"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: KERJA SEBAGAI KULI BANGUNAN
Setahun kemudian. Alex berusia 16 tahun.
Matahari belum terbit ketika Alex sudah berdiri di depan gerbang proyek pembangunan gedung perkantoran. Tubuhnya sudah berbeda dari setahun lalu—lebih tinggi, lebih berotot, meski masih terlalu kurus. Latihan brutal Marcus selama setahun mengubah anak lemah itu jadi remaja yang lebih kuat.
Tapi tidak cukup kuat.
Belum.
Di tangannya, boneka beruang lusuh yang sudah semakin robek. Setiap hari sebelum bekerja, ia menyembunyikan boneka itu di balik tumpukan kardus di kolong jembatan—satu-satunya harta yang ia miliki.
"Tunggu kakak, Elena," bisiknya sambil meletakkan boneka itu dengan hati-hati. "Kakak harus kerja dulu."
Lima puluh buruh lainnya sudah berkumpul—wajah-wajah lelah, mata kosong, tubuh yang sudah menyerah pada nasib. Semua menunggu mandor untuk membuka gerbang.
Alex berdiri di antara mereka, diam, mengamati.
Pukul lima pagi, gerbang dibuka.
Pak Budi—mandor berperut buncit dengan wajah berminyak—keluar sambil memegang papan jalan dan rokok di mulutnya.
"Dengarkan!" teriaknya malas. "Hari ini kita lanjut cor lantai tiga. Yang kuat naik ke atas, yang lemah beresin bawah. Upah tetap—dua puluh ribu per hari."
Bisik-bisik terdengar di antara buruh.
"Dua puluh ribu? Bulan lalu masih lima puluh ribu..."
"Itu juga turun dari seratus ribu tahun lalu..."
"Berapa lama lagi kita harus terima ini?"
Tapi tidak ada yang berani protes keras.
Karena mereka tahu—protes berarti dipecat. Dipecat berarti tidak ada uang. Tidak ada uang berarti keluarga mereka tidak makan.
Alex mengikuti buruh lain masuk ke area proyek. Gedung yang sedang dibangun ini akan jadi kantor perusahaan mewah—lima belas lantai, dengan lobby marmer, lift canggih, AC di setiap ruangan.
Sementara yang membangunnya... tidak bisa membeli sepiring nasi untuk keluarga mereka.
"Kamu, bocah!" Pak Budi menunjuk Alex. "Kamu naik ke lantai lima. Bantu angkat besi."
Alex mengangguk, mengambil helm pengaman—helm plastik retak dengan tali yang sudah nyaris putus.
Ia naik tangga darurat—anak tangga besi yang berkarat, tidak ada pegangan yang aman. Setiap langkah terasa goyah, seolah tangga ini bisa runtuh kapan saja.
Di lantai lima, Alex bertemu Hendro—pria berusia empat puluh tahun dengan tubuh kurus kering, wajah penuh keriput dari terlalu lama bekerja di bawah matahari.
"Kamu anak baru?" tanya Hendro sambil menyalakan rokok murah—satu-satunya kesenangan yang bisa ia beli dengan dua puluh ribu per hari.
"Udah setahun," jawab Alex sambil mengangkat batang besi berat. "Tapi belum pernah naik ke lantai lima."
"Hati-hati di sini," Hendro menunjuk ke sekeliling—lantai yang belum selesai, ada lubang-lubang besar yang hanya ditutup papan tipis, tidak ada pagar pengaman, tali pengaman yang mereka pakai sudah usang dan robek di beberapa bagian.
"Bulan lalu ada yang jatuh dari lantai tiga. Mati di tempat," kata Hendro sambil menghembuskan asap. "Tapi kontraktor bilang itu salahnya sendiri—tidak hati-hati. Jadi keluarganya tidak dapat kompensasi."
Alex mengepalkan tangannya, tapi tidak berkomentar.
Mereka bekerja dari pagi sampai siang—mengangkat besi, mencampur semen, naik turun tangga berkarat. Tidak ada istirahat. Tidak ada air minum yang layak—hanya air keran yang keruh.
Ketika matahari tepat di atas kepala—panas menyengat, lebih dari 35 derajat—Alex melihat Hendro duduk sebentar, mengusap keringat.
"Kamu punya anak?" tanya Alex tiba-tiba.
Hendro tersenyum—senyum lelah tapi tulus. "Iya. Anak perempuan. Namanya Sari. Umur sepuluh tahun."
Alex membeku.
Sepuluh tahun.
Umur Elena saat mati.
"Dia... dia sekolah?" Alex bertanya pelan, suaranya sedikit bergetar.
"Masih. SD kelas lima." Hendro mengeluarkan foto lusuh dari sakunya—foto seorang gadis kecil dengan seragam SD merah putih, tersenyum lebar dengan gigi depan yang ompong. "Dia pengen jadi guru. Kayak ibunya dulu."
"Ibunya... di mana?"
"Udah meninggal pas lahiran. Jadi cuma ada aku sama Sari berdua."
Hendro memasukkan foto itu kembali dengan hati-hati, seperti menyimpan harta paling berharga.
