Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 22
Begitu tiba di rumah sakit, Rena langsung melangkah cepat menuju ruang VVIP.
Namun, langkahnya mendadak terhenti di ambang pintu. Matanya membulat ketika melihat seorang gadis cantik yang berdiri di dekat tempat tidur Sofia.
Wajah gadis itu ... sangat mirip dengan Sofia.
Untuk sesaat, Rena merasa seolah melihat versi muda dari sahabatnya. Namun, sebelum pikirannya semakin jauh, suara lembut Sofia memanggilnya.
"Rena."
Rena tersentak dari lamunannya. Dengan cepat, dia mengalihkan pandangan dan menghampiri Sofia yang duduk di ranjang rumah sakit.
"Astaga, Sofia! Kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi semalam? Aku dan anak-anak di ruko panik!" cecarnya tanpa basa-basi.
"Maaf, Ren," Sofia menjawab dengan tenang. "Aku ... tiba-tiba pingsan di jalan."
"Pingsan?!" Mata Rena membesar. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Sofia menghela napas sebelum mulai menjelaskan semuanya. Tentang bagaimana dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga melupakan penyakitnya. Tentang rasa sakit yang mendadak menyerang hingga dia tak bisa bertahan.
Elleanor, yang sejak tadi diam, tiba-tiba ikut menimpali.
"Tante Sofia harus dioperasi. Dokter bilang miomanya sudah cukup besar."
Rena menoleh pada gadis itu. "Dan kamu siapa?" tanyanya, masih dengan nada terkejut.
"Aku Elleanor." Gadis itu tersenyum manis. "Dan ini kakakku, Edward."
Edward hanya mengangguk kecil sebagai sapaan. Wajahnya tetap dingin, tapi Rena merasa familiar dengan wajah pemuda tampan nan dingin itu.
Rena kembali menatap Sofia dengan tatapan menyelidik. "Sofia ... siapa mereka?"
Sofia terdiam sejenak sebelum menjawab, "Nanti aku akan menjelaskannya, Ren. Sekarang, aku ingin membahas soal operasi ini dulu."
Rena mengangguk, walau rasa penasarannya belum hilang.
"Jadi? Kamu mau operasi, kan?"
Sofia menggigit bibirnya ragu. "Tapi bagaimana dengan pekerjaanku? Aku masih punya banyak pesanan yang harus diselesaikan ...."
Rena langsung mendengus. "Sofia! Untuk pertama kalinya dalam hidupmu, bisakah kamu mendahulukan kesehatanmu sendiri?"
Sofia tertawa kecil, tetapi matanya tetap menyiratkan kegelisahan. "Aku hanya tidak ingin mengecewakan pelanggan ...."
"Biarkan aku dan anak-anak di ruko yang mengurusnya," potong Rena cepat. "Lia dan Yaya sudah cukup terampil. Aku juga bisa membantumu mengurus bisnis sementara kamu fokus pada kesembuhanmu."
Sofia terdiam, hatinya terasa hangat mendengar dukungan sahabatnya.
Edward pun ikut bersuara. "Tante Sofia, tidak ada yang lebih penting daripada kesehatan. Jangan pikirkan yang lain dulu."
Elleanor mengangguk mantap. "Aku juga setuju! Operasi saja dulu, Tante!"
Sofia menatap mereka satu per satu. Ada ketulusan dalam mata mereka, dan perlahan, beban di hatinya terasa lebih ringan.
Akhirnya, dia menghela napas panjang sebelum berkata, "Baiklah. Aku akan menjalani operasi."
🍃🍃🍃🍃
Di kediaman Rahardian, suasana masih sedang sibuk dengan persiapan pernikahan Robin dan Vanessa, yang dekorasinya belum selesai.
Saskia berdiri di tengah ruang tamu, mengatur para pelayan yang sibuk menata dekorasi pengantin.
Namun, fokusnya buyar ketika Mikaila keluar dari kamarnya dengan wajah kesal.
Saskia menoleh, alisnya mengernyit. “Ada apa, sayang? Kenapa wajahmu begitu cemberut?”
Mikaila menghentakkan kakinya ke lantai sebelum duduk di sofa. “Aku masih kesal gara-gara kejadian kemarin, Nek.”
“Kejadian apa?”
Mikaila mendengus sebelum mulai bercerita, "Aku bertemu dengan wanita itu—Sofia. Dia berpura-pura sakit di jalan, dan banyak orang yang hampir menolongnya! Aku tahu dia hanya cari perhatian, jadi aku bilang pada mereka untuk tidak tertipu."
