Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3~ KAMU ADALAH PENYEMANGAT MAMA
Vano mempersilahkan Indri masuk ke ruangannya dan langsung menuntunnya menuju sofa. Membahas tentang perusahan mereka yang hampir dua tahun ini mendapatkan banyak keuntungan yang di peroleh semenjak perusahan mereka bergabung.
Bahkan tak jarang keduanya memenangkan banyak tender yang membuat beberapa pemilik perusahan lain nya menjadi iri pada mereka.
Selain itu, mereka juga membahas tentang strategi baru yang akan mereka gunakan untuk menarik perhatian supplier.
Setelah pembahasan selesai, keduanya mengobrol santai sejenak.
"Kalau akhir pekan ini kamu tidak sibuk. Aku ingin mengundang kamu untuk makan malam di rumahku," ujar Indri.
Vano terdiam. Memikirkan cara untuk menolak. Ia lebih baik menghabiskan waktunya di cafe dengan melihat Cinta daripada harus menerima ajakan makan malam dari Indri. Jujur saja ia tidak begitu menyukai kliennya satu ini. Selain cara berpenampilan nya yang tidak ia sukai, Indri juga terkesan ingin mendekatkan diri dengannya dan ia tidak nyaman untuk itu. Maka itulah ia berpesan pada Maura agar tidak memberikan nomor teleponnya pada wanita itu.
"Sayang sekali, akhir pekan ini aku ada acara keluarga." Akhirnya kalimat itu yang dipilih Vano.
Indri tampak kecewa, namun ia tetap berusaha tersenyum di depan Vano. "Oke, baiklah. Tapi lain kali kamu harus menerima ajakan ku."
Vano hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
Setelah Indri berpamitan pergi. Ia menelpon sekretarisnya untuk datang ke ruangannya.
"Ada apa, Pak?" tanya Maura.
"Duduk dulu." Vano mempersilahkan sekretarisnya itu untuk duduk.
Maura pun menarik kursi lalu duduk.
Vano menegakkan posisi duduknya. Keduanya tangannya ia letakkan di atas meja dengan saling menggenggam. Tatapannya berubah serius menatap sekretarisnya.
"Ternyata Cinta sudah punya anak."
Maura seketika nampak terkejut. Ia sama sekali tidak mengetahui hal itu. Saat dimintai sang bos untuk mencari pemilik KTP yang bosnya temukan di kamar hotel. Ia hanya berhasil menemukan dimana wanita itu bekerja, tapi tidak tahu dengan latar belakangnya.
"Apa Cinta sendiri yang mengatakan kalau dia sudah punya anak?" tanya Maura.
Vano mengangguk. "Anaknya sekitar berusia 1 tahun."
"Berusia 1 tahun?" Maura tampak berpikir. Apakah ini bukan sebuah kebetulan. Terhitung sejak kejadian yang dialaminya bosnya di luar kota saat itu, bukan tidak memungkinkan kalau anak itu berasal dari benih bosnya.
"Apa Pak Vano tidak curiga kalau itu adalah Anak Bapak?" tanya Maura. Selain Sean, ia adalah orang yang pertama kali mengetahui tentang kejadian itu sebab saat itu ia ikut menemani Vano dalam perjalanan bisnis ke luar kota.
"Aku juga sempat berpikir seperti itu." Vano menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya. Ia memejamkan mata sembari menekan pangkal hidungnya. Satu hal yang tidak ia mengerti. Kenapa Cinta bersikap seolah-olah tidak mengenalinya. Wajar jika ia yang tidak mengenali siapa wanita yang telah ia renggut kesuciannya. Saat itu ia berada dibawah pengaruh alkohol dan juga obat perangsang.
Saat tersadar ia sudah tidak menemukan siapapun lagi di sampingnya. Hanya tersisa bercak darah di sprei dan sebuah KTP yang tergeletak di lantai. Ia meyakini itu adalah milik wanita malang yang bernasib tragis di tangannya karena ulah seseorang yang berusaha menjebaknya.
Ia memiliki banyak sekali tugas yang belum terpecahkan. Belum selesai menemukan siapa orang yang telah berusaha menjebaknya. Di tambah dengan sikap Cinta yang seperti tidak mengenalinya sebagai orang yang telah merenggut kesuciannya. Dan yang lebih mengejutkan, fakta bahwa Cinta telah memiliki anak yang kemungkinan adalah darah dagingnya.
