MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dibuang Di Tengah Hujan Badai
Andika tidak lagi mampu menahan rasa panas yang membakar kulit paha dan harga dirinya. Amarahnya meledak seketika. Tanpa memedulikan citranya sebagai tuan rumah, ia menyambar bahu Nancy dan menariknya berdiri dengan kasar.
"Kamu mau mencelakai Rahayu atau memang sengaja mau membuat saya cacat, hah?!" bentak Andika.
Tangannya melayang, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nancy hingga asisten rumah tangga itu tersungkur menabrak meja kayu.
PLAK!
"Ampun, Tuan! Saya tidak sengaja, tadi saya..."
"Tidak sengaja kamu bilang?!" Andika mencengkeram kerah baju Nancy, menyeretnya paksa menuju ruang tengah.
"Dua kali dalam sehari kamu bikin keributan! Kamu pikir saya tidak tahu akal bulusmu? Kamu pelayan, Nancy! Tugasmu melayani, bukan jadi jagoan di rumah ini!"
Andika mendorong Nancy hingga wanita itu jatuh tersedu-sedu di atas lantai marmer. Lilis, yang mengintip dari balik tirai, gemetar ketakutan dan tidak berani mengeluarkan suara sepatah pun.
"Mas, sudahlah. Kasihan Nancy, mungkin dia hanya... terlalu bersemangat," suara Rahayu terdengar dari arah tangga, nadanya tenang namun setiap katanya terasa seperti siraman bensin ke api amarah Andika.
"Diam kamu, Rahayu! Ini urusanku!" bentak Andika, meski sebenarnya ia merasa malu karena terlihat payah di depan istri yang ia remehkan itu.
Andika kemudian merogoh laci meja kerjanya dengan kasar. Ia mengeluarkan segepok uang tunai pecahan seratus ribu yang diikat karet, lalu melemparkannya tepat ke wajah Nancy yang sembab.
Prak!
Lembaran uang itu berhamburan di lantai, di antara pecahan keramik cangkir kopi.
"Itu gaji terakhirmu dan biaya pengobatanmu!
Ambil semua uang itu dan keluar dari rumah saya detik ini juga! Saya tidak butuh pelayan ceroboh yang kerjanya cuma bikin celaka!"
"Tuan, tolong jangan pecat saya... saya mau kerja di mana lagi dengan luka begini?" rintih Nancy memelas, mencoba meraih kaki Andika.
"Persetan! Pergi sebelum saya panggil polisi untuk menyeretmu atas pasal penganiayaan!" ancam Andika dengan mata menyala.
Nancy menyadari bahwa tidak ada lagi harapan. Dengan tangan gemetar dan isak tangis yang tertahan, ia memunguti lembaran uang di lantai uang yang kini terasa seperti penghinaan terakhir. Ia melirik ke arah Rahayu yang berdiri tegak di kejauhan.
Rahayu tidak melihatnya, namun Nancy merasa seolah mata buta itu sedang menertawakan kehancurannya. Dengan langkah pincang dan hati yang hancur, Nancy menyeret langkahnya keluar dari pintu besar rumah itu, membawa kopernya pergi menembus kegelapan malam.
Satu iblis telah tumbang.
Rahayu menghirup napas dalam-dalam, aroma kopi yang tumpah masih tercium di udara, bercampur dengan aroma kemenangan yang manis.
Ia kembali melangkah menuju kamarnya dengan ketukan tongkat yang berirama tetap.
"Satu iblis udah pergi, Mas," gumam Rahayu dalam hati.
"Tinggal menunggu iblis-iblis selanjutnya untuk masuk ke dalam lubang yang kalian gali sendiri."
Di ruang tengah, Andika masih meringis menahan perih di pahanya, tidak menyadari bahwa pengusiran Nancy hanyalah awal dari keruntuhan takhta kecil yang selama ini ia banggakan di rumah itu.
Hujan kembali tumpah dari langit, lebih deras dari malam sebelumnya. Suara guntur menggelegar, menggetarkan kaca-kaca jendela mansion yang megah. Di dalam rumah, atmosfer terasa sesak oleh dendam yang belum tuntas.
