NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:360
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 KETURUNAN DRAVEIL

Mereka terjatuh—lagi.

Kali ini di lantai batu keras yang terasa dingin seperti hati mantan. Satu per satu, Lyra, Kaelen, dan Arven bangkit sambil mengaduh pelan.

“Oke,” Kaelen meringis sambil memijat punggungnya. “Gue serius, siapa pun yang bikin sistem teleportasi di Aedhira ini harus dipecat.”

“Diam, Kaelen,” kata Arven cepat, matanya menyapu sekeliling.

Mereka berada di sebuah ruangan melingkar, seperti ruang bawah tanah sebuah menara. Dindingnya terbuat dari batu hitam, dan di tengah ruangan ada altar tua yang berlumur debu.

Lyra menatap simbol yang terukir di altar—simbol yang sama seperti yang dilihatnya di fragmen kristal: lingkaran diapit sayap, dan di tengahnya, mata satu.

“Simbol Raja Kelam...” gumam Lyra, menelusuri ukiran dengan jarinya.

Arven mengangguk. “Dan juga... simbol keluarga Draveil.”

Lyra membalikkan badan. “Tunggu. Maksudmu, ayahku—?”

“Adalah penjaga terakhir menara ini sebelum ia... menghilang,” Arven melanjutkan. “Auron Draveil bukan hanya petarung hebat, tapi juga salah satu dari sedikit penyegel.”

Kaelen bersandar pada dinding. “Oke, tunggu dulu. Jadi ayah Lyra itu semacam... penjaga pintu neraka gitu?”

“Lebih tepatnya, dia menjaga pintu agar tidak dibuka lagi,” jawab Arven serius. “Tapi ada yang membukanya. Dan kita terlambat menghentikannya.”

Sebelum ada yang bisa menjawab, altar mulai bersinar. Cahaya biru muda menyelimuti mereka, dan dari tengah altar muncullah sesuatu yang mengejutkan—sebuah buku.

Tua. Tebal. Dan jelas bukan dari dunia ini.

Lyra mendekat dan menyentuhnya. Saat jari-jarinya menyentuh sampul kulitnya, suara memenuhi ruangan—suara ayahnya.

“Lyra. Jika kau mendengar ini... berarti Aedhira dalam bahaya.”

Matanya membelalak. “Ayah...?”

“Kau adalah darah terakhir Draveil. Dan hanya kau yang bisa menutup gerbang yang kubuka demi melindungimu.”

Kaelen dan Arven saling pandang. “Dia buka apa?” tanya Kaelen, perlahan.

“Tapi aku gagal. Dan Raja Kelam bangkit kembali. Kau harus mencari tiga Pilar Cahaya. Hanya mereka yang bisa membentuk segel baru. Dan ingat, tak semua yang tampak sebagai musuh adalah lawan.”

Suara itu menghilang, dan buku itu terbuka sendiri. Di halaman pertama, tergambar tiga lokasi: Hutan Berbisik, Istana Beku di Utara, dan reruntuhan Kota Lirien.

“Petualangan kita baru aja mulai,” Kaelen menepuk bahu Lyra.

Arven menatap langit-langit batu di atas mereka. “Dan waktu kita makin sedikit. Jika Raja Kelam benar-benar bangkit... maka bukan cuma Aedhira yang hancur. Tapi seluruh dimensi yang terhubung dengannya.”

Lyra mengepalkan tangan. “Kita temukan ketiga pilar itu. Kita tutup gerbang itu. Dan kita pastikan... Aedhira tetap hidup.”

Dan dengan itu, mereka melangkah keluar dari Menara Astharel, ke dalam malam yang tak menjanjikan ampun—tapi penuh harapan.

Langit Aedhira mulai berubah. Dari biru kelam menjadi abu yang mencekam. Awan berarak cepat, seolah-olah terburu-buru menghindari sesuatu. Dan Lyra bisa merasakannya—tekanan itu. Ketakutan purba yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

Mereka bertiga berjalan meninggalkan menara, menyusuri jalan setapak tua yang tertutup akar dan rerumputan liar. Angin meniupkan suara-suara aneh dari dalam pepohonan, seperti bisikan yang mencoba menarik mereka kembali.

