NovelToon NovelToon
Dinikahi Sang Duda Kaya

Dinikahi Sang Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Duda / Nikah Kontrak / Berbaikan
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.

​Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.

​"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.

​Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.

​Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 14: Masuk Kandang Macan

​"Lihat itu. Dia berani datang."

​"Mukanya tebal banget ya, Jeng. Padahal kemarin habis bikin onar di gerbang."

​"Sstt! Jangan keras-keras. Itu tasnya Hermes Birkin Himalayan bukan sih? Kok warnanya pucat gitu? Jangan-jangan KW Mangga Dua."

​Bisik-bisik tetangga yang tidak terlalu berbisik itu menyambut langkah kaki Kiana begitu dia memasuki Aula Serbaguna SD Anak Bangsa. Udara di ruangan ber-AC sentral itu mendadak terasa lebih dingin, atau mungkin itu hanya aura yang dibawa Kiana.

​Berbeda dengan ibu-ibu lain yang berlomba-lomba memakai baju warna-warni mencolok dengan logo merek segede baliho di dada, Kiana tampil sangat kontras. Dia mengenakan setelan pantsuit berbahan linen warna beige polos. Potongannya longgar namun jatuh sempurna di tubuh rampingnya. Tidak ada logo yang terpampang nyata. Hanya sebuah jam tangan kecil dengan tali kulit tipis di pergelangan tangannya.

​Bagi mata awam, dia terlihat sederhana. Tapi bagi mereka yang benar-benar paham fashion (yang sayangnya tidak ada di ruangan ini), mereka akan tahu bahwa setelan Loro Piana itu harganya bisa untuk membeli mobil city car baru secara tunai.

​Kiana berjalan dengan dagu terangkat, mengabaikan tatapan sinis dari puluhan pasang mata yang sudah duduk melingkar. Dia memilih kursi kosong di barisan tengah, menariknya pelan, lalu duduk dengan menyilangkan kaki.

​Di tangannya, tidak ada buku catatan atau pulpen. Hanya sebuah iPad Pro dengan case kulit hitam dan stylus yang terselip di jari-jarinya.

​Di depan ruangan, di atas panggung kecil yang dihiasi bunga plastik norak, Bu Siska berdiri memegang mikrofon. Dia memakai gaun kaftan sutra warna kuning mustard dengan motif rantai emas yang menyakitkan mata. Lehernya penuh kalung berlian (yang entah asli atau simulasi), dan rambutnya disasak tinggi ala ibu pejabat tahun 90-an.

​"Tes... tes... satu dua. Ekhm."

​Bu Siska mengetuk mikrofon, memastikan perhatian semua orang tertuju padanya. Dia tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putih hasil veneer yang terlalu terang.

​"Selamat pagi, Mommies semua yang cantik dan sholehah," sapa Bu Siska dengan nada dibuat-buat manis. "Terima kasih sudah meluangkan waktu di sela-sela kesibukan arisan dan gym untuk hadir di Rapat Luar Biasa POMG hari ini."

​"Pagi, Bu Ketu!" seru Mommy Cecil dan Bunda Rara kompak dari barisan depan. Mereka adalah dayang-dayang setia Bu Siska.

​Mata Bu Siska langsung melirik tajam ke arah Kiana. Senyumnya berubah miring, penuh ejekan.

​"Khususnya, saya ucapkan selamat datang buat anggota baru kita yang kemarin sempat... yah, sedikit 'tersesat' soal etika berkendara. Ibunya Alea, selamat bergabung di kandang macan... eh maksud saya, komunitas ibu-ibu peduli pendidikan," sindir Bu Siska diiringi tawa cekikikan dari para pengikutnya.

​Kiana tidak merespons. Wajahnya datar seperti tembok beton. Dia hanya menekan tombol di iPad-nya, membuka aplikasi Notes, dan mulai mengetik.

​Tik.

​Bu Siska sedikit kesal karena dicueki. Dia berdehem keras.

​"Baiklah, Moms. Kita langsung ke agenda utama. Seperti yang kita tahu, sekolah kita ini adalah sekolah elit. International standard. Kita sangat menjaga kualitas lingkungan pergaulan anak-anak kita. Kita mau anak-anak kita tumbuh jadi leader, bukan preman pasar."

​Bu Siska menekankan kata 'preman pasar' sambil menatap Kiana lagi.

​"Sayangnya," lanjut Bu Siska dengan wajah dibuat prihatin, "Belakangan ini ada laporan yang sangat meresahkan. Ada satu murid di kelas 1B yang perilakunya makin hari makin tidak terkendali. Kasar, suka main fisik, dan... yah, penampilannya juga tidak mencerminkan kelas sekolah ini."