Andika menatap paha kirinya yang masih merah dan melepuh akibat tumpahan kopi. Rasa perih itu terus memicu egonya yang terluka. Baginya, Nancy hanyalah pion yang sudah dibuang, tapi Rahayu adalah duri yang sebenarnya. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak karena kejadian kemarin terjadi di hadapan wanita yang selama ini ia anggap sebagai beban tak berguna.
"Lilis!" panggil Andika dengan nada rendah yang mengancam.
Lilis muncul dengan wajah pucat, namun ada kilatan patuh yang berlebihan di matanya.
"Iya, Tuan?"
"Bawa Rahayu ke sini. Sekarang."
Rahayu sedang duduk di tepi ranjangnya, mendengarkan irama hujan yang menghantam atap, ketika pintu kamarnya didobrak kasar. Tanpa peringatan, tangan kekar Andika menyambar rambutnya.
"Aduh! Mas, apa-apaan ini?!" jerit Rahayu, tangannya meraba-raba udara, mencoba mencari pegangan.
"Kamu pikir kamu pemenangnya setelah Nancy pergi, hah?!" desis Andika tepat di telinga Rahayu.
"Kamu bikin aku malu di rumah aku sendiri. Sekarang, kamu harus belajar posisi kamu
yang sebenarnya!"
Andika tidak memberikan kesempatan bagi Rahayu untuk membela diri. Sebuah tamparan mendarat di pipi Rahayu, disusul dorongan kasar yang membuatnya tersungkur ke lantai.
"Lilis, bantu saya! Seret dia!" perintah Andika.
Lilis, yang menyimpan dendam tersembunyi karena ketakutannya sendiri, tidak ragu-ragu. Ia menjambak lengan Rahayu dan ikut menyeret tubuh ringkih itu menyusuri koridor marmer yang dingin.
Rahayu berontak, namun penglihatannya yang gelap membuatnya tidak berdaya melawan dua orang yang sedang kerasukan amarah itu.
Pintu besar mansion terbuka lebar. Hembusan angin kencang membawa masuk butiran air hujan yang dingin menusuk tulang. Tanpa belas kasihan, Andika dan Lilis menyeret Rahayu menuruni tangga teras hingga tubuh wanita itu mendarat di atas aspal jalanan depan mansion yang kasar.
BRAK!
Rahayu terbatuk, air hujan langsung membasahi seluruh pakaiannya dalam hitungan detik. Dingin yang ekstrem segera merambat ke sumsum tulangnya.
"Malam ini, tempatmu di sini!" teriak Andika di tengah deru hujan.
"Tidurlah dengan hujan ini agar otakmu yang licik itu jadi dingin! Jangan ada yang berani membukakan pintu untuknya sampai pagi!"
Lilis mencibir di balik punggung Andika, merasa puas melihat nyonya rumahnya kini bersimbah lumpur dan air hujan. Mereka berdua berbalik masuk dan mengunci pintu ganda yang kokoh itu dengan dentuman keras.
Rahayu meringkuk di depan pintu kayu raksasa itu. Tubuhnya menggigil hebat, giginya bergeletuk, dan kulitnya mulai membiru karena suhu yang merosot tajam.
Namun, di balik isak tangis yang tersamar oleh suara hujan, bibir Rahayu perlahan membentuk lengkungan tipis.
"Terima kasih, Mas..." bisiknya sangat pelan, hampir tak terdengar di antara gemuruh badai.
Ia membiarkan dirinya menderita malam ini. Ia membiarkan setiap memar di tubuhnya menjadi saksi bisu. Baginya, setiap rasa sakit adalah investasi. Di balik kegelapan matanya, Rahayu justru merasa jalan menuju kehancuran Andika semakin terang benderang.
Ia tahu, semakin kejam Andika memperlakukannya, semakin dalam lubang kubur yang digali pria itu untuk dirinya sendiri. Di dalam kegelapan malam yang dingin, Rahayu tidak sedang sekarat, ia sedang menunggu fajar yang akan membawa kehancuran bagi mereka yang ada di dalam sana.
Rahayu meringkuk kedinginan. Dua satpam suruhan Bu Citra yang sedang berjaga hanya mengamati Rahayu dengan tatapan tidak peduli dari pintu depan paviliun.
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