"Bagaimana kalau Pak Vano lakukan tes DNA dengan anak itu," saran Maura.
Vano membuka matanya. "Kamu benar, aku harus melakukan tes DNA." Kini yang harus ia pikirkan, bagaimana caranya agar dapat bertemu dengan anaknya Cinta dan diam-diam mengambil sampel DNA.
.
.
.
"Neng, ini ongkosnya kelebihan."
"Gak apa-apa, Pak. Anggap aja bonus untuk Bapak karena sudah jadi ojek langganan saya. Ojek lain belum tentu mau narik sampai tengah malam begini," ujar Cinta.
"Wah, terima kasih banyak, Neng. Kalau begitu saya langsung pamit."
Setelah tukang ojek langganannya itu telah pergi. Cinta pun meneriaki satpam untuk membukakan pagar. Teriakannya yang cukup kencang itu berhasil membangun satpam yang telah tertidur di pos.
Pak Amin bangun dengan kelabakan dan lari terbirit-birit menuju pagar. "Maaf, Non. Saya ketiduran," ucapnya setelah membuka pagar.
Cinta tersenyum. "Gak apa-apa, Pak. Justru saya yang minta maaf karena sudah ganggu Bapak lagi tidur." Ia kemudian menyerahkan sebuah plastik yang berisi kopi pada pak Amin.
Mata pak Amin seketika terang benderang mencium aroma kopi tersebut. "Terima kasih, Non."
"Sama-sama, Pak." Cinta pun melangkah masuk ke rumah. Ia terkejut kala melewati ruang tengah, suasana yang semula gelap tiba-tiba menjadi terang benderang.
Ia mematung di tempatnya berdiri kala tatapan tertuju pada mama Ratih yang berdiri di dekat sakral lampu. Mama tirinya itu menatapnya dengan tajam.
"Enak ya, seharian berada di luar dan pulang tengah malam. Meninggalkan anak di rumah. Kamu tahu kan, kalau Mbok Darmi itu asisten rumah tangga di rumah ini, bukan baby sitter!"
Cinta menarik nafas dalam-dalam. Memilih diam dan tidak membalas ucapan mama tirinya itu. Ia masih menghormati mama Ratih sebagai orang yang telah merawatnya sejak usianya 12 tahun kala itu.
"Kapan sih, kamu bisa sadar diri kalau keberadaan kamu dan anak haram kamu itu di rumah ini adalah aib!"
Cinta mengepalkan tangannya. "Jangan pernah sebut anakku dengan sebutan itu!" ucapnya nyaris membentak. Ia masih bisa tahan jika dirinya yang dihina. Tapi Laura, ia tidak akan terima.
"Selagi Papa belum mengusirku, aku dan anakku akan tetap berada di rumah ini." Setelah mengatakan itu, ia pun pergi meninggalkan mama tirinya yang terlihat kesal.
Cinta berjalan cepat menuju kamarnya. Setetes cairan bening merembes keluar dari sudut matanya. Ia paling tidak tahan jika mendengar ada yang menyebut Laura dengan sebutan anak haram. Baginya putrinya kecilnya itu suci, terlahir tanpa dosa.
Begitu membuka pintu kamar, tatapannya langsung tertuju pada putri kecilnya yang telah tertidur nyenyak bersama mbok Darmi. Ia pun melangkah masuk dan menutup pintu depan sangat pelan. Berjalan menuju tempat tidur kemudian duduk di sisi ranjang tepat di sebelah Laura.
"Mama kangen banget sama kamu, Nak. Kamu adalah penyemangat Mama." Ia menunduk, mengecup pelan pipi putrinya. Tak tega membangunkan mbok Darmi ia pun membiarkannya tidur bersama Laura. Wanita paruh baya itu juga pas kelelahan menjaga Laura sambil bekerja.
Ia pun membersihkan diri terlebih dahulu, kemudian memilih beristirahat di sofa. Sebelah alisnya terangkat begitu mengecek ponsel, ada notifikasi pesan masuk dari Stev. Ia pun membukanya.
"Kirim alamat kamu sekarang. Besok aku jemput, kamu gak perlu naik ojek lagi." Isi pesan Stev.