​"Siapa tuh, Bu Ketu?" tanya Mommy Cecil, pura-pura tidak tahu, padahal skenarionya sudah diatur.

​"Siapa lagi kalau bukan Alea Ardiman," jawab Bu Siska lantang.

​Suasana ruangan langsung riuh rendah. Gumaman setuju terdengar di mana-mana.

​"Kemarin, anak saya, Dino, pulang dengan trauma berat," Bu Siska mulai berakting. Dia mengeluarkan sapu tangan, mengusap sudut matanya yang kering. "Dino bilang dia didorong sama Alea sampai jatuh. Padahal Dino cuma mau menyapa. Bayangkan, Moms! Anak laki-laki saya yang lembut itu dikasari sama anak perempuan! Apa jadinya kalau Dino luka parah?"

​Kiana masih diam. Jari-jarinya menari lincah di atas layar iPad.

​Tik. Tik. Tik.

​Bunyi ketikan itu samar, tapi di telinga Bu Siska yang sedang mencari perhatian, itu sangat mengganggu.

​"Jadi," suara Bu Siska meninggi, "Demi keselamatan dan kenyamanan anak-anak kita semua, saya sebagai Ketua POMG mengusulkan sebuah petisi."

​Salah satu antek Bu Siska, Bunda Rara, berdiri membagikan kertas fotokopian ke seluruh ruangan.

​"Ini adalah petisi untuk meminta pihak yayasan memindahkan Alea Ardiman ke kelas lain, atau kalau perlu... ke sekolah lain yang lebih cocok untuk anak berkebutuhan khusus dalam hal perilaku," kata Bu Siska dengan senyum kemenangan. "Saya minta tanda tangan Moms semua di sini. Kita harus kompak! Jangan biarkan satu apel busuk merusak satu keranjang!"

​Kertas petisi itu sampai ke meja Kiana.

​Kiana melirik kertas itu sekilas. Isinya penuh tuduhan tidak berdasar: Alea agresif, Alea membawa pengaruh buruk, Alea berkata kasar.

​Kiana tidak menyentuh kertas itu. Dia kembali mengetik di iPad.

​Bu Siska yang melihat Kiana tidak bereaksi, merasa diremehkan. Dia turun dari panggung, berjalan mendekati tempat duduk Kiana. Suara heels-nya berisik.

​"Ibu Kiana," panggil Bu Siska dengan nada tinggi, berdiri tepat di samping meja Kiana. "Ibu dengar nggak apa yang saya bicarakan? Atau Ibu pura-pura sibuk main game karena malu?"

​Kiana tidak menoleh. Matanya tetap fokus ke layar. "Lanjutkan, Bu. Saya sedang mencatat. 'Apel busuk'. 'Preman pasar'. 'Anak berkebutuhan khusus'. Ada lagi kosa kata indah yang mau Ibu sumbangkan?"

​Wajah Bu Siska memerah. "Ibu ini benar-benar tidak punya hati ya! Anak tiri Ibu mau dikeluarkan, Ibu malah santai-santai catat notulen?! Oh, saya lupa. Alea kan cuma anak tiri. Pantas Ibu nggak peduli."

​Kalimat itu memancing reaksi dari ibu-ibu lain.

​"Iya ya, pantesan cuek bebek."

"Namanya juga bukan darah daging sendiri."

"Kasihan Alea, dapet ibu sambung modelan begini."

​Bu Siska merasa mendapat angin segar. Dia melipat tangan di dada, merasa di atas angin. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Kiana, ingin menyerang titik terlemah wanita itu.

​"Asal Ibu tahu ya," kata Bu Siska, suaranya sengaja dikeraskan agar seluruh ruangan dengar. "Mendidik anak itu butuh naluri, Bu. Butuh kasih sayang tulus. Bukan cuma modal tampang dan uang suami."

​Bu Siska tertawa sinis. "Yah, tapi wajar sih kalau Ibu gagal didik Alea. Alea kan 'liar' karena ibunya meninggal, bapaknya sibuk kerja nggak pulang-pulang, eh sekarang malah diurus sama janda yang... maaf ya, 'kering'."

​Hening.

​Seluruh ruangan menahan napas. Kata 'kering' itu sangat ambigu, tapi sangat jahat. Mengarah pada status Kiana yang belum pernah punya anak, atau mungkin sindiran soal rahim.

