NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13: Luka di Kotagede

​Pagi di Yogyakarta tidak sedingin Kaliurang, namun kebekuan di dalam mobil Range Rover hitam itu jauh lebih menusuk tulang.

​Bara menyetir menembus jalanan ring road utara yang padat merayap, sementara Kaluna duduk kaku di kursi penumpang, matanya terpaku pada deretan ruko dan pohon angsana di pinggir jalan.

​Tidak ada yang bicara soal kejadian semalam.

Tidak ada yang membahas soal listrik padam, soal tatapan dalam di depan perapian, atau soal bibir yang hampir bersentuhan itu.

​Mereka berdua sepakat dalam diam untuk mengubur momen itu di bawah karpet villa tua Eyang Bara, berpura-pura bahwa itu hanyalah efek samping dari udara dingin dan nostalgia sesaat.

​"Kita ke studio Pak Citro di Kotagede dulu," suara Bara memecah keheningan, serak dan datar. "Dia spesialis tembaga bakar. Saya sudah kirim sketsa kasar kamu tadi subuh."

​"Baik," jawab Kaluna singkat, tanpa menoleh.

​Kaluna merasa bodoh. Semalam, hatinya sempat goyah. Semalam, ia hampir membiarkan dirinya jatuh lagi ke dalam pelukan pria yang sudah menjadi milik orang lain. Siska. Nama itu berdenging di kepalanya seperti sirene peringatan.

​Studio seni Pak Citro terletak di gang sempit kawasan Kotagede yang legendaris. Bau logam panas, asap pembakaran, dan suara denting palu yang beradu dengan tembaga memenuhi udara.

​"Monggo, Mas Bara, Mbak Kaluna," sambut Pak Citro, pria tua bersahaja dengan blangkon lusuh. "Sketsanya nggih pun kulo pelajari. Menarik. Niki (ini) perpaduan gaya Mataram kuno sama Art Deco ya?"

​Kaluna langsung masuk ke mode profesionalnya, melupakan sejenak drama pribadinya. Ia menyentuh lembaran tembaga yang sedang dikerjakan.

​"Betul, Pak. Saya mau teksturnya tidak terlalu mengkilap. Dibuat oxidized sedikit supaya warnanya merah marun gelap yang matte, lalu aksen emasnya ditatah di pinggiran. Jadi kesannya mewah tapi ndak silau."

​Pak Citro mengangguk antusias. "Wah, selera tinggi niki. Jarang ada hotel yang mau ribet begini. Biasanya minta yang cling-cling cetakan pabrik."

​Bara berdiri di samping Kaluna, memperhatikan interaksi itu. Ia melihat mata Kaluna yang berbinar saat membahas detail ukiran. Inilah Kaluna yang ia kagumi—wanita yang bisa menemukan keindahan dalam detail kecil yang dilewatkan orang lain.

​"Berapa lama pengerjaannya untuk panel dinding ballroom, Pak?" tanya Bara.

​"Kalau motifnya serumit ini, butuh dua bulan, Mas. Itu pun lembur."

​"Saya bayar dua kali lipat kalau bisa selesai satu setengah bulan," tawar Bara tegas.

​Pak Citro tertawa renyah. "Siap, Mas Bara. Uang memang pelicin paling manjur."

​Diskusi berlanjut lancar. Kaluna dan Bara kembali menemukan ritme kerja sama mereka yang solid. Mereka saling melengkapi kalimat satu sama lain saat menjelaskan visi desain. Seolah-olah mereka adalah satu otak yang terbagi dua.

​Untuk sesaat, Kaluna merasa damai.

​Sampai ponsel Bara di saku celananya bergetar panjang.

​Bara merogoh ponselnya. Wajahnya berubah sedikit tegang saat melihat layar. Ia melirik Kaluna sekilas, lalu berdeham.

​"Maaf, Pak Citro. Saya angkat telepon sebentar."

​Bara berjalan menjauh ke arah pintu depan bengkel, mencari sinyal yang lebih baik dan privasi. Namun, suara di bengkel yang tiba-tiba hening karena jam istirahat membuat suara Bara—dan peneleponnya—terdengar sayup-sayup.