"Minggu depan ultahnya. Dia minta dibeliin sepatu sekolah—yang lama udah bolong. Aku janji sama dia, setelah gajian bulan ini, aku beliin."
Alex menatap Hendro—pria yang bekerja di tempat berbahaya dengan upah dua puluh ribu per hari, hanya untuk bisa belikan anaknya sepatu sekolah.
Sesuatu di dada Alex terasa sesak.
Papa juga begitu. Papa bekerja keras untuk kami. Dan ujung-ujungnya...
"Hei! Kalian berdua! Jangan santai! Angkat besi itu sekarang!" Pak Budi berteriak dari bawah.
Hendro bangkit, melempar punggung rokok. "Ayo, bocah. Kita lanjut."
Mereka mengangkat batang besi panjang—sangat berat, butuh dua orang. Hendro di depan, Alex di belakang.
Mereka berjalan perlahan di lantai lima yang masih belum selesai—banyak lubang, banyak bagian yang goyah.
"Hati-hati, ada lubang—" Hendro memperingatkan.
Tapi tepat saat itu, papan tipis yang menutupi salah satu lubang retak.
KRAK!
Kaki Hendro terperosok.
Tubuhnya limbung, batang besi jatuh dari tangannya.
"AAAH!"
Hendro terjatuh ke belakang—langsung ke lubang besar yang tidak ada pengaman sama sekali.
"PAK HENDRO!" Alex meraih tangannya—berhasil menangkap sejenak.
Mata mereka bertemu.
Di mata Hendro, ada ketakutan yang luar biasa. Tapi bukan takut mati—takut meninggalkan Sari sendirian.
"Bocah... tolong... tolong jaga Sari..." bisiknya, suaranya gemetar.
"BERTAHAN! AKU AKAN TARIK ANDA!" Alex menarik sekuat tenaga, tapi tangannya berkeringat, licin.
Genggaman Hendro merosot.
"Bilang sama Sari... Papa minta maaf... tidak bisa beliin sepatu..."
"JANGAN BICARA BEGITU! BERTAHAN!"
Tapi tangan Hendro sudah terlalu licin.
Terlepas.
"TIDAAAAAAK!"
Hendro jatuh.
Lima lantai.
Alex mendengar suara tubuh membanting beton di bawah—suara yang akan menghantuinya selamanya.
BRAK.
Lalu hening.
Alex berlutut di tepi lubang, menatap ke bawah dengan mata tidak percaya.
Tubuh Hendro tergeletak di lantai dasar—posisi yang tidak wajar, darah mulai menggenang di bawah kepalanya.
Tidak bergerak.
"Pak Hendro..." bisik Alex, suaranya hilang.
Buruh lain berlarian ke bawah. Pak Budi menghampiri tubuh Hendro, memeriksa nadinya, lalu menggeleng.
"Mati," katanya datar—seolah ini hanya laporan cuaca. "Angkat tubuhnya. Proyek tetap jalan. Kita tidak bisa buang waktu."
Alex turun tangga dengan langkah goyah.
Ia berdiri di samping tubuh Hendro—mata Hendro masih terbuka, menatap kosong ke langit.
Di sakunya, foto Sari terlihat sedikit keluar.
Alex mengambilnya dengan tangan gemetar.
Gadis kecil dengan senyum lebar itu tersenyum dari foto—tidak tahu bahwa papanya baru saja mati.
"Kamu kenal dia?" tanya salah satu buruh.
Alex mengangguk pelan, tidak bisa bicara.
"Kasihan. Dia punya anak perempuan, kan? Masih kecil."
"Tapi mau gimana. Ini risiko kerja. Bukan salah kontraktor—dia yang tidak hati-hati."
Alex mengangkat kepalanya. "BUKAN SALAHNYA!" teriaknya tiba-tiba, membuat buruh-buruh lain terkejut. "Alat pengaman di sini semua tidak layak! Tali pengaman robek! Papan penutup lubang tipis! Helm kita retak! Ini bukan kecelakaan—ini PEMBUNUHAN!"
Pak Budi mendekat, wajahnya berubah dingin. "Kamu mau dipecat, bocah?"
Alex menatapnya dengan mata penuh amarah—amarah yang selama setahun ia latih untuk kendalikan, tapi sekarang nyaris meledak.
"Upah kita dipotong dari seratus ribu jadi dua puluh ribu. Sisanya ke mana? Masuk kantong kontraktor? Masuk kantong orang atas yang tidak pernah turun ke lapangan?!"
"Tutup mulutmu—"
"SEMENTARA KAMI MATI SATU PER SATU KARENA ALAT TIDAK LAYAK!"
Pak Budi menampar wajah Alex.
PLAK!
Alex jatuh, pipinya panas.
"Kalau kamu tidak suka, pergi. Banyak orang lain yang mau kerja. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu cuma buruh."
Alex menatapnya dari tanah, darah keluar dari sudut bibirnya.
Sama. Sama seperti polisi yang dibayar Adipati Guntur. Sama seperti sistem yang membiarkan keluargaku mati.
Di mana-mana, yang miskin selalu diinjak. Selalu.
