masuk ke dalam hidup Anda. Semoga Tuan tidak keberatan menerima saya nantinya," kata Riana sambil tersenyum menatap keluar jendela. Barra menoleh menatap Riana yang sibuk menikmati pemandangan jalanan.
'Kamu... apa saya bisa menerimanya?'
***
..