​Itu Video Call.

​"Hai, Sayang! Kamu di mana sih? Kok background-nya kumuh banget?"

​Suara Siska. Melengking dan manja, terdengar jelas dari speaker ponsel Bara yang volumenya terlalu keras.

​Kaluna membeku di tempatnya berdiri. Tangannya yang sedang memegang sampel tembaga meremas logam dingin itu hingga memutih.

​"Aku di bengkel pengrajin, Siska. Di Kotagede," jawab Bara, suaranya terdengar tidak sabar.

​"Ih, ngapain blusukan gitu? Suruh asisten aja kenapa sih? Oh ya, aku mau liat dong. Kamu sama siapa? Sendirian?"

​Ada nada curiga yang kental dalam pertanyaan itu.

​Jantung Kaluna berdegup menyakitkan. Ia menatap punggung Bara dari kejauhan. Apa yang akan Bara lakukan?

​Bara tampak ragu sejenak. Lalu, ia mengarahkan kamera ponselnya memutar, memperlihatkan suasana bengkel yang penuh alat-alat tukang, sengaja menghindari sudut tempat Kaluna berdiri.

​"Sama Pak Citro, pemilik bengkel. Dan tim desain," jawab Bara diplomatis.

​"Tim desain? Maksudmu si arsitek itu? Kaluna?" Siska mendengus. "Jangan bilang kamu berduaan sama dia?"

​"Ini kerjaan, Siska," potong Bara tegas. "Aku sibuk. Nanti aku telepon balik."

​"Tunggu! Aku belum selesai! Nanti malam Tante Ratna mau—"

​Klik.

​Bara mematikan sambungan telepon sepihak. Ia berdiri diam sejenak, menghela napas panjang, lalu memasukkan ponselnya kembali ke saku.

​Saat ia berbalik, ia mendapati Kaluna sudah berdiri di ambang pintu bengkel, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Kecewa? Marah? Jijik? Campuran semuanya.

​"Sudah selesai laporannya?" tanya Kaluna dingin.

​Bara berjalan mendekat. "Kaluna, itu cuma—"

​"Pak Citro, terima kasih banyak waktunya," potong Kaluna, beralih pada si pengrajin dengan senyum yang dipaksakan. "Detail ukurannya akan saya email sore ini. Kami pamit dulu."

​Tanpa menunggu Bara, Kaluna berjalan cepat menuju mobil. Langkahnya lebar dan penuh emosi.

​Bara mengejar Kaluna, berhasil menyusulnya tepat di samping pintu mobil yang terparkir di bawah pohon rindang.

​"Kaluna, tunggu!" Bara menahan pintu mobil yang hendak dibuka Kaluna.

​"Minggir," desis Kaluna tanpa menatapnya.

​"Jangan kekanak-kanakan. Kita harus bicara."

​"Bicara apa lagi?" Kaluna akhirnya meledak. Ia berbalik, menatap Bara dengan mata berkaca-kaca karena amarah. "Bicara soal bagaimana kamu menyembunyikan aku dari kameramu tadi? 'Tim desain'? Serius, Bara? Kamu bahkan nggak berani sebut namaku di depan tunanganmu?"

​"Aku melakukan itu supaya tidak ribut!" bantah Bara, suaranya meninggi. "Kamu tahu Siska cemburu buta. Kalau dia lihat kamu di sini bersamaku, dia akan bikin masalah buat kamu!"

​"Oh, terima kasih banyak ya, Pak Pahlawan!" seru Kaluna sarkastis. "Kamu pikir aku butuh perlindunganmu? Yang aku butuhkan adalah kejujuranmu!"

​Kaluna mendorong dada Bara, memaksanya mundur.

​"Semalam..." suara Kaluna bergetar, "semalam kamu hampir menciumku, Bara. Kamu menatapku seolah aku satu-satunya wanita di dunia ini. Kamu membuatku merasa... spesial. Tapi pagi ini? Begitu 'Pemilik Modal' menelepon, kamu langsung kembali jadi anjing penurut yang takut ketahuan selingkuh!"