Pak Budi berbalik. "Angkat mayatnya. Bawa ke keluarganya. Tapi jangan bilang ini kecelakaan kerja—bilang dia jatuh karena mabuk atau apalah. Kontraktor tidak mau tanggung jawab."
Beberapa buruh mengangkat tubuh Hendro, membawanya ke gerobak.
Alex bangkit, menghampiri mereka. "Biar aku yang bawa dia pulang."
"Kamu tahu rumahnya?"
"Tidak. Tapi aku akan cari."
Buruh-buruh itu menatapnya aneh, tapi tidak protes.
Alex—dengan bantuan satu buruh lain—mengangkat tubuh Hendro ke gerobak kayu tua yang biasa dipakai untuk angkut material.
Mereka mendorong gerobak itu keluar dari proyek, menyusuri jalanan Distrik Sombra.
"Dia tinggal di ujung sana," kata buruh itu sambil menunjuk gang sempit. "Rumah papan warna biru. Kamu bisa sendirian?"
Alex mengangguk.
Buruh itu pergi—ia masih harus kerja kalau tidak mau upahnya dipotong.
Alex mendorong gerobak sendirian, menyusuri gang yang dipenuhi sampah dan genangan air.
Akhirnya ia menemukan rumah itu—rumah papan kecil dengan cat biru yang sudah mengelupas. Tidak lebih besar dari kamar mandi rumah orang kaya.
Alex berhenti di depan pintu, napasnya tercekat.
Bagaimana aku harus bilang...?
Tapi sebelum ia sempat mengetuk, pintu terbuka.
Seorang gadis kecil—Sari—berdiri di sana dengan seragam SD-nya. Rambutnya dikepang dua, sama seperti Elena dulu.
Matanya langsung melirik ke gerobak.
Ke tubuh yang tertutup terpal.
"Papa?" suaranya kecil, gemetar.
Alex tidak bisa bicara.
Air matanya jatuh begitu saja.
Sari berlari ke gerobak, membuka terpal—
Dan menjerit.
"PAPAAAA!"
Jeritan itu memecah hati Alex—sama persis seperti jeritan Elena malam itu.
Sari memeluk tubuh ayahnya yang sudah dingin, menangis sejadi-jadinya.
"Papa... Papa bangun... Papa bohong... Papa bilang pulang bawa sepatu... Papa janji... PAPA JANGAN TINGGAL SARI!"
Alex berlutut di samping Sari, tubuhnya bergetar.
Ini persis seperti Elena. Persis.
Tetangga-tetangga mulai keluar, melihat pemandangan itu dengan wajah sedih tapi pasrah—seolah ini sudah biasa terjadi.
"Kasihan Sari. Jadi yatim piatu sekarang."
"Bapaknya kerja mati. Ini negara apa?"
Alex memeluk Sari yang masih menangis histeris. "Aku... aku minta maaf... aku tidak bisa selamatkan papamu..."
Sari mengangkat wajahnya—wajah penuh air mata, mata merah bengkak.
"Kakak... kakak ada waktu Papa jatuh?" tanyanya dengan suara serak.
Alex mengangguk, tidak sanggup berbohong.
"Kenapa... kenapa Kakak tidak selamatkan Papa...?"
Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pisau.
Sama. Pertanyaan yang sama seperti Elena dalam mimpiku.
"Aku... aku sudah coba... tapi tanganku tidak kuat..." Alex menangis, air matanya bercampur air mata Sari.
Sari memeluk ayahnya lagi, berbisik di telinganya yang sudah tidak bisa mendengar: "Papa... Sari tidak perlu sepatu... Sari hanya perlu Papa... kumohon Papa bangun..."
Tapi Hendro tidak akan pernah bangun lagi.
Alex merogoh sakunya—dompet lusuh berisi lima puluh ribu rupiah. Semua uang yang ia kumpulkan selama sebulan dengan bekerja dua puluh ribu per hari. Ia rencanakan beli pisau—pisau yang ia butuhkan untuk latihan dengan Marcus.
Tapi sekarang...
Ia meletakkan uang itu di tangan Sari yang kecil.
"Ini... ini buat kamu. Beli sepatu. Papa pasti mau kamu punya sepatu baru."
Sari menatap uang itu, lalu menatap Alex.
"T-tapi... Kakak..."
"Ambil saja. Aku... aku tidak butuh." Alex tersenyum—senyum yang dipaksakan di tengah air mata.
Sari memeluk uang itu, menangis lagi. "Terima kasih, Kakak... Papa pasti senang..."
Alex bangkit, melangkah mundur.
Ia menatang tubuh Hendro sekali lagi—pria baik yang hanya ingin membelikan anaknya sepatu.
Papa juga begitu. Papa hanya ingin dunia jadi lebih baik untuk kami.
Kenapa orang baik selalu yang mati?
Alex berbalik, berjalan keluar dari gang itu dengan langkah berat.
Di belakangnya, tangisan Sari masih terdengar—jeritan anak yang kehilangan satu-satunya orang tua.
Dan Alex tidak bisa berbuat apa-apa.
Lagi.