NovelToon NovelToon
Dendam Si Kembar

Dendam Si Kembar

Status: tamat
Genre:Anak Kembar / Identitas Tersembunyi / Cinta Murni / Romansa / Tamat
Popularitas:146.7k
Nilai: 4.9
Nama Author: Freya Alana

Gadis dan Dara adalah sepasang gadis kembar yang tidak mengetahui keberadaan satu sama lain.

Hingga Dara mengetahui bahwa ia punya saudara kembar yang terbunuh. Gadis mengirimkan paket berisi video tentang dirinya dan permintaan tolong untuk menyelidiki kematiannya.

Akankah Dara menyelidiki kematian saudaranya? Bagaimana Dara masuk ke keluarga Gadis?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Freya Alana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keturunan Anantara

“Sad, aku sama Gadis entah bagaimana punya ikatan aneh. Dulu aku sering tiba-tiba merasa sakit, ternyata di saat yang sama Gadis pun sedang mengalami sesuatu.”

“Aku pernah mendengar hubungan batin tentang dua orang kembar. Mereka sering bisa merasakan satu sama lain.”

“Sad, malam dimana Gadis kecelakaan, aku pingsan. Saat itu aku merasa seperti di dalam mobil yang terguling-guling. Tapi sebelum itu aku ingat seperti melihat sepasang mata di balik kemudi mobil yang menabrak mobil Gadis.”

Irsad mendengarkan seksama.

“Hanya mata saja?”

“Iya, tapi aku nggak akan lupa mata kejam itu. Aku belum pernah melihat sebelumnya.”

“Dara, bantu aku.”

Irsad mengeluarkan tablet dan bolpen stylus.

“Kamu mau bikin sketsa mata yang aku liat?”

“Iya. Ini sketsa bertumbuh, saat ini mungkin kamu hanya ingat mata, tapi bisa jadi kamu akan ingat bagian-bagian wajahnya.”

“Waw, kamu bisa gambar?”

“Bisa dong. Udah jangan terlalu kagum, nanti naksir.”

“Haish, si paling ganteng. Hati aku juga udah ada yang … eh belum ding. Masih jomblo. Kesian.”

Irsad tersenyum melihat perubahan wajah Dara yang kini mengasihani diri sendiri. Sama seperti Gadis, wanita di depannya memiliki paras yang elok. Kulitnya mereka eksotik, sawo matang. Bibir tebal, hidung bangir, dan mata bulat. Bulu mata yang tebal dan lentik serta alis bak semut berbaris melengkapi kesempurnaan wajah mereka.

“Naksir?” Dara terkekeh melihat Irsad memandangi wajahnya.

“Nggak lah, aku udah kepincut sama satu gadis. Moga-moga dia juga suka sama aku.”

“Hwaiting!” Dara menirukan gaya orang Korea memberi semangat.

“Aku dah siap bikin sketsa. Kamu liat ya, apakah aku udah bisa menerjemahkan ke dalam gambar.”

“Bismillah … Bentuk mata kayak almond, terus sudut luarnya naik. Di bawah mata kiri ada tanda atau apa itu ya? Mungkin bekas luka?” Dara memejamkan mata mencoba untuk mengingat.

Irsad terus memainkan stylus hingga jadilah sepasang mata yang dilihat Dara malam itu.

“Ya, aku lihat sepasang mata itu. Yang lainnya aku tak ingat.”

“Kerja yang bagus, Dara. Jalan memang masih panjang, tapi aku akan coba bawa ke kantor, siapa tau temanku bisa bantu cari di database.”

“Thanks Sad. Btw, kamu akan tagih aku berapa untuk kerjaan ini? Jangan mahal-mahal, berapa lah penghasilan tukang gelang ini.” Dara terkekeh.

“Tukang gelang cucu Darius Anantara?”

“Iya, cucu karena darah, kalau rejeki mah masing-masing. Jujur, aku lebih suka hidup sederhana di desa. Tetanggaku baik semua. Kami bicara apa adanya. Kekeluargaan tinggi. Pas waktu kita ketemu keluarga Gadis malam itu, aku merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sebagian besar dari mereka seperti penuh pretensi dan rahasia.”

