Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 – Malam yang Menolak Usai
Hutan makin gelap, tapi bukan gelap biasa. Ini gelap yang terasa tebal, seperti kabut hitam yang punya bobot. Langit di atas kami nggak kelihatan lagi — entah karena awan, atau karena memang malam di sini tidak mengenal bintang.
Kami bertiga duduk melingkar di tanah, saling menempel.
Bukan karena kedinginan. Tapi karena takut terpisah.
Lintang duduk di tengah, wajahnya basah oleh keringat dan darah kering di bibir. Napasnya masih berat, tapi matanya sadar. Dia tahu… dan kami juga tahu… waktu kami di gunung ini sudah nggak lama lagi.
Sari pelan ngomong, nadanya hampir berbisik: “Kalau dia beneran ngincar Lintang… kita bisa apa? Kita cuma tiga orang, nggak punya apa-apa.”
Aku liat ke kanan kiri, nyari ide, nyari sesuatu yang bisa dijadikan senjata — tapi di gunung ini, nggak ada yang bisa lawan “sesuatu” yang bukan manusia.
Lintang tiba-tiba buka suara, pelan tapi tegas: “Gunung ini bukan jahat. Dia cuma… menagih.”
Aku melotot. “Menagih apa?”
“Janji. Doa. Nama. Entah siapa yang dulu buka pintu pertama kali, tapi kita semua yang naik sesudahnya ikut masuk ke ruang yang sama.”
Sari frustasi. “Lintang, jangan ngomong muter! Janji siapa?!”
Lintang memejamkan mata. “Sepupu gue dulu waktu naik, dia sempat ngomong ke gue… katanya kalau sampai puncak, dia mau minta sesuatu. Mau doa biar hidupnya tenang, biar bisa ‘ngeliat’ yang udah pergi.”
Dia menatap kami pelan. “Mungkin… permintaan itu dikabulin. Tapi bayarnya bukan waktu itu. Bayarnya sekarang.”
Aku mulai paham. Gunung ini nggak ngambil nyawa secara acak — dia nunggu.
Dan kami datang membawa beban yang sama.
Kita semua bagian dari “janji” itu, cuma belum tahu.
Lintang ngelap keringat, lanjut pelan: “Makhluk itu bukan penjaga… tapi utusan. Dia ngambil satu, terus dilepas lagi. Dikasih pilihan.”
Sari memeluk lututnya. “Pilihan?”
“Antara ikut dengan tenang… atau lawan dan bikin yang lain kena juga.”
Suasana hening lama.
Angin berhenti. Serangga juga.
Yang terdengar cuma detak jantung di kepala masing-masing.
Sampai akhirnya ada sesuatu dari arah belakang — suara langkah pelan di atas daun kering.
Langkah keenam.
Pelan. Mantap. Pasti.
Sari mulai nangis lagi, suaranya hampir nggak keluar. “Raka… dia datang…”
Aku berdiri cepat, hadap ke arah suara. Cahaya headlamp-ku menembus pepohonan, tapi cuma kena kabut dan batang-batang hitam yang diam.
Lintang berdiri juga, meski badannya lemas.
“Dia nggak datang buat bunuh,” katanya.
Aku melotot. “Maksudnya apa?”
Lintang memejam mata sebentar, lalu menatap kami — sorotnya tenang, seperti orang yang baru nemu jawaban.
“Dia datang buat nanya.
Siapa yang mau tinggal.”
Sari langsung mundur dua langkah. “Gila. Kita nggak akan kasih siapa pun!”
Lintang tersenyum tipis. “Kalau nggak ada yang ngasih, dia yang milih.”
Aku bisa ngerasa ada sesuatu mendekat, bukan lewat suara, tapi lewat tekanan udara — kayak ruang di sekitar kami tiba-tiba jadi sempit.
Kain jaketku berkibar sendiri, tapi nggak ada angin.
Aku bisa dengar bisikan rendah di telinga — pelan, berulang, seperti gumaman doa terbalik:
“Yang kuat… yang lemah…
yang ikhlas… yang marah…
satu saja… satu saja…”
Sari mulai terisak, menutup telinganya. “Aku nggak mau dengar…”
Aku rangkul dia, tapi rasanya percuma — bisikan itu nggak datang dari luar.
Lintang diam lama. Lalu dia berkata, lirih tapi pasti: “Kalau cuma satu yang harus tinggal, biar gue.”
Sari langsung teriak, “JANGAN! Jangan ngomong gitu! Jangan ngasih dia izin!”
