Hanya kisah sederhana yang menceritakan tentang kehidupan rumah tangga dua anak manusia yang memiliki perbedaan usia yang sangat jauh berbeda.
Walaupun dengan perbedaan usia yang sangat jauh itu, mereka tetap saja saling jatuh cinta. Dan sama-sama berusaha untuk menjaga kesucian cinta mereka.
Si pria dewasa yang bertingkah seperti bocah, dengan sikap posesif dan pencemburunya. Dan si Gadis Kemarin Sore yang bertingkah sok dewasa.
Mereka diibaratkan bagaikan dua sayap dari satu ekor burung. Patah satu sayap saja, maka seekor burung pun tidak bisa terbang dengan satu sayap lainnya. Begitulah mereka, saling menyayangi, saling merawat dan saling menjaga, agar tidak ada sayap yang patah, dan agar seekor burung bisa tetap terbang sesuai dengan keinginan hatinya.
Om Posesif Itu, SUAMIKU!
________
Ig: Ichaannisaamanda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icha Annisa Amanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SI VINO
Pipiku terasa panas karena mengingatkan kejadian semalam. Di mana aku yang dengan tidak tau malu memulai semuanya terlebih dahulu. Mulai dari mencium Om Zidan di taman, lalu menyeret Om Zidan untuk solat sunnah sebelum melakukan itu. Dan yang terakhir, bisa dibilang aku yang memaksa Om Zidan. Membuka bajunya secara paksa, mendorong dia sampai terbaring di atas kasur, dan sedikit memberikan servis kecil pada si Ular Piton.
"Gadis Kecilku! Kamu keras kepala juga rupanya! Udah kuperingati, tapi makin nekad aja!"
Aku sama sekali tidak memperdulikan setiap kata dan kalimat yang Om Zidan ucapku. Tekadku sudah bulat! Aku tetap melanjutkan permainanku bersama si Ular Piton. Aku sesekali mendongak untuk melihat si pemilik Ular yang mulai mendesis kenikmatan.
Sampai akhirnya, benteng pertahanan Om Zidan roboh juga. Dan setelah itu, dialah yang mengambil alih semuanya. Membalas semua perbuatan nakal yang sudah aku lakukan padanya, dengan balasan yang jauh lebih nikmat dari yang pernah aku rasakan sebelumnya!
"Mikirin apa?"
Eh. Aku tersentak saat tangan kekarnya tiba-tiba saja melingkar di pinggangku. Memeluk tubuh kecilku yang hampir remuk karena ulahnya. Katanya sih tidak mau, tapi setelah dipaksa! Malah ketagihan dan minta ronde kedua!
"Lepasin, Sayang! Manda mau bersihin kamar dulu!" ujarku sembari menepuk tangan Om Zidan yang masih tetap melingkar. Bahkan sekarang, ia semakin mengeratkan pelukannya. Jelas, ia enggan dan tidak akan menuruti ucapanku.
"Maaf, aku lupa berterimakasih untuk yang semalam. Jadi, terimakasih untuk semuanya, Sayang!" lirihnya. Satu kecupan lembut pun ia berikan di balik punggungku.
Tidak bisa dipungkiri lagi, aku tersenyum mendengar ucapan terimakasih darinya. Entah mengapa, ada rasa bahagia, terharu dan juga puas yang datang entah dari mana. "Sama-sama. Manda senang kalo Om Zidan senang!"
"Kamu nggak nyesel, kan?"
Aku menggeleng lalu membalik tubuhku menghadap Om Zidan. Kedua tangan kecilku menangkup wajah tampan yang terlihat semakin tampan ketika ia sedang bahagia.
"Nggak nyesel sama sekali! Yang ada Manda merasa bangga karena bisa menjadi Istri yang bisa memenuhi kebutuhan biologis Suaminya!"
Om Zidan tersenyum mendengarnya. Ia menunduk untuk mengecup kening dan juga kedua pipiku.
"Sekali lagi terimakasih. Aku rasa setelah ini kamu tidak perlu memaksa lagi, aku sendiri yang akan memintanya!" ujarnya. Aku hanya tersenyum geli sembari menganggukkan kepala.
Kan, kan. Ada yang ketagihan!
"Aku bantu, ya?" Om Zidan melepas pelukannya, lalu memunguti bantal, dan juga selimut yang tergeletak di atas lantai kamar. Kamar yang semula rapi dan terlihat sangat indah pun berubah seperti kapal pecah akibat kegiatan olahraga semalam. Kelopak bunga mawar berserakan di mana-mana. Seprei sudah kusut dan bernoda.
Aku kembali tersenyum geli saat melepas dan berniat untuk mengganti seprei. Ada bercat darah di sana. "Apakah ini yang disebut darah perawan?" gumamku bertanya pada diri sendiri.
Semalam, setelah melakukan dua ronde, aku dan Om Zidan langsung mandi dan juga makan. Beruntung aku menemukan dua mie instan rasa kari ayam dan juga dua butir telur ayam di dapur. Itu yang aku masak dan makan bersama Om Zidan, untuk mengisi perut yang lapar.
Setelah itu, kami langsung pindah ke kamar sebelah. Dan baru sempat membereskan kamar TKP setelah sarapan pagi.