“Aku juga merasakan hal yang sama. Banyak simpul yang belum lepas. Kamu harus hati-hati. Aku tidak akan tagih kami. Anggaplah sebagai tanda persahabatan.”

“Wuidih, baik banget, Bang. Makasi banyak. Oh ya di video Gadis mengatakan aku harus hati-hati dengan seseorang. Kamu … kamu bersama Gadis di saat terakhirnya, apakah dia sempat bilang?”

Irsad merenung, malam itu adalah malam yang sangat berat baginya.

“Tidak. Dia hanya mengucapkan tahlil. Itu pun tidak lengkap.”

“Semoga Gadis tenang di sana,” ucap Dara tercenung.

“Dara, mungkin aku nggak bisa sering ke Bali. Maklum detektif juga baru mulai. Cuan belum banyak. Kita saling berkabar aja, ya.”

“Siap, Kak.”

Irsad memandang berkeliling. Sawah hijau berundak sepanjang mata memandang. Langit biru jernih, petani sibuk bekerja namun masih sempat bertegur sapa. Semuanya memberikan ketenangan jiwa. Pantas saja Dara menikmati tinggal di desa.

“Aku pamit.”

“Aku nggak ngantar ya, mau istirahat dulu sebentar di sini.” Dara menyandarkan diri ke dinding gubug terbuka di pinggir sawah.

“Assalamualaykum, Dara.

“Waalaykumussalam, Sad. Bhay!”

Dara memandang punggung Irsad yang menjauh. Kepalanya menggeleng.

“Forget it, Dara. Cari yang lain,” ucapnya mengafirmasi diri. Prinsipnya adalah tidak akan menjadi orang ke tiga dalam hubungan apa pun.

Untuk mengalihkan pikiran, Dara membuka tas dan mengeluarkan map berisi foto-foto keluarganya.

Ia juga mengeluarkan buku gambar dan spidol. Ia menempelkan foto Riza dan Sekar serta foto dirinya dan Gadis lalu menulis: Siapa yang menembak Papa. Apakah Mama juga mereka bunuh? Siapa yang mendorong Gadis ke jurang?

Dara lalu melingkari foto dirinya dengan spidol merah lalu menulis: target berikutnya?

Di benaknya hanya ada satu motif penyebab kematian keluarga yang harusnya ia miliki: Anantara Group.

Dara lalu mengambil foto pernikahan Gadis dan Jadden. Setelah ditempel ia menggambar bunga Melati di samping Jadden. Motif: cinta segitiga berujung duka?

Setelah itu ia memberi panah yang mengarah ke Jadden: pengecut berbalut tampang pangeran. Ganteng-ganteng blo’on.

Lalu foto Ara dipasang khusus di satu halaman tersendiri. Foto Ara bermain dengan Gadis. Dara bisa melihat betapa Gadis sangat mencintai putrinya.

“Dis, aku akan jagain Ara. Aku akan cari cara. In syaa Allah.”

Di halaman berikutnya ada foto keluarga Adrian Anantara. Dia mengambil foto mereka dari media sosial lalu diprint. Dia memberi judul: Geng Ambi.

Halaman berikutnya adalah untuk Anwar dan Melati. Ia menulis di samping print out foto Anwar: Sahabat Tuan Darius. Wild card?

Untuk Melati ia menuliskan: istri pertama yang terzholimi? Dendam sama Gadis?

Di halaman terakhir dia memasang foto Darius Anantara lalu menulis: I hate you! Aku benci kakek yang mengusir Papa dan Mama hanya karena status Mama.

***

“Mas, aku baik-baik aja. Nanti aku minta Bu Nyoman buatin jamu-jamu.” Arum mencoba tersenyum untuk menenangkan Fauzan.

“Rum, aku bisa cari pinjaman ke Bos. Plus kita juga ada BPJS, jadi kamu harus berobat, ya.”

“Nggak usah, Mas. Kan kamu denger sendiri, untuk kemoterapi adanya di rumah sakit di Tabanan. Jauh banget dari sini. Sayang ongkos.”

“Arum, Mas mohon … mau ya, untuk ongkos kita masih cukup, kok.”