​Wajah Bara memerah padam. Urat lehernya menonjol. Kata 'anjing penurut' jelas menyinggung egonya.

​"Jaga mulutmu, Kaluna," geram Bara. Ia mencengkeram lengan Kaluna, menariknya mendekat hingga tubuh mereka hampir bertabrakan. "Kamu tidak tahu apa-apa soal posisiku. Aku terjebak! Aku melakukan semua ini—menuruti Siska, menuruti Ibu—supaya perusahaan ini tetap jalan. Supaya kamu tetap bisa kerja!"

​"Aku nggak minta kamu berkorban buat aku!" teriak Kaluna, air matanya jatuh. "Berhenti menjadikan aku alasan atas kepengecutanmu! Kamu tidak bisa memilih, Bara. Itu masalahmu. Kamu mau uang Siska, tapi kamu juga mau kenangan bersamaku. Kamu serakah!"

​"Ya! Aku serakah!" bentak Bara tepat di wajah Kaluna.

​Pengakuan itu membuat Kaluna terdiam.

​Bara menatapnya nyalang, napasnya memburu. Pertahanannya hancur lebur.

​"Aku serakah karena aku menginginkan segalanya kembali!" lanjut Bara, suaranya parau penuh frustrasi. "Aku mau perusahaan ini sukses. Aku mau membahagiakan Ibuku. Tapi demi Tuhan, aku juga mau kamu! Aku mau kita yang dulu! Aku benci melihat kamu berdiri di sana, di depanku, tapi aku nggak bisa menyentuhmu karena ada tembok sialan bernama Siska di antara kita!"

​Bara melepaskan cengkeramannya di lengan Kaluna, lalu memukul atap mobil dengan keras. BUGH!

​"Setiap kali aku melihatmu, Kaluna... rasanya sakit," bisik Bara, menunduk, menyandarkan keningnya di atap mobil. "Rasanya sakit karena aku tahu aku masih mencintaimu, tapi aku tidak punya hak lagi."

​Kaluna terpaku. Kemarahannya menguap, digantikan oleh rasa nyeri yang luar biasa di dada. Pengakuan Bara barusan adalah hal terindah sekaligus paling menyakitkan yang pernah ia dengar.

​Bara mencintainya. Masih.

Tapi cinta itu tidak cukup. Cinta itu kalah oleh realitas.

​"Kalau kamu mencintaiku..." ucap Kaluna lirih, "lepaskan aku, Bara. Jangan tarik-ulur aku seperti ini. Jangan kasih aku harapan di malam hari lalu hancurkan di pagi hari."

​Bara mengangkat kepalanya, menatap Kaluna dengan mata yang basah.

​"Aku nggak bisa melepaskanmu," jawab Bara jujur. "Aku egois."

​Kaluna tertawa hambar sambil menghapus air matanya.

​"Kalau begitu, biarkan aku yang melepaskanmu," kata Kaluna tegas. "Selesaikan perjalanan dinas ini. Kita profesional. Setelah kembali ke Jakarta, aku akan bekerja dari kantor site. Aku akan mengirim laporan lewat Rian. Kita meminimalisir kontak. Sampai proyek ini selesai, dan aku bisa pergi dari hidupmu untuk selamanya."

​Kaluna membuka pintu mobil, masuk, dan membantingnya tertutup.

​Bara berdiri di luar, di bawah terik matahari Yogyakarta yang menyengat, merasa lebih dingin daripada saat dia sendirian di London.

​Dia baru saja mendapatkan konfirmasi bahwa perasaannya terbalas, tapi di saat yang sama, dia baru saja kehilangan Kaluna lagi. Kali ini bukan karena jarak atau uang, tapi karena ketidakmampuannya untuk menjadi laki-laki yang tegas.

​Dengan langkah berat, Bara memutari mobil dan masuk ke kursi pengemudi.

​Tidak ada musik. Tidak ada percakapan.

Mobil itu melaju meninggalkan Kotagede, membawa dua orang yang saling mencintai namun terpisah oleh jurang yang mereka gali sendiri.

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!