Lintang nyengir lemah. “Kalau nggak ada yang ngasih izin, dia bakal ambil sendiri. Mending gue aja.”
Aku mau marah, tapi di sisi lain aku tahu dia ngomong dari tempat yang dalam — tempat antara putus asa dan keberanian.
Lintang nengok ke arah gelap, matanya berkaca-kaca tapi nggak takut lagi.
“Kalau ini harga buat nyelesain janji yang bukan gue mulai, ya biar gue yang nutup.”
Sari berusaha maju, tapi langkahnya goyah. “Kalau kamu tinggal, kamu nggak akan tenang. Dia nggak akan biarin kamu tenang!”
Lintang malah senyum kecil, suara pelan banget: “Dia nggak mau nyiksa. Dia cuma mau ditemani.”
Tepat setelah kalimat itu keluar, kabut dari depan kami pecah seperti air disiram ke bawah. Dari tengah kabut, muncul bayangan samar — tinggi, kurus, rambutnya panjang menutupi wajah. Tapi kali ini aku bisa lihat sedikit di balik rambutnya: wajahnya mirip manusia muda, tapi matanya… kosong total.
Seperti Lintang, tapi bukan dia.
Sari langsung jatuh terduduk. “Ya Tuhan…”
Sosok itu maju perlahan.
Langkahnya enam.
Lintang menatapnya, dan aku bisa lihat jelas air mata jatuh di pipinya.
“Aku udah lama nggak bisa maafin diri sendiri,” katanya lirih. “Kalau kamu yang ngingetin aku… maaf.”
Sosok itu berhenti di depan Lintang, jarak satu meter.
Dia menunduk — gerakannya lembut, kayak seseorang yang kenal orang di depannya.
Suara lirih keluar dari bawah rambutnya:
“Sekarang kamu bisa pulang.”
Lintang senyum kecil, dan jawab pelan: “Kalau gue pulang, kamu ikut nggak?”
Sosok itu diam lama.
Lalu perlahan… menggeleng.
Sari terisak makin keras. Aku udah nggak bisa nahan air mata juga.
Lintang melangkah mundur satu langkah, lalu ngeliat aku dan Sari gantian.
“Kalau gue nggak turun, kalian jangan nyalahin diri sendiri. Cukup satu kali tragedi kayak gini. Janji.”
Aku teriak keras: “LIN! JANGAN KASIH DIA APA PUN!”
Tapi Lintang cuma angkat tangan, satu isyarat tenang.
“Aku nggak ngasih apa-apa, Ka. Aku cuma berhenti kabur.”
Sosok itu mendekat satu langkah.
Kabut di sekitar mereka berdua makin tebal.
Lintang masih sempat ngomong sekali lagi sebelum tertutup sepenuhnya:
“Kalau gunung ini ambil aku, jangan tinggalin doa. Kirim rasa maaf aja… itu cukup.”
Dan dalam detik berikutnya, kabut menelan Lintang sepenuhnya.
Suara langkah ke-enam berhenti.
Tidak ada teriakan. Tidak ada darah. Tidak ada tubuh jatuh.
Hanya hening.
Seperti gunung akhirnya mendapatkan yang dicari.
Aku dan Sari berdiri lama di tempat itu. Dunia terasa diam — bukan tenang, tapi kosong. Udara nggak bergerak.
Cuma terdengar satu hal dari kejauhan:
bunyi air sungai kecil yang mengalir, samar tapi nyata.
Sari menggenggam tanganku, suaranya gemetar: “Raka… kita harus turun sekarang.”
Aku mengangguk, tapi kaki rasanya nggak kuat.
Langkah pertama turun rasanya kayak nginjak kenangan yang belum selesai.
Waktu kami mulai jalan, aku lihat sesuatu di tanah tempat Lintang berdiri tadi.
Gelang biru — milik Dimas — ada di sana.
Tapi di tali benangnya, sekarang tergantung nama baru yang diukir kecil di kayu tipis.
LINTANG.
Aku memungutnya pelan.
Sari cuma bilang, pelan banget: “Dia udah jadi bagian gunung ini.”
Aku nggak bisa jawab.
Tapi dalam hati aku tahu satu hal:
Yang naik lima,
yang turun mungkin cuma dua,
tapi yang tinggal… bukan cuma yang hilang.
Gunung selalu simpan nama mereka yang pernah berjanji untuk kembali.
Dan malam itu — aku sadar —
kadang “pulang” bukan berarti kembali ke bawah.
Kadang, “pulang” berarti…
menyatu dengan tempat yang nggak pernah mau melepas.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor