Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Cerewet tapi Sayang
Warung Bu Elda sore itu penuh. Suara wajan berdesis, pelanggan protes karena tempenya belum matang, dan aroma bawang goreng memenuhi udara.
Begitu Elvara masuk rumah, tas sekolah langsung ia lempar ke kursi. Tidak sembarang lempar, lebih ke sudah jadi kebiasaan.
“Ra! Ganti baju! Jangan pake seragam sekolah di warung, nanti bau minyak!” seru Bu Elda tanpa menoleh, tangannya sibuk membungkus gorengan.
“Lagi ganti, Bu,” sahut Elvara.
Dua menit kemudian, Elvara sudah kembali dengan kaos rumahan, rambut dicepol asal. Ia langsung mengangkat karung beras 25 kilo dari depan pintu.
“ASTAGA anak ini…” gumam salah satu pelanggan pria, melongo.
“Bu Elda, putrinya kok kuat banget kayak satpam minimarket?”
Pelanggan lain ikut mengangguk-angguk.
“Rajin juga ya. Sekolah rangking, di rumah kerja. Komplit.”
Bu Elda mendelik. Bukan marah, lebih ke bangga, tapi gengsi ditutupi cerewet.
“Ya harus rajin! Kalau nggak rajin, saya cubit tuh pipinya sampe tumpah lemaknya!” katanya sambil menunjuk dengan penjepit gorengan.
Pelanggan tertawa.
Elda menggeleng, tetapi matanya melembut sekilas melihat Elvara mengangkat beras dengan mudah.
“Kami cuma berdua,” lanjutnya singkat. “Saya janda sejak Elvara sepuluh tahun. Jadi ya… apa-apa harus bisa sendiri.”
Seorang ibu-ibu ikut nyeletuk sambil menata uang kembalian.
“Tapi Bu Elda ini masih muda… cantik… kok nggak cari suami lagi aja? Kan kasihan kalau hidup berdua terus.”
Bu Elda langsung menoleh cepat, alis naik.
“Bu… saya ini masih cinta sama suami saya. Masih utuh di hati, belum habis masa pakainya.”
Ibu-ibu itu bengong.
Pelanggan lain tertawa kecil.
Bu Elda melanjutkan dengan nada tegas namun elegan.
“Dan saya ini hidup bukan buat ngumpulin laki-laki, Bu. Saya fokus besarin anak saya. Itu lebih penting.”
Ucapan itu tegas… tapi nada akhirnya melunak.
“Lagipula… Elvara cuma punya saya. Kalau saya sibuk mikirin laki-laki, siapa yang ngurus dan mikirin dia?”
Elvara yang sedang menata beras menggumam, “Bu, aku udah gede. Bukan bayi.”
Bu Elda langsung nyeplos, cerewet tapi sayang.
“Gede apanya? Waktu baru ditinggal bapakmu, kamu nangis tiga hari tiga malam! Mana ada anak kuat gitu?”
Pelanggan tertawa pecah.
Lalu ibu-ibu tadi menatap Elvara sambil berkomentar:
“Padahal Elvara ini cantik loh, Bu… tapi sayang obesitas. Bahaya itu."
Elvara belum sempat menjawab, Bu Elda sudah menepuk meja.
“BU! Anak saya memang obesitas. Tapi soal kesehatan, saya ini lebih cerewet dari dokter puskesmas. Kolesterol dicek. Gula dicek. Tekanan darah dicek. Semua aman!”
Ibu-ibu itu mengangguk-angguk pelan, tetap tenang. "Tapi akan lebih baik kalau gak obesitas, Bu." ia beralih menatap Elvara. "Coba diet, Ra. Masih muda loh, nanti sakit.”
Elda mendesah, pasrah tapi tetap menjaga senyum sopannya.
“Saya sudah bilang berkali-kali, Bu. Tapi Vara belum tergerak.”
Elvara membalik gorengan di wajan. Tanpa emosi, tanpa tersinggung. Suaranya datar khas Elvara:
“Bu… kalau aku kurus, nanti siapa yang ngangkat beras? Ibu?”
Bu Elda langsung cemberut.
“Eh, jangan meremehkan ibu! Ibu juga kuat kalo lagi marah!”
HAHAHA!
Pelanggan pecah tawa serempak. Ada yang sampai menepuk meja.
Anak kecil di pojok ikut ngakak padahal tak paham apa-apa.
Elda menggeleng sambil menghela napas keras.
“Anak ini kalau dibilangin orang tua ngeles mulu, kayak bajaj…”
Elvara mengangkat gorengan matang dengan wajah tanpa dosa.
“Aku realistis, Bu.”
Seorang bapak menunjuk Elvara sambil terbahak.
“Nah! Itu dia. Cara mikirnya bagus. Efisien!”
Yang lain menimpali,
“Dietnya ditunda dulu aja, Ra. Tenaga kamu penyelamat warung!”
Elda menepuk jidat, antara pusing dan bangga.
“Anak ini… bikin saya capek, tapi kok bangga juga.”
Elvara mengedip malas.
“Yang penting warung rame.”
Warung Bu Elda kembali riuh dengan tawa hangat, suara ramai, dan suasana penuh kasih…
…tanpa Elvara sadari, besok pagi hidupnya bakal mulai berubah, karena seorang pangeran kampus sedang diam-diam jatuh hati padanya.
***
Malam sudah larut. Warung makan sekaligus tempat tongkrongan bapak-bapak milik Elda akhirnya tutup. Lampu-lampu dimatikan, kursi disandarkan ke meja, dan aroma minyak goreng masih menggantung samar.
Elda duduk di sofa sederhana sambil cekikikan menatap layar ponselnya.
Elvara keluar dari kamar sambil menguncir rambutnya yang tebal.
“Ibu nggak ngupas bawang buat besok?” tanyanya. Hanya pada ibunya ia terdengar selembut itu. Di sekolah ia super cuek, tapi di rumah hanya ibunya satu-satunya yang ia cintai.
“Besok libur dulu, Ra.”
Elda menutup ponselnya, tersenyum kecil. “Besok kita ambil uang pensiunan ayahmu. Sekali-kali libur lah.”
“Oh.” Elvara duduk di samping ibunya, memeluk bantal. “Syukur deh. Punggungku juga mau istirahat.”
“Sekolah kamu gimana?” tanya Elda serius.
“Biasa aja, Bu.” Jawabannya santai seperti tidak ada yang penting di dunia.
Elda mendengus, matanya langsung menilai dari atas ke bawah, memasang wajah serius. Wajah yang selalu bikin Elvara malas mendengar.
“Ra… kamu itu harus diet. Ibu serius. Kamu pintar, rajin, wajahmu cantik… tapi—”
“Ketutupan lemak.” Elvara melanjutkan tanpa emosi.
Elda langsung manyun. “Nah, itu tau!”
“Ya soalnya Ibu ngomong itu tiap hari.” Elvara meraih toples kacang dan mulai ngemil.
Elda menunjuk lengan putrinya.
“Mulailah diet, ya?”
Elvara memicingkan mata.
“Santai aja, Bu… nanti aku diet."
Elda memutar mata. “Vara… dengerin ibu. Kalau kamu terus obesitas gini, kamu bisa kena macem-macem penyakit: darah tinggi, kolesterol, diabetes, jantung, sendi rusak—”
“Bu…” Elvara mengangkat tangan. “Kalau aku mati karena lemak, ibu tinggal bilang ke tetangga: ‘Anak saya gugur dalam perjuangan.’ Dramatis dikit biar keren.”
Elda menepuk jidat keras-keras.
“Ya Tuhan, anak ini!”
Elvara ngemil lagi. “Santai dong, Bu. Aku diet nanti… setelah kelar kuliah.”
Elda bengong.
“Sekarang aja belum lulus SMA! Nunggu kuliah kelar, lemakmu keburu bikin kamar penuh!
Obesitas itu bisa bikin darah tinggi, kolesterol, jantung, stroke, napas sesak, lutut kalah beban, macam-macam!
Kamu nggak malu apa, badan sebelas–dua belas sama karung beras begini? Ibu yakin kamu dibully di sekolah.”
Elvara cuma cengengesan.
“Ibu yakin kamu pasti dibully di sekolah,” sambung Elda.
“Dibully nggak apa, Bu. Yang dosa mereka. Aku nggak rugi, kok.” Elvara nyender santai, tetap mengunyah.
Elda terpekur. “Teman-teman seusiamu banyak yang punya pacar. Bahkan ada yang udah gendong anak. Tapi kamu?" Elda menunjuk Elvara. "Mana ada cowok yang naksir kalau badanmu kayak karung beras begini.”
Elvara menjawab cepat tanpa berhenti ngunyah:
“Ada.”
“Hah? Siapa?” Mata Elda langsung menyipit. “Jangan-jangan cuma modus. Deketin kamu karena kamu pintar, biar dimanfaatin.”
“Jodohku nanti pasti suka sama aku apa adanya,” jawab Elvara datar.
Elda melongo, gemas sekaligus pasrah. Ia menarik napas panjang.
“Dengar, Ra… kalau kamu punya berat ideal, ibu yakin cowok bakal antre ngejar kamu.”
Elvara malah menghela napas berat.
“Itu dia masalahnya, Bu. Kalau banyak yang naksir, aku malah susah fokus belajar.
Nanti diganggu sana-sini. Aku cuma pengen lulus dengan nilai tinggi, kuliah, terus jadi wanita karir yang mandiri.”
Elda kembali menepuk jidat.
Ia benar-benar tidak tahu harus membujuk apa lagi. Napasnya berat. Ada rasa capek, cemas, tapi juga sayang yang tak bisa dijelaskan.