Saskia terdiam sejenak sebelum menyeringai sinis. “Benar sekali! Dia selalu punya cara untuk menarik simpati orang.”
Namun, ekspresi Saskia berubah ketika Mikaila melanjutkan, “Tapi tahu tidak, Nek? Ada seorang gadis yang tiba-tiba menamparku! Dia membela Sofia dan menyalahkanku, padahal aku tidak melakukan apa-apa!”
Saskia sontak membelalakkan mata. "Apa?! Ada yang berani menampar cucu perempuanku yang cantik ini?"
Mikaila mengangguk penuh emosi. “Iya! Gadis itu juga berkata kasar padaku seolah aku yang bersalah. Padahal aku hanya mengatakan yang sebenarnya!”
Saskia mengatupkan kedua tangannya, wajahnya penuh amarah. "Kurang ajar! Siapa gadis tidak tahu diri itu? Berani-beraninya menyentuh cucuku! Kalau aku ada di sana, sudah pasti aku beri pelajaran!"
Mikaila mengangkat bahu. "Entahlah, Nek. Aku tidak kenal dia. Tapi dia tampak dekat dengan Sofia. Aku yakin wanita itu pasti sudah mempengaruhinya untuk membenciku."
Saskia mendengus marah. "Lihat saja nanti. Jika aku bertemu dengan gadis itu, dia akan tahu akibatnya!"
Mikaila tersenyum puas melihat kemarahan neneknya.
🍃🍃🍃🍃
Di depan ruang operasi, suasana dipenuhi ketegangan.
Rena duduk di bangku rumah sakit, sesekali melirik ke arah ruang operasi yang lampunya masih menyala. Sementara itu, di sebelahnya, Elleanor dan Edward tampak cemas. Keduanya menatap lurus ke depan, jelas khawatir akan kondisi Sofia di dalam sana.
Namun, semakin lama Rena duduk di samping mereka, semakin sulit baginya untuk mengabaikan kemiripan keduanya dengan Sofia.
Wajah Elleanor … terlalu mirip dengan Sofia saat masih muda. Bahkan ekspresi khawatir gadis itu sangat menyerupai ekspresi Sofia yang sering Rena lihat dulu.
Dan Edward … Rena mengerutkan keningnya. Pemuda itu tidak hanya memiliki kemiripan dengan Sofia meski sedikit, tapi ada sesuatu dalam garis wajahnya yang terasa familiar.
Akhirnya, Rena tidak bisa menahan diri lagi. Dia menoleh ke arah mereka dan bertanya dengan nada penuh selidik,
“Sebenarnya, kalian ini siapa?”
Elleanor dan Edward yang sejak tadi fokus ke ruang operasi langsung menegang. Tubuh mereka membeku sesaat, sebelum akhirnya Edward melirik ke arah Rena dengan wajah datar.
“Maksud Tante apa?” Edward bertanya dengan suara tenang, tapi jelas ada kewaspadaan di balik nada suaranya.
Rena menyipitkan matanya. “Kalian berdua … wajah kalian mirip sekali dengan Sofia.”
Edward masih berusaha tetap tenang, tapi Elleanor tampak sedikit gelisah. Gadis itu menggigit bibirnya, sementara tangannya meremas celana dengan gugup.
Rena melanjutkan, “Dan Edward … wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Tapi aku tidak bisa mengingat siapa .…”
Edward tersenyum kecil, tapi senyumnya datar. “Mungkin itu hanya kebetulan, Tante.”
Rena menatapnya lebih lama, mencari sesuatu di dalam ekspresi pemuda itu.
“Kebetulan?” ulangnya pelan, seolah tidak percaya.
Edward mengangguk ringan. “Bukankah orang bilang bahwa di dunia ini, kita punya tujuh kembaran? Mungkin Tante hanya melihat kesamaan yang tidak disengaja.”
Rena tidak langsung menjawab. Matanya menyipit, mencoba membaca ekspresi Edward, namun pemuda itu tetap tenang.
"Benarkah ada yang seperti itu? Aku kira itu cuman mitos," kata Rena.
Edward tetap mempertahankan wajahnya yang datar. "Benar, Tante. Buktinya kami berdua."
Akhirnya, Rena menghela napas dan mengangguk pelan.
“Mungkin kamu benar,” katanya, meski di dalam hatinya, dia masih ragu.
Sementara itu, Elleanor diam-diam menatap kakaknya, seolah bertanya apakah mereka benar-benar bisa menyembunyikan rahasia ini lebih lama.
Kini ruang tunggu itu kembali hening dengan wajah-wajah cemas.