​"Maksud saya," lanjut Bu Siska dengan nada berbisa, "Mana ngerti Ibu soal perasaan seorang ibu? Ibu kan belum pernah melahirkan. Nggak punya anak sendiri. Cuma numpang hidup sama duda kaya buat naikin status sosial. Jadi wajar kalau Ibu nggak becus urus anak orang. Alea jadi nakal itu salah siapa? Ya salah Ibu yang nggak punya naluri keibuan!"

​"Betul tuh!" timpal Mommy Cecil. "Kalau nggak bisa urus anak, mending sewa baby sitter aja, Bu! Jangan sok-sokan jadi ibu!"

​"Janda gatal memang beda prioritasnya. Yang dipikirin cuma gimana cara nempel sama suami orang, bukan urus anak," tambah Bunda Rara pedas.

​Tawa mengejek meledak di ruangan itu. Mereka menertawakan Kiana. Mereka menertawakan Alea. Mereka merasa menang karena berhasil memojokkan "orang luar" yang berani masuk ke wilayah mereka.

​Selama lima detik, Kiana masih menunduk.

​Dia mengetik satu kalimat terakhir di iPad-nya.

​Pencemaran nama baik, perundungan verbal, ujaran kebencian di muka umum. Pasal 310 KUHP. Bukti rekaman: lengkap.

​Kiana menghentikan jarinya.

​Lalu, dengan gerakan perlahan namun penuh tenaga, dia menutup casing iPad-nya.

​TAK!

​Bunyi benturan magnet casing iPad itu terdengar sangat keras dan tajam di tengah tawa ibu-ibu sosialita itu. Seperti suara palu hakim yang diketuk di meja hijau.

​Seketika, tawa itu mati. Hening kembali menyergap.

​Kiana mengangkat wajahnya perlahan. Dia melepas kacamata bacanya (yang sebenarnya hanya aksesori untuk merekam video lewat kamera tersembunyi di bingkainya), lalu meletakkannya di meja.

​Dia berdiri.

​Kiana tidak perlu naik ke panggung untuk terlihat tinggi. Postur tubuhnya yang tegak, ditambah aura dominan yang biasa dia pakai untuk memimpin rapat direksi dengan ratusan pria, membuat Bu Siska yang berdiri di dekatnya tiba-tiba terlihat kerdil dan norak.

​Kiana menatap Bu Siska lurus di bola matanya. Tatapan itu dingin, kosong, dan mengerikan. Seperti tatapan singa betina yang baru saja dibangunkan paksa dari tidur siangnya oleh seekor tikus got yang berisik.

​Kiana memiringkan kepalanya sedikit, lalu sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis yang membuat bulu kuduk Mommy Cecil di barisan depan meremang.

​"Sudah?" tanya Kiana, suaranya tenang tapi menggema jelas ke seluruh sudut ruangan tanpa perlu mikrofon. "Selesai gonggongnya, Ibu-ibu?"

1
Nor aisyah Fitriani
lanjuttt
Savana Liora
mantap kak
Savana Liora
asiaaapp
Nor aisyah Fitriani
uppp teruss seharian cuma nungguin kirana
Nischa
yeayyy akhirnya kiana sadar juga dengan perasaan nyaaa, uhhh jadi ga sabar kelanjutannya😍
Savana Liora
😄😄😄 iya, mantap kiana ya
shenina
😍😍
shenina
woah badass kiana 👍👍
shenina
🤭🤭
Savana Liora: halo. terimakasih udah baca
total 1 replies
shenina
👍👍
Savana Liora: makasih ya 😍😍
total 1 replies
Savana Liora
hahahaha
Nor aisyah Fitriani
upp teeuss thorr baguss
Savana Liora: asiaaap kk
total 1 replies
Nischa
lanjut thorr, ga sabar kelanjutannya🥰
Savana Liora: sabar ya. lagi edit edit isi bab biar cetar
total 1 replies
Nischa
cieee udah ada rasa nih kyknya, sekhawatir itu sm Gavin😄
Savana Liora: hahahaha
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
upp kak cerita nya baguss
Savana Liora: bab 26 udah up ya kak
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
baguss bangett
Savana Liora: makasih kak.😍 selamat membaca ya
total 1 replies
Feni Puji Pajarwati
mantap Thor...ceritanya gak kaleng2...maju terus buat karya nya...semangat...
Savana Liora: terima kasih supportnya kakak
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
next thor👍
vote untuk mu
Savana Liora: makasih kak. happy reading ya
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
🤩🤩🤩
Savana Liora: Terima kasih dah mampir kak
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
🤭🤭
Savana Liora: iya kak. harus tetap semangat. 💪
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!