“Mas …”

“Arum, Sayang, nurut kata suami ya,” ucap Fauzan seraya mengacak pucuk kepala istrinya.

“Sini Mas peluk.”

Arum menyandarkan kepalanya ke dada Fauzan.

“Maafin Arum yang nggak bisa lagi melayani, Mas.”

Fauzan mengecup kepala istrinya. Vonis dokter bahwa Arum mengidap kanker rahim stadium tiga membuatnya shock bukan kepalang.

Rasa takut kehilangan membuat Fauzan mengeratkan pelukan ke tubuh kecil Arum.

“Kuat, ya, Sayang. Kita hadapi bersama.”

“In syaa Allah. Mas, kalau Mas mau nikah lagi, Arum ikhlas …”

“Hush! Jangan ngomong gitu.”

“Arum udah nggak bisa lagi berhubungan karena kanker rahim.” Terisak Arum memeluk leher kokoh suaminya.

“Sayang, kita menikah duapuluh lima tahun, dan kamu selalu melayani Mas, membahagiakan Mas lahir batin. Malah Mas sering minta nambah, kan? Sekarang ijinkan Mas merawat kamu, menjaga kamu.”

“Tapi …”

“Cuma satu wanita yang akan jadi istri Mas, yaitu kamu. Arum Sari, aku cinta kamu selamanya.” Fauzan berkata sambil menatap lembut istrinya.

Arum tersipu membuat Fauzan gemas. Walau keduanya sudah berumur, tapi mereka selalu seperti orang kasmaran. Setiap bertemu mereka seperti orang jatuh cinta untuk pertama kali.

“Mas, bagaimana dengan Dara?”

“Dia nggak perlu tau. Kasihan nanti Dara khawatir.”

“Aku setuju, Mas.”

Tanpa mereka sadari, dari luar bilik, Dara berdiri dengan air mata berlinang mendengar semua pembicaraan Fauzan dan Arum. Tangannya menutup mulut agar tidak bersuara. Dara kembali ke biliknya, merebahkan diri lalu menangis di bantal.

“Ya Allah, Kau sudah ambil Papa, Mama, dan Gadis. Kumohon, jangan Kauambil Bunda juga … Kumohon ya Allah …”

***

Minggu demi minggu berjalan. Arum berobat diam-diam bersama Fauzan, tanpa sadar bahwa Dara sudah tahu kemana mereka pergi.

Dara makin giat bekerja membuat gelang. Kini ia pun coba membuat masker connector dan kalung. Semuanya dikerjakan sendiri. Keuntungan disetorkan ke rekening ibunya. Sedikit pun ia tidak mengambil kecuali untuk modal.

Darius memutuskan untuk tinggal di Bali. Dirinya merasakan ada kemarahan Dara terhadapnya. Jika saja dulu ia mengakui dan menerima hubungan Riza dan Sekar, mungkin mereka akan menjadi keluarga yang bahagia.

Walau demikian, Dara tetap menghormati kakeknya. Tawaran Darius agar Dara membuka toko aksesoris ditolak dengan sopan. Ia tidak mau berhutang budi pada pria yang punya andil terhadap kehancuran keluarganya.

Setiap hari Darius melihat Dara pergi ke sana kemari dengan motor bututnya untuk mengantar pesanan aksesoris atau pesanan makanan layan antar. Sekali waktu ia membelikan Dara motor, keesokan harinya, motor itu sudah ada di villa beserta beberapa porsi nasi pecel dan ucapan terima kasih untuk Darius.

Sampai suatu hari, Darius tiba di rumah Fauzan untuk bertemu Dara. Ia melihat Arum berjalan tertatih dipapah oleh Fauzan masuk ke dalam rumah.

Ketika Darius mendekat, ia mendengar Arum muntah-muntah. Darius melihat wajah Arum yang pucat. Dirinya berbalik untuk pulang karena sepertinya Dara sedang pergi.

Fauzan keburu melihat dan mempersilakan masuk. Setelah membaringkan Arum di bilik, ia menemui Darius.

“Assalamualaykum, Tuan. Maaf, istri saya sedang tidak enak badan.”