“Ra…” suaranya melembut, “…ibu cuma takut kamu sendirian nanti. Kamu anak ibu satu-satunya. Ibu cuma pengen kamu sehat, panjang umur, bahagia… sebelum ibu nggak ada.”
Elvara berhenti mengunyah.
Perlahan ia bersandar ke bahu ibunya, suara masih datar tapi lebih hangat:
“Bu… aku diet kok. Tapi pelan-pelan. Aku cuma… nggak mau ibu capek sendirian. Kalau aku kurus nanti, siapa yang angkat galon sama beras?”
Elda langsung tersedak udara.
“Ya Tuhan! Anak ini bikin haru… tapi bikin pengen nonjok juga!”
Elvara tertawa kecil.
“Yang penting… kita bareng terus, Bu.”
Elda memeluk kepala putrinya erat, mata memerah tapi tersenyum.
“Dasar anak gendut ibu… bikin ibu pusing tapi ibu sayang banget.”
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
Elvara yang baru pulang sekolah berdiri di ambang pintu, memeluk tasnya, menatap ibunya dari kejauhan.
“…Ibu kenapa?” tanyanya pelan.
Lalu menambahkan, datar seperti biasa,
“Kenapa muka Ibu kayak habis ditipu sales panci premium?”
Elda menoleh cepat.
Kedua tangannya mengepal. Rahangnya tegang. Seluruh tubuhnya seperti siap menyeruduk siapa saja.
“Ra…” suaranya pecah.
To be continued
Om Nata, satu lagi pastikan Elvara aman. cari tau tentang anakmu, siapa aja yg deket sama Raska. Kalo perlu tempatkan bodyguard bayangan di sekeliling Raska dan teman2nya. Istri dan anak mu yg lain sedangkan merencanakan hal jahat klo yg mereka inginkan tidak sesuai.
Ayo Raska kamu semangat untuk sembuh,,dan Elvara tempat ternyamanmu🤣
Raska selama ini berarti berusaha sendiri mengatasi masalah traumanya dengan konsultasi ke dokter Wira.
Tanya jawab antara dokter Wira dengan Raska - kesimpulannya - trauma Raska belum pulih.
Ya betul itu pak Nata, Roy iri terhadap Raska. Kalah segala-galanya maka mau mencurangi kakak tirinya.
Raska...yang tahu sengaja atau tidak sengaja nabrak - ya Bella.
Elvara pribadi yang baik, tidak mau menuduh. Tapi yang pasti kamu sengaja di tabrak Bella - biar kamu jatuh ke dalam kolam. Bella mungkin tidak menyangka ketika nabrak kamu - dirinya mental - kecebur juga 😄.
Elvaraaaaaa...jujur amat 😂.
Tuh lihat reaksinya trio komentator 😂.
Raskaaaaa....jujur juga 😂👍🏻👍🏻.
Trio komentator langsung meledak ibaratnya sedang menyaksikan tanding sepak bola jagoannya tembus gawang 😄.
Raska kupingnya memanas - Elvara biasa...tanpa ekspresi bergumam - "Drama banget kalian." 😄.
Weeeeh Bella nguping.
Waduh masih ada lain kali - rencana jahat apa lagi Bella ??
Bella mimpimu cuma mimpi - mana ada jadi kenyataan - Raska tidak mungkin pilih kau.
Tiga temannya mengkhawatirkan kondisi Raska. Mereka bertiga peduli - kalimat yang keluar dari masing-masing cukup menghibur. Yang di rasa Raska ketegangan sedikit melonggar - menggeleng halus, bergumam lirih - "...kalian emang nyebelin." Ini bentuk ungkapan Raska yang "POSITIF," terhadap ke tiga temannya yang selalu ada untuknya.
( ***Ini Author mesti bikin cerita kelanjutan mereka berempat sampai masing-masing punya keluarga, pertemanan berlanjut 😄. )
Roy mimpinya ketinggian.
Elvara masih seperti biasa yang dilakukan ketika jam istirahat. Duduk di bawah pohon, membaca buku, sambil ngemil - kripik.
dan semoga si Roy selalu gagal dalam semua hal😄
Aku Sudah menduga, novel ini beda dari yang sebelumnya. Novel kali ini, selain memberikan pelajaram tentang ketulusan cinta, juga ada melibafkan Para medis juga.
Seperti Dokter Wira, Dokter Pesikiater Raska, Karen itu sangat mengguncang kejiwaan Raska, yang telah dia tanggung sejak usia 10 tahun. Untung saja Raska berusaha berobat, jika tidak, penyakitnya makin parah dan membuat tempramen Raska meningkat, yang bisa-bisa membuat dia tidak bisa tidur nyenyak, dan itu bisa mebuat dia menjadi emosional, bahkan mungkin bisa melempar barang-barang di Apartemen nya, jika sudah parah.
Mantap kak Nana... 🙏🙏🙏😁