Aku sempat mengira Om Zidan akan meminta lagi setelah solat subuh. Ternyata tidak, dia cukup tau diri dan juga kondisiku. Jika itu sampai terjadi, maka aku akan menjadi bubur ayam di bawah tubuh kekar dan gagahnya!
"Manda.... Temenmu nelpon!" Teriak Om Zidan dari kamar. Belum sempat aku melangkah keluar dari dapur, Om Zidan ternyata sudah mengantarkan Hp ku terlebih dahulu.
"Siapa?" Aku mengelap tangan sebelumnya mengambil Hp seharga ginjal itu. Takut dia jatuh dari tanganku karena licin.
"Ketua Kelasmu!"
Oh, Vino. Ragu-ragu aku mengambil Hp ku dari tangan Om Zidan sembari mengira-ngira apa yang hendak Vino katakan.
"Nyalain speaker -nya!" pinta Om Zidan. Mau tidak mau, aku pun menuruti keinginannya. Mengaktifkan speaker begitu sambungan telepon terhubung.
"Assalamu'alaikum, Manda?"
"Wa'alaikumussalam, Vin. Ada apa, ya?" Aku melirik sekilas ke arah Om Zidan. Wajahnya tampak datar. Aku pun meraih tangannya. Menggenggamnya sambil tersenyum semanis mungkin untuknya.
"Kamu kabur ke mana? Dichat nggak pernah dibales! Ditelpon dari kemarin nggak aktif! Sekarang buku Biologi sama Sastra Indo-ku mana?"
Hah. Aku terdiam sejenak. Aku lupa mengembalikan bukunya, dan sekarang bagaimana? Dia tidak mungkin mau mengambil ke rumahku kan? Masalahnya, aku kan tidak sedang di rumah sekarang?!
"Maaf, Vin. Aku lupa, sumpah! Besok aku bawain, ya? Kamu kan baik hati, ganteng, dan juga nggak sombong, Vin. Besok aku bawain, ya?"
Aku kembali melirik ke arah Om Zidan. Matanya sudah melotot, hendak keluar saat menatapku!
"Hmmm. Satu lagi, kita dapet tugas kelompok dari Bu Eni. Aku, kamu, Gilang, dan Tiara. Tugasnya buat kerajinan.... Aku belum tau mau buat apa, kamu ada saran?"
Huh. Aku menghembuskan napas lega. Setidaknya Vino tidak terlalu mempermasalahkan bukunya. Tapi ini, kenapa aku harus satu kelompok sama si Gilang juga? Dan Om Zidan! Aku benar-benar takut melihat wajah cemberutnya. Ditambah lagi dia menarik tangannya dari genggamanku!
Aku mencoba meraih kembali tangan kekar itu. Tapi dia menghindar dengan tatapan yang mulai sangar.
Huh, Om Zidan ini! Suasana hatinya cepat sekali berubah memang!
"Hallo, Manda?!" Vino berteriak mengagetkan dan hampir memecahkan gendang telingaku!
"Iya-iya. Aku juga nggak tau mau buat apa!"
"Huh, kamu sama Gilang sama aja. Udah susah dihubungi, eh, pas udah bisa nggak bisa kasih saran apa-apa!" Vino berdecak sebal di seberang sana. Tak jauh berbeda dengan Om Zidan yang kesal karena mendengar nama Gilang lagi!
"Ya maaf, Vin. Aku kan bingung mau kasih saran apa!"
"Ya udah kalau gitu! Nanti aku kabarin lagi kalau udah nemu idenya! Selamat menikmati libur satu hari! Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikummusalam!" Aku langsung meletakkan benda pipih itu di atas meja dapur. Fokus dan mataku kini hanya tertuju pada Om Zidan yang sudah melipat tangannya di depan dada.
"Sayang..." Dia ternyata membiarkan aku meraih tangannya. Sama sekali tidak menepis seperti sebelumnya.
"Kenapa harus satu kelompok dengannya?"
Aku menggeleng pasrah. "Manda juga nggak tau, Om. Itu di luar kendali Manda."
Tanganku menyentuh sudut bibir Om Zidan. Disusul oleh kakiku yang mulai berjinjit. "Dia nggak lebih dari sekedar temanku. Tapi Om? Om adalah suamiku! Om memiliki hak atas diriku. Manda hanya milikmu.... Semua yang ada padaku adalah milikmu...."
Om Zidan mulai tersenyum. Matanya pun terpejam ketika mendapatkan satu kecupan lembut dari bibirku. "Manda hanya mencintaimu, Om. Hanya mencintaimu!"
Dalam satu tarikan dia membawa tubuhku dalam dekapannya. Mendekap sekuat dan seerat yang dia bisa. Tidak perduli dengan rasa sesak yang ada di dada.
"Jangan tinggalin aku! Jangan pernah berpikir untuk berpaling dariku!"
"Tentu. Om Zidan adalah separuh nyawa dan napasku!"
Huk. Nyamuk yang terbang pun langsung terjatuh mendengar ucapanku. Begitu pula dengan cicak di dinding. Dia langsung terjatuh dan hambir memuntahkan serangga yang baru ia telan.