“Waalaykumussalam. Oh nggak apa-apa. Bu Arum sakit apa?”

“Masuk angin aja. Masuk, Pak. Kebetulan semalam Arum sempat bikin ongol-ongol. Saya buatkan teh juga, ya.”

“Nggak usah Pak. Jadi repot.”

“Tinggal ambil dan sedu, gampang. Oh iya, Dara lagi antar pesanan ke Seminyak, jadi mungkin masih lama pulangnya.”

Darius mengangguk. Fauzan berjalan ke dapur ketika terdengar Arum mengaduh dan jatuh di biliknya.

“Rum!”

Fauzan langsung melesat ke bilik.

“Rum, ya Allah, Arum, bangun!”

Darius melongok ke dalam melihat Arum terkulai tak sadarkan diri.

“Pak, kita bawa ke rumah sakit. Naik mobil saya saja.”

Darius lalu memerintahkan beberapa bodyguard untuk membantu Fauzan sementara driver sudah menyiapkan kendaraan.

Dalam kendaraan, Fauzan terus memeluk Arum. Wajahnya panik luar biasa.

“Saya telepon Dara.”

“Jangan, Tuan. Dara nggak tau kalau bundanya sakit.”

“Maaf. Menurut saya Dara harus tau, Pak. Saya mengerti maksud kalian baik, tapi kasihan Dara kalau dia tiba-tiba melihat Bundanya tak berdaya.”

Fauzan terdiam.

“Saya call Dara, nanti akan ada pegawai saya yang menjemputnya.”

Fauzan akhirnya setuju.

Darius langsung memberi perintah pada anak buahnya. Kemudian ia menghubungi cucunya.

“Assalamualaykum. Dara, Bundamu pingsan dan sekarang sedang dibawa ke Rumah Sakit Pusat di Denpasar. Dara, pengawal Opa akan menjemputmu. Namanya Agung dan Ktut Cahya. Mereka sudah ada di belakangmu.”

“Wa … waalaykumussalam. Tuan, bagaimana keadaan Bunda?” Suara Dara terdengar panik.

“Masih tak sadarkan diri, Dara. Kamu yang sabar. Dari GPS, orangnya Opa sudah tepat di belakangmu. Kamu minggir. Motormu akan dibawa Ktut dan kamu naik mobil sama Agung. Kita ketemu di rumah sakit. Ini ayahmu mau bicara.”

“Dara, kamu yang tenang. Ayah sama Tuan Darius. Bunda masih belum sadar. Kamu naik mobil Tuan Darius, ya. Ayah khawatir kamu naik motor dalam kondisi seperti ini.”

“Ayah, Dara takut …” Suara Dara bergetar menahan tangis.

“Kita doakan Bunda kuat. Sudah, dulu, ya, Nak.”

Darius mengamati cara Fauzan bicara dengan nads melindungi layaknya seorang ayah kepada Dara. Lalu ia mendengar sendiri betapa Dara sangat mengkhawatirkan bundanya.

“Dara sudah di mobil sekarang, Pak Fauzan. In syaa Allah semua baik-baik.”

“Aamiin ya Allah. Terima kasih banyak, Tuan. Terima kasih.”

Di rumah sakit, dokter langsung memeriksa Arum. Dara tiba tak lama setelah mereka semua sampai di rumah sakit. Dara langsung memeluk Fauzan.

“Ayah …”

“Dara, Ayah mesti menyampaikan sesuatu,” lirih Fauzan berkata sambil menjauhkan tubuh Dara.

“Dara udah tau semuanya. Sekarang kita berdoa supaya Bunda bisa ditangani.”

Fauzan mengangguk. Mereka duduk dengan rasa tidak karuan menunggu dokter memberi kabar.

Menit demi menit berlalu, seorang dokter memanggil keluarga Arum.

Fauzan, Dara, dan Darius langsung mendekat.

“Ibu Arum mengalami pendarahan, ditambah kondisi lemah pasca kemoterapi. Saat ini Bu Arum sudah berada di ICU dan sedang menerima transfusi darah. Jika sudah kuat, saya sarankan Bu Arum untuk menjalani operasi pengangkatan rahim lau melanjutkan kemoterapi.”

