Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Ini rumah kita!
Cahaya matahari pagi menyelinap lewat tirai tipis kamar utama. Udara segar menyapa, menggantikan sisa keheningan malam. Hanum mengerjap pelan, matanya perlahan terbuka. Seketika ia membeku, ranjang besar yang semalam hanya ia duduki dengan canggung, kini menjadi tempatnya terbaring nyaman di samping Abraham.
Detik berikutnya, Hanum semakin terkejut ketika menyadari gaun maroon yang semalam ia kenakan telah berganti dengan baju tidur sutra sederhana berwarna pastel. Tangannya refleks meraba kain lembut itu, wajahnya memanas.
“A-apa…” bisiknya pelan, setengah sadar.
Tiba-tiba, suara berat itu terdengar di telinganya. “Akhirnya kau bangun juga.”
Hanum tersentak. Abraham sudah duduk menyandar di sisi ranjang, rambutnya sedikit berantakan, tapi justru membuatnya terlihat lebih menawan. Dia menatap Hanum dengan sorot mata teduh namun nakal, seolah tahu betul apa yang sedang berkecamuk di pikiran istrinya. Hanum buru-buru menunduk, menutupi wajahnya dengan selimut.
“M-mas … siapa yang mengganti pakaianku?”
Abraham tidak langsung menjawab. Dia justru mendekat, jemarinya menarik selimut itu perlahan hingga wajah Hanum kembali terlihat.
“Kalau bukan aku, siapa lagi? Kau tertidur pulas, dan aku tidak ingin kau sakit karena masih memakai gaun pesta semalaman.”
Wajah Hanum merona hebat. “Tapi … tapi Mas…”
Abraham mencondongkan tubuh, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. Bibirnya melengkung membentuk senyum samar. “Kenapa? Kau takut aku melakukan sesuatu yang berlebihan?”
Hanum menahan napas, jantungnya berdegup kencang, tapi ia mencoba menggeleng. “B-bukan begitu…”
“Lalu kenapa wajahmu merah sekali?” bisik Abraham tepat di telinganya. Suaranya rendah, dalam, dan membuat bulu kuduk Hanum meremang. Hanum buru-buru menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Mas jangan menggoda…”
Abraham terkekeh pelan, tawa itu jarang sekali terdengar, tapi pagi ini keluar begitu natural. “Aku hanya ingin melihat wajah istriku di pagi hari. Ternyata … lebih indah daripada yang kubayangkan.”
Hanum membeku, tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa begitu tulus hingga membuat hatinya bergetar. Abraham lalu meraih tangan Hanum, menurunkannya dari wajahnya, lalu menggenggamnya erat.
“Mulai sekarang, biasakan dirimu bangun di sisiku. Karena aku tidak berniat lagi tidur sendirian di kamar ini.”
Hanum menunduk, senyumnya samar tapi hangat. Ada rasa canggung, ada gugup, tapi juga ada bahagia yang tidak bisa ia sembunyikan. Keheningan sejenak menyelimuti mereka, hingga suara ketukan pintu terdengar.
“Tuan, Nyonya, sarapan sudah siap,” suara pelayan memecah momen.
Hanum cepat-cepat bangkit, wajahnya masih memerah. “Aku … aku harus bersiap.”
Abraham hanya menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Pergilah, tapi ingat, Hanum … malam ini dan seterusnya, kau tetap tidur di sini.”
Hanum hanya bisa mengangguk kecil, lalu bergegas masuk ke kamar mandi dengan hati berdebar. Sementara Abraham menatap pintu kamar mandi yang tertutup, senyum samar tidak hilang dari wajahnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa rumah ini benar-benar hidup.
Aroma roti panggang dan kopi segar memenuhi ruang makan keluarga Biantara. Abraham sudah duduk rapi dengan kemeja putih sederhana, tangannya memainkan sendok kecil di sisi cangkir kopinya. Wajahnya terlihat lebih santai dibandingkan biasanya, meskipun matanya sesekali melirik Hanum yang baru saja turun dari lantai atas.
Hanum mengenakan blus satin lembut berwarna biru muda, rambutnya diikat sederhana. Namun yang membuat Abraham terdiam sejenak bukanlah penampilannya, melainkan kenyataan bahwa wanita itu baru saja bangun dari kamar tidurnya, kamar mereka berdua.
Ada sedikit rasa canggung yang belum bisa mereka hapuskan. Semalam, Abraham meminta Hanum untuk tidur di kamarnya, dan pagi ini, Hanum masih teringat jelas bagaimana ia mendapati dirinya sudah berganti pakaian dengan baju tidur sutra lembut berwarna krem. Dia yakin sekali bukan dirinya yang mengganti, melainkan Abraham. Itu membuat pipinya terasa panas setiap kali mengingatnya.