"Tempat ini... sumpah, vibes-nya horor banget," gumam Kaelen sambil menggenggam pedangnya lebih erat. "Nggak heran nggak ada yang berani lewat sini. Gue juga ogah sih kalau bisa milih."

Lyra menahan senyum. Meski suasananya menyeramkan, ucapan Kaelen sedikit membantu mengurangi kecemasan yang mendera sejak mendengar suara ayahnya.

Arven, seperti biasa, tetap tenang dan fokus. “Hutan Berbisik ada di timur laut. Tapi kita harus melewati lembah di depan terlebih dahulu. Dulu tempat itu digunakan sebagai tempat pelatihan penyihir, sekarang... yah, jadi sarangnya makhluk-makhluk buangan.”

Lyra mengangkat alis. “Makhluk buangan?”

“Yup,” jawab Arven santai. “Yang gagal berevolusi, dikutuk, atau cuma... terlalu berbahaya buat dilepas ke dunia luas.”

“Fun,” komentar Kaelen pendek. “Bener-bener tamasya yang menyenangkan. Kapan kita ke pantai aja gitu?”

Tawa Lyra lepas. Rasanya lama sekali sejak ia bisa tertawa seperti ini.

Namun tawa mereka tak bertahan lama. Begitu memasuki lembah, mereka merasakan hawa yang berbeda—dingin, basah, dan... menyengat. Kabut tipis menyelimuti jalan, dan di kejauhan, terdengar suara gemeretak seperti tulang yang digesekkan.

Lyra menggenggam hilt belatinya. “Kalian denger itu?”

Kaelen berhenti. “Gue lebih milih nggak denger, sih.”

Dari balik kabut, sesosok makhluk muncul. Tingginya lebih dari dua meter, tubuhnya kurus seperti tulang dibungkus kulit abu. Matanya kosong, tapi penuh haus.

Arven mencabut pedangnya. “Silphra. Pemangsa jiwa.”

Lyra mematung. Tapi hanya sedetik. Saat makhluk itu melompat, ia menunduk, lalu menebas dengan cepat. Darah hitam muncrat, dan makhluk itu jatuh mengerang.

“Not bad,” komentar Arven.

Lyra tersenyum tipis. “Gue belajar dari yang terbaik.”

Namun mereka belum sempat bernafas lega. Dari balik pepohonan, muncul lima lagi.

Kaelen mengumpat. “Ya ampun. Ini sih nggak adil. Gue baru aja nyantai satu menit!”

Pertarungan pun pecah. Dan meski tubuh Lyra gemetar karena takut, ada bagian dalam dirinya—yang makin kuat tiap kali ia berhadapan dengan kegelapan. Bagian itu, ia sadari, adalah bagian dari darah Draveil.

Setelah pertarungan melelahkan, mereka akhirnya duduk terengah di antara tubuh-tubuh makhluk itu yang mulai berubah menjadi abu.

“Kalau setiap tempat kayak gini, kita butuh vitamin ekstra kayaknya,” ujar Kaelen, terbaring di tanah.

Arven bangkit. “Kita nggak bisa lama-lama di sini. Tempat ini menarik perhatian.”

Mereka kembali berjalan, kali ini lebih cepat. Dan saat malam menjelang, mereka tiba di pinggiran Hutan Berbisik. Di kejauhan, pohon-pohon raksasa berdiri seperti penjaga bisu, dan suara angin di antara dedaunannya seperti... suara tawa.

Lyra menatap hutan itu dengan rasa campur aduk.

“Jadi... kita benar-benar ke sana?”

Arven menatapnya balik. “Jika ingin menemukan Pilar pertama—iya. Dan kalau kau ingin tahu siapa kau sebenarnya... jawabannya juga ada di sana.”

Lyra menggenggam bukunya lebih erat. Ia mengangguk.

“Kalau begitu, ayo kita mulai.”

Dan dengan langkah mantap, mereka melangkah masuk ke dalam Hutan Berbisik—tempat di mana bayangan memiliki mulut, dan pohon bisa menyimpan rahasia.

Langkah pertama Lyra memasuki Hutan Berbisik rasanya seperti melewati tirai tak terlihat. Suara di belakangnya—angin, burung, daun yang bergesek—seketika lenyap. Yang tersisa hanyalah keheningan. Tapi bukan keheningan damai... ini keheningan yang bikin bulu kuduk berdiri. Kayak lagi masuk kamar gelap dan ngerasa ada yang ngeliatin.