Seorang suster berlari mendekat lalu berbisik pada dokter.

“Maaf, pasien drop.”

Fauzan merangkul Dara mencari kekuatan. Ia tak siap jika hari itu kehilangan wanita yang telah mendampinginya lebih dari dua puluh tahun.

“Ayah!” Dara menopang ayahnya dibantu Darius. Beberapa pengawal mendekat untuk membantu.

“Non, lepas biar kami yang bantu Pak Fauzan untuk duduk,” pinta salah satu dari mereka.

Dara menyingkir, Fauzan yang mendadak kehilangan tenaga dibawa ke kursi tunggu.

“Dara cari minum dulu buat Ayah.”

Darius mencegah. “Dara, biar pegawai Opa yang cari minum, kamu temani ayahmu di sini.”

Dara melihat ayahnya yang tampak kacau.

“Ayah, berdoa dan dzikir untuk Bunda, ya.”

Fauzan mengangguk.

Beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam bagi Fauzan dan Dara berlalu. Dokter yang menangani Arum kembali dan mengabarkan kondisi Arum yang sudah relatif stabil.

“Saya sarankan Bu Arum dibawa ke Surabaya karena di sana alat dan dokternya lebih lengkap. Kami bisa mengatur transpor lewat darat jika kondisi Bu Arum sudah memungkinkan.”

Fauzan terduduk. Begitu parah sakit yang diderita istrinya dan dia luput hingga kini kanker sudah parah. Belum lagi masalah biaya, yang artinya jika dia menemani Arum ke Surabaya, dia tidak lagi bisa bekerja.

“Ayah, Dara aja yang nemenin Bunda dirawat di Surabaya,” cetus Dara seakan bisa membaca kegundahan ayahnya.

“Dibicarakan nanti saja jika sudah lebih tenang. Sekarang kita masih harus berdoa. Saya coba tanyakan siapa tau Bu Arum sudah bisa ditengok salah satu dari kalian,” ujar Darius menenangkan.

Setelah menghilang menemui dokter, Darius mempersilakan Fauzan untuk masuk ke ICU.

***

Setelah beberapa hari kondisi Arum membaik namun belum juga sadar. Dokter sudah memberikan lampu hijau agar Arum dipindah ke Surabaya.

Fauzan merasa gelisah dan merutuki dirinya yang hanya menjadi supir. Tabungannya hanya ada sekitar lima puluh juta rupiah. Tadinya uang itu mereka tabung jika Dara menikah.

Dara baru kembali dari mengantar pesanan. Lalu menyerahkan amplop.

“Yah, ini ada uang dua puluh juta. Tabungan Dara. Ayah pakai aja buat nambah biaya.”

“Dara, jangan … biar Ayah aja yang cari. Ini tanggung jawab Ayah.”

“Ini bakti Dara sebagai anak. Maaf, sebagai keponakan yang sudah dibesarkan sama Ayah dan Bunda.”

“Enggak, kamu bukan keponakan. Kamu, Dara Sekad adalah anak Ayah dan Bunda. Akan selalu begitu.”

“Ayah …” Arum memeluk Fauzan. Air mata menitik. Darius mengamati Fauzan dan Dara. Bahkan sampai detik ini mereka tidak meminta bantuan apapun padanya.

Dara dengan tulus memberikan seluruh tabungan hasil kerja kerasnya. Tabungan yang bagi keluarga Anantara mungkin sangat kecil nilainya tapi bagi Dara adalah seluruh hidupnya.

Darius berdehem.

“Maaf jika saya ikut campur. Ijinkan saya untuk membantu. Mohon dipikirkan agar Bu Arum dipindah ke Penang untuk mendapatkan perawatan terbaik di sana. Saya sudah siapkan dokter dan perawat khusus.”

Fauzan dan Dara terbelalak. Menganggap Darius mulai pikun dengan tawarannya.

“Ya Allah, Tuan. Ayah diminta pindahin Bunda ke Surabaya aja udah bingung sama biaya, ini lagi ke Penang. Mau Dara bantu pake jual ginjal juga nggak mungkin cukup,” tukas Dara gemas dengan usulan kakeknya.