“Selamat pagi,” sapa Hanum pelan sambil duduk di kursi seberang Abraham.
“Pagi.” Suara Abraham terdengar rendah, nyaris datar, namun ada sedikit senyum samar di sudut bibirnya. Dia menatap Hanum sebentar, lalu pura-pura sibuk dengan roti di piringnya. “Tidurmu nyenyak?”
Hanum menunduk, menyembunyikan wajahnya yang merona.
“Lumayan,” jawabnya singkat.
Belum sempat keheningan itu terpecah lebih lama, suara rengekan kecil terdengar dari kursi bayi di sudut ruang makan. Kevin, bayi mungil berusia tujuh bulan itu, tampak menggeliat dengan wajah merajuk. Matanya mencari sosok yang ia kenal.
“Kevin sudah bangun rupanya,” ujar Abraham sambil meletakkan sendoknya. Dia lalu bangkit dan menghampiri kursi bayi itu. Dengan penuh hati-hati, ia meraih tubuh mungil putranya. Namun begitu berada di pelukan Abraham, Kevin justru mengerutkan wajahnya dan mulai merengek lebih keras.
“Kevin…” Abraham mencoba menimang perlahan, tapi rengekan itu berubah jadi tangisan kecil. Si bayi menoleh ke arah meja, matanya langsung menatap Hanum. Tangannya terulur seakan meminta.
Hanum yang semula duduk kaku, spontan berdiri.
“Sepertinya dia ingin ke sini.”
Abraham menatap putranya lalu menoleh pada Hanum. Ada rasa tidak enak, sekaligus geli, melihat Kevin yang jelas-jelas lebih memilih ibu susunya. Dengan enggan, ia melangkah ke arah Hanum dan menyerahkan bayi itu.
Begitu Kevin berada di pelukan Hanum, tangisannya langsung berhenti. Bocah itu bahkan tersenyum kecil, lalu menggenggam kalung kecil yang tergantung di leher Hanum.
“Lihat? Dia lebih tenang bersamaku,” ucap Hanum sambil mengusap lembut rambut Kevin. Suaranya lembut sekali, membuat suasana meja makan seakan berubah hangat.
Abraham menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap keduanya. Dalam hatinya, ada sedikit rasa cemburu yang tak masuk akal. Bagaimana mungkin ia, sang ayah, tidak mampu menenangkan Kevin, sementara Hanum dengan sekali sentuhan saja berhasil membuat bayi itu diam.
“Kau benar-benar punya ikatan kuat dengannya,” gumam Abraham setengah berbisik, tapi masih terdengar jelas oleh Hanum.
Hanum menunduk, mencium kening Kevin. “Dia anakmu, Mas Bian. Tentu saja aku harus merawatnya dengan baik, itu sudah tugasku.”
“Tidak,” bantah Abraham cepat. Matanya tajam menatap Hanum. “Itu bukan hanya kewajiban, kau … memang cocok menjadi ibunya.”
Hanum terdiam, kata-kata itu sederhana, tapi begitu menancap di dadanya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Pipinya kembali merona, apalagi ketika Abraham terus menatapnya tanpa berkedip.
Untuk mengalihkan rasa canggung, Hanum duduk kembali sambil memangku Kevin. Ia mencoba menyuapi bayi itu dengan bubur kecil yang sudah disiapkan pengasuh, sementara Abraham hanya memperhatikan. Pemandangan itu terasa asing sekaligus menenangkan bagi Abraham.
Biasanya, ia selalu makan dalam keheningan, hanya ditemani suara sendok dan piring. Namun pagi ini berbeda. Ada suara Kevin yang terkekeh kecil, ada Hanum yang dengan sabar menyuapinya, dan ada perasaan aneh dalam dada Abraham, perasaan yang membuatnya tak ingin momen itu berakhir.
“Hanum,” panggil Abraham tiba-tiba.
Hanum mendongak, menatapnya. “Ya?”
Pria itu berdeham kecil, mencoba terlihat tenang. “Mulai hari ini, aku ingin kau selalu sarapan bersamaku … dan Kevin. Jangan lagi makan di kamar atau menunda, ini … rumah kita, kita keluarga.”
Hanum menatapnya lama. Ada ketegasan dalam suara Abraham, tapi juga kehangatan yang baru kali ini ia rasakan. Perlahan, Hanum mengangguk.
“Baik.”
Kevin menepuk-nepuk meja kecilnya seakan mengerti keputusan itu. Suara tawanya menggema, membuat Abraham akhirnya tersenyum lebih lebar. Untuk pertama kalinya, ruang makan itu terasa benar-benar hidup.
Hanum.bisa loh nakhlukin ranio
waspada Abraham
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