"Ini... creepy-nya 9 dari 10," bisik Kaelen sambil menyalakan bola api kecil di telapak tangannya. "Satu lagi baru gue nyebut ini neraka."

"Jangan terlalu bersinar," kata Arven cepat. "Beberapa makhluk di sini tertarik pada cahaya... dan suara... dan bau ketakutan."

"Great. Gue lagi keringetan dingin juga nih," Kaelen cemberut.

Lyra menatap sekeliling. Pohon-pohon di sini besar—benar-benar besar. Batangnya selebar rumah, dan akarnya menjalar ke mana-mana seperti urat nadi raksasa yang mencengkeram bumi. Beberapa di antaranya seperti punya wajah. Dan dia bersumpah, tadi salah satu pohon sempat bergerak... sedikit.

“Lyra,” Arven memanggil pelan. “Jangan menatap pohon terlalu lama. Mereka bisa... membisikimu balik.”

“Hah?” Lyra menoleh, heran. Tapi begitu ia ingin bertanya, Kaelen menepuk pundaknya.

“Gue juga nanya hal yang sama. Trust me, better not.”

Perjalanan di hutan itu seperti berjalan dalam mimpi buruk. Setiap beberapa langkah, mereka merasa seolah diputar ke arah yang sama. Batu yang sama. Ranting yang sama patah di tempat yang sama. Seolah-olah hutan itu mempermainkan arah.

"Apa kita... nyasar?" tanya Lyra, ragu-ragu.

Arven berhenti. “Kita memang tidak nyasar. Tapi kita sedang diuji.”

Dan saat itulah, pohon-pohon mulai berbisik. Suaranya seperti jutaan suara dalam kepala Lyra, datang bersamaan—keras, tapi tidak jelas. Seolah setiap pohon menyampaikan kenangan, kesedihan, kemarahan, dan ketakutan yang mereka simpan selama berabad-abad.

Kaelen menutup telinganya. "Ini... ini kayak dosen ngomel di kepala gue nonstop!"

Lyra jatuh berlutut. Suara itu makin kuat. Ia mendengar ibunya... menangis. Mendengar suara ayah yang belum pernah ia kenal, membisikkan sesuatu tentang pengkhianatan dan darah.

“LYRA!”

Tiba-tiba suara Kaelen terdengar jernih. Ia menggenggam bahunya dan menggoyangnya.

“Fokus! Itu cuma ilusi suara!”

Lyra menggeleng cepat. Nafasnya terengah. “Aku... aku hampir percaya semua yang mereka katakan…”

Arven menghunus pedangnya. “Itu tujuannya. Hutan ini dirancang untuk menyesatkan keturunan Aedhira. Tapi kau bisa melawannya.”

Lyra berdiri. Pelan, tapi mantap. Ia menatap sekeliling.

“Kalau mereka bisa berbisik, aku juga bisa jawab balik, kan?”

Tanpa menunggu, Lyra meletakkan tangannya pada batang pohon terbesar. Arven hendak menghentikannya, tapi terlambat.

Pohon itu menggema. Suara dalam kepalanya kini lebih dalam, dan lebih terarah.

"Anak Auron Draveil... mengapa kau datang?"

Lyra menjawab dalam hati. "Aku ingin tahu... siapa aku sebenarnya."

Ada keheningan panjang. Lalu, suara itu menjawab.

"Kau adalah awal dan akhir. Warisan yang terpecah. Cahaya dan kelam dalam satu darah."

Tiba-tiba, akar-akar di tanah bergerak, membentuk jalur yang bersinar redup ke arah timur. Pohon-pohon itu seolah membuka jalan.

Kaelen melongo. “Oke, ini sih baru keren banget.”

Arven mengangguk pelan. “Mereka menerima dia. Itu berarti... kamu benar-benar keturunan sah Auron.”

Lyra menggenggam lengan kirinya. Rasanya panas. Ia menengok, dan melihat simbol berbentuk spiral menyala di bawah kulitnya.

"Bukan cuma kata-kata," bisiknya. "Mereka menandai aku."

Dan di kejauhan, sebuah cahaya muncul. Pilar pertama, tujuan mereka... sudah dekat.