Darius terbelalak, sementara beberapa pengawal yang mendengar buru-buru menutup mulut agar tidak tertawa.

“Bukan begitu maksudnya. Opa akan biayai semua, termasuk transpor pesawat pribadi ke Penang. Begitu pula untuk seluruh biaya pengobatan dan biaya tinggal di sana. Hanya ada satu syarat …”

“Tuan, saya memang ingin Bunda sembuh, tawaran Tuan menarik. Tapi saya nggak mau jadi kayak pemeran utama di novel-novel. Dipaksa nikah buat biaya berobat. Nggak! Dara nggak mau. Mau disuruh nikah sama siapa? Pak Jadden? Innalillaahi. Mantan suami kembaran sendiri. Kak Askara? Naudzubillah. Opa Anwar? Tega banget!” Dara merepet pada kakeknya.

Fauzan memegang pundak Dara, mengerti sekali putrinya sedang emosi.

“Dara nggak boleh gitu bicara sama kakek. Yang sopan …”

“Tuan Darius Anantara budiman yang saya hormati, sebaiknya jika ingin membantu, lakukan dengan tulus, tanpa syarat. Malaikat nyatatnya juga bingung.” Dara berkata dengan nada sopan yang dibuat-buat.

Darius hanya mendengarkan dan menatap cucunya. Ia teringat betapa dulu Riza pernah mengomelinya panjang pendek karena memberi syarat ketika Riza minta ijin sekolah kulinari di Perancis. Persis seperti Dara.

“Bolehkah Opa lanjutkan …”

Dara mengerutkan kening. Tapi lalu mengangguk.

“Opa akan anggap ini sebagai hutang, dan pembayarannya adalah dengan kamu bekerja di Anantara Group. BE-KER-JA bukan ME-NI-KAH. Selain itu Opa minta Dara tinggal di rumah.”

“Ck, berapa Dara harus bayar kost di rumah Tuan? Tidur di pos security juga tetep aja nggak kebayar.”

Darius mulai putus asa.

“Dara Sekar Anantara, kamu adalah cucu, darah daging Riza Anantara. Kamu punya hak untuk berada di rumah mana pun yang Opa punya tanpa harus bayar.”

Dara menatap lurus ke netra kakeknya lalu menoleh ke Fauzan.

“Dara, Ayah tidak bisa membantu kamu mengambil keputusan. Seperti yang Ayah sampaikan, untuk pengobatan Bunda di Surabaya, Ayah akan berusaha menanggung. Jadi jangan khawatirkan Ayah dan Bunda.”

Dara melihat Ayahnya yang tak lagi muda. Walau masih terlihat gagah, namun kerut-kerut sudah menghiasi wajahnya. Uban mulai bertahta di rambut yang ikal.

Ayahnya pasti akan meminjam uang ke sana kemari. Lalu bekerja pontang-panting untuk membayarnya.

“Dara setuju. Tapi dengan syarat … biar imbang nggak ikhlasnya.”

Darius mengagumi keberanian cucunya yang memiliki mulut setajam silet.

“Syaratnya satu aja, Dara boleh ikut anterin ke Penang dan ikut Tuan setelah semua beres.”

“Itu dua dong, Dara,” sahut Darius menahan geli.

“Sekalian tiga deh, Dara tetap boleh jualan asesoris buat beli tiket nengok ke Penang,” ucap Dara mantap.

“Deal!”

“Berapa lama jangka waktu Dara berhutang untuk pengobatan Bunda?”

“Smart! Okay, Opa akan minta bagian SDM membuat kalkulasi dan penawaran. Jika kamu setuju, kita berdua akan tanda tangan. Deal?”

“Setuju!” Dara mengulurkan tangan untuk menjabat tangan kakeknya. Mereka berjabat erat layaknya dua pengusaha sedang bekerja sama.

Dalam hati Darius berkata, “kamu emang benar-benar turunanku. Pebisnis tulen.”

Darius menatap cucunya dengan binar mata bahagia.

***

1
Siti Arbainah
kadang yg terlihat baik blum tentu baik dan yg terlihat jahat blum tentu jahat
Siti Arbainah: iya.. mkanya kita gak bisa nilai orang cma dr covernya aja bahkan yg dekat aja bisa lbih jahat 😆
freya alana: Betul banget. Kadang yang santun justru punya niat busuk. 😍😍😍
total 2 replies
Siti Arbainah
curiga sama Adrian sih dalangnya kecelakaan itu
freya alana: Hmmm lanjut kaaak 😍😍😍
total 1 replies
shanairatih
ceritanya keren bgt 👍👍👍👍👍💕💕💕
lapak nasi khansa
👍👍👍👍
freya alana: Makasi dah mampir ya. Sila tengo juga novelku yang lain 💖💖
total 1 replies
Nana
kasian Dara 😭😭😭
freya alana: Lanjyuuut kak ☺️
total 1 replies
Nana
couple somplak 🤣🤣🤣
freya alana: 🤭🤭🤭🤭🤭
total 1 replies
Nana
😭😭😭 gemes bgt sama Dara dari awal bikin ngakak
freya alana: Xixixixi … iya kak 😍
total 1 replies
Nana
udah ada yg punya, patah hati deh Dara gue
freya alana: Hihihi lanjut dulu kaak 😍😍😍
total 1 replies
G
yah tamat
Bundanya Pandu Pharamadina
endingnya
👍👍👍👍
❤❤❤❤
semoga mbak Authornya sehat selalu, sukses dan berkah, makasih mbak Author
freya alana: Makasi kak, maa syaa Allah … met menjalankan ibadah Ramadhan ya kak … 🌹🌹🌹🌹
total 1 replies
Bundanya Pandu Pharamadina
Dara Askara
❤❤❤❤
freya alana: Sejodoh 😍
total 1 replies
Bundanya Pandu Pharamadina
iih mbak Author bikin senam jantung terus, semoga Dara selamat dan bisa membongkar kedok Anwar.
freya alana: Hehehehe 💓
total 1 replies
Bundanya Pandu Pharamadina
hantunya berwujud manusia yah mbak Author🤔
freya alana: Iyaaaah…
total 1 replies
Bundanya Pandu Pharamadina
mampir marathon👍❤
freya alana: Maa syaa Allah… makasi kakaaak 🌹🌹🌹
total 1 replies
Mak mak doyan novel
karya yg keren.
freya alana: Maa syaa Allah, tabarakallah … makasi kakak 💕💕💕
total 1 replies
Mak mak doyan novel
akhirnya selesai juga... ending yang sesuai harapan...happly ever after..
karyamu keren thor. good job
freya alana: Makasi kakak, makasi udah mampir dan kasih komen….. aku pada muh 💕💕💕💕
total 1 replies
Aisyah farhana
seriusan ini Dara mau 12 anak good job lanjutkan seruuu sekali banyak krucil deketan pula lahirnya, pak Adrian ternyata anda juga menyimpan rahasia tapi termaafkan dehh demi Dara sama Askara n anak" juga. karya yg hebat luar biasa kak ditunggu karya selanjutnya makasih sudah buat cerita yg luar biasa enak buat dibaca lanjuuuttt
freya alana: Kak… makasi ya sudah baca novel aku …. semoga selalu sehat dan bahagia…. Aamiin 😘😘😘
total 1 replies
🟡𓆉︎ᵐᵈˡ 𝐀⃝🥀sthe⏤͟͟͞R🔰¢ᖱ'D⃤
wah Dara keluarganya rameee bangeeettt
makasih yah kak
karyanya bagus
semoga nanti Makin banyak yang baca,Makin banyak yang suka
sukses selalu ❤️
freya alana: Makasi ya Kak, udah baca novel aku …. Seneng deh. Semoga selalu bahagia n sehar ya Kak … 😘😘😘
total 1 replies
Arie
👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍
freya alana: Makasi ya Kakak ….
total 1 replies
Aisyah farhana
waaahhhh selamat Dara Anantara n Gadis happy banget samaan lahirannya baby boy pula yeyyyy
freya alana: Hihhi iyaaah. Lanjuuut kaaaak 😍😍😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!