Langkah Lyra semakin mantap saat mereka mengikuti jalur akar bersinar itu. Rasa lelah di kakinya tetap ada, tapi sekarang hatinya terasa sedikit lebih... ringan. Mungkin karena untuk pertama kalinya, ia merasa punya arah. Punya tujuan.

Di sampingnya, Kaelen masih waspada, bola api kecil menari-nari di jarinya, seolah bersiap kalau ada makhluk random keluar dari balik pohon dan bilang, “Boo!”

“Nggak bisa bohong, tempat ini masih vibes-nya kayak film horror,” gumamnya. “Tapi setidaknya sekarang kita nggak nyasar lagi.”

Arven berjalan paling depan, aura dinginnya semakin tebal. Entah kenapa, setiap kali Lyra menatap punggungnya, ada sesuatu yang terasa... familiar. Tapi bukan familiar yang nyaman. Lebih ke... seperti kenangan lama yang kamu simpan di laci, lalu tiba-tiba jatuh sendiri.

“Kita hampir sampai,” katanya tanpa menoleh. “Pilar itu... menyimpan jawaban pertama tentang asal usulmu.”

Lyra menarik napas. Ia belum siap, tapi kapan pun juga, rasanya memang nggak akan pernah benar-benar siap.

Tak lama kemudian, hutan terbuka. Mereka tiba di sebuah area melingkar, seperti amfiteater alami, dengan sebuah monolit tinggi berdiri di tengah. Pilar itu terbuat dari batu hitam mengkilap, dengan urat emas yang berdenyut pelan—seperti jantung.

“Wow,” Kaelen melongo. “Ini bukan cuma batu, kan?”

“Ini ingatan,” jawab Arven pelan. “Batu ini menyimpan jejak masa lalu. Khusus untuk darah Draveil.”

Lyra menelan ludah. “Jadi... aku harus nyentuhnya?”

Arven mengangguk. “Dan bersiaplah melihat apa pun yang disimpan di dalamnya. Termasuk kebenaran yang mungkin... menyakitkan.”

Kaelen langsung gelisah. “Kalau mulai keluar adegan berdarah, kasih kode ya. Gue siap tutup mata.”

Dengan tangan sedikit gemetar, Lyra melangkah maju dan meletakkan telapak tangannya di permukaan pilar.

ZRAK!

Kilatan cahaya menyambar dari dalam batu, lalu merambat ke seluruh tubuh Lyra. Matanya membelalak—dan tiba-tiba, semuanya menghilang.

 

Ia berdiri di tengah sebuah aula istana.

Auron Draveil—ayahnya—berdiri di sana. Gagah, mata tajam, rambut perak. Tapi ekspresinya... penuh konflik. Di depannya, ada seorang perempuan cantik, penuh luka dan air mata—ibu Lyra.

"Aku mencintaimu," kata Auron, suaranya parau. "Tapi aku terikat sumpah. Jika Dewan tahu tentang keberadaanmu... mereka akan menghancurkan semuanya."

Ibu Lyra menatapnya dengan mata tajam. “Kau pengecut.”

Dan lalu—adegan berubah. Kilat-kilat peperangan. Darah. Auron membakar seluruh ruangan dengan kekuatan sihir kelamnya. Tapi dalam satu momen, ia melindungi seorang bayi kecil—Lyra—dan berteriak kepada seorang penjaga,

“Bawa dia ke dunia manusia! Jangan biarkan mereka menemukannya!”

Adegan terakhir: Pilar hancur. Darah. Auron jatuh berlutut. Mata merah menyala di sekelilingnya—siluet para Raja Kelam.

 

Lyra terlempar kembali ke tubuhnya. Ia terengah, tubuh gemetar.

Kaelen langsung menangkapnya sebelum jatuh. “Whoa—lo oke?”

Lyra mengangguk pelan. “Aku... lihat semuanya. Ayahku. Ibuku. Mereka bukan seperti yang aku kira.”

Arven berdiri kaku. “Jadi... kau tahu siapa dirimu sekarang?”

Lyra memandang kedua telapak tangannya. Energi masih berdenyut dari kulitnya.

“Bukan cuma putri Auron. Aku... bagian dari dua dunia. Dan aku nggak bakal lari lagi.”

Dan entah dari mana, langit di atas mereka perlahan terbuka—seberkas cahaya turun dan membentuk simbol Draveil di tanah. Pilar Pertama... telah diaktifkan.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!