NovelToon NovelToon
Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Light Novel
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: nazeiknow

Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.

Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.

Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.

Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.

Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 9: Serangan di Lembah Kematian

Pagi itu....

di Lembah Kematian...

terlihat damai meski penuh dengan aura yang menakutkan. Langit cerah memancar dari antara pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Suara aliran air sungai yang menenangkan memenuhi udara, sementara api unggun yang semalam masih membara kini sudah padam, meninggalkan bekas abu yang sudah dingin.

Di bawah langit biru yang mempesona, Oiko terbangun dari tiduran di dekat api unggun. Matanya masih setengah terpejam, tapi rasa kantuk mulai menghilang. Ia mengusap wajahnya, mengeluarkan suara mengantuk, dan mendongak melihat sekitar.

"Huaaaaah…," gumamnya pelan sambil memandang ke sekitar. "Inilah yang disebut Lembah Kematian? Tapi... kok..."

Oiko melongo. Sesuatu terasa aneh di tengah kedamaian itu. Dari semak-semak di sebelahnya, terdengar suara "srek-srek" pelan, seperti ada sesuatu yang bergerak.

"Oy, apa itu?" ujar Oiko, mencoba untuk bangun perlahan.

Dia melihat Rinya dan Mikami yang masih tidur, tidak terganggu oleh suara apapun. Oiko sedikit khawatir, tapi rasa penasaran lebih besar. Dia mengarahkan pandangannya ke semak-semak tempat suara itu berasal.

Tiba-tiba, dari balik semak-semak muncul segerombolan burung yang terbang keluar dengan kepakan sayap keras. Namun, itu bukan hanya burung. Sebuah makhluk besar mulai keluar dari semak-semak dengan langkah yang berat.

Raksasa banteng bertanduk itu berjalan dengan dua kaki seperti manusia, tubuhnya kekar dan besar. Mata Oiko membelalak.

"Banteng?!" teriak Oiko terkejut. "Tapi... kenapa dia jalan dua kaki?"

Tapi itu bukan satu-satunya yang membuat Oiko terkejut. Raksasa banteng itu membawa sebuah palu besar yang terbuat dari batu. Palu itu tampak berat, lebih besar dari tubuh Oiko sendiri. Makhluk itu mengangkat palu dengan gerakan lambat namun pasti, dan kemudian mengayunkannya ke atas.

Oiko merasakan bahaya datang, tubuhnya bergerak reflek untuk menghindar. Mata banteng itu menyala merah, terlihat marah karena serangannya meleset.

"Oiko!" teriak Mikami tiba-tiba, terbangun karena suara gaduh, tapi terlalu terlambat untuk membantu.

Banteng itu, marah karena serangannya gagal, menghantamkan palu itu lagi dengan brutal, kali ini lebih cepat dan kuat. Oiko, dengan gerakan super cepat, menghindar lagi, namun palu batu itu menghantam tanah dengan keras, menimbulkan retakan besar yang menyebar di sekitar mereka.

Tanah di sekitar Oiko bergetar. Oiko menahan napas, matanya fokus pada gerakan banteng itu. Setiap kali banteng itu menginjak tanah, tanah di sekitarnya menghentak dengan suara seperti dentuman.

Puncak emosi banteng itu mulai meledak. Hidungnya mengeluarkan uap panas, napasnya terdengar berat. Ia melompat tinggi, bersiap untuk menghantamkan palu besar itu dengan kekuatan penuh. Oiko, dengan kecepatan luar biasa, menghindar sekali lagi, kali ini lebih cepat dari sebelumnya.

Palu besar itu meluncur ke tanah dengan kecepatan yang mengerikan, dan ketika palu itu menghantam tanah, retakan tanah yang lebih besar muncul. Tanahnya pecah, menciptakan kubah besar yang mengarah ke sungai, dan sedikit demi sedikit air dari sungai mengalir masuk ke dalam kubah tersebut.

Oiko merasa saat itu, waktu terasa melambat. Ia berlari ke sisi lain, berusaha menghindari lebih banyak kerusakan dari serangan berikutnya. Raksasa banteng itu bersiap lagi, matanya semakin merah marah.

Tapi... saat Oiko melihat tanah yang retak, ia sadar. Air dari sungai mulai mengisi retakan itu, membentuk kubah yang semakin besar.

“Ini tidak bagus,” gumam Oiko, menyadari betapa berbahayanya situasi mereka.

Rinya dan Mikami akhirnya bangun, melihat kekacauan yang terjadi. Rinya masih kebingungan, sedangkan Mikami cepat mengamati kondisi.

“Oiko, kita harus segera keluar dari sini!” teriak Mikami, dengan nada panik.

Oiko menatap banteng yang semakin brutal, kemudian melihat ke arah air yang terus masuk ke dalam kubah. Tanah mulai menggeliat, air itu mengalir deras ke dalam lubang, dan kubah tanah itu hampir penuh.

Dengan refleks super cepat, Oiko berlari untuk menghindari serangan-serangan berikutnya. Banteng itu sudah terlanjur emosi dan menyerang tanpa ampun, menghantam dengan palu yang hampir menghancurkan segalanya.

“Ini… tidak bisa dibiarkan!” teriak Oiko, memutuskan untuk bertindak.

Dengan satu lompatan besar, Oiko berusaha mendekati banteng itu, menghindari palu yang semakin besar dan kuat.

Namun, saat palu batu itu menghantam tanah sekali lagi, bentuk kubah itu semakin mengancam. Air dari sungai terus mengalir ke tanah, dan Oiko tahu mereka harus segera mencari cara untuk keluar.

“Lari! Arahkan ke hutan!” teriak Oiko, berharap itu menjadi jalan keluar.

Dengan kecepatan tinggi, mereka berlari menuju hutan, berusaha menghindari serangan-serangan yang terus datang dari makhluk banteng itu, sambil mencari tempat yang lebih aman sebelum semuanya benar-benar hancur...

...

Langkah mereka bergemuruh di antara hutan lebat.

Oiko Rinya, dan Mikami berlari sekencang mungkin, napas mereka terengah-engah. Di belakang mereka, terdengar suara pohon-pohon tumbang satu demi satu. Sosok raksasa banteng bertanduk dua bertubuh kekar dan berjalan tegak seperti manusia terus mengejar, menghancurkan semua yang menghalangi jalannya.

"AAAAAAH! Dia masih ngejar!" jerit Rinya panik, sambil menoleh ke belakang.

Mikami, yang berlari paling belakang, tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya serius, matanya tajam. "Aku gak bisa biarin dia terus ngejar kita!"

Ia mengangkat tangannya ke depan, dan dalam sekejap, puluhan pedang air tercipta, melayang di udara seperti rudal. Kilatan biru air itu memantul cahaya matahari pagi, lalu—

"SERANG!!!" Mikami menghentakkan tangannya.

Pedang-pedang air itu meluncur ke arah banteng, seperti jet air super tajam. Banteng itu mengangkat tangan kirinya, mencoba menangkis. Namun, air tajam itu memotong kulit dan dagingnya, menciptakan luka menganga.

"RAAAAAAAAAAAAAAH!!!" raung banteng itu memecah keheningan hutan. Burung-burung beterbangan dari atas pepohonan, menciptakan suasana kacau penuh teror.

Namun meski terluka, banteng itu justru makin buas. Ia menunduk rendah, lalu menerjang Mikami dengan kecepatan mengejutkan.

"Mikami! Awas!!" teriak Oiko dari belakang.

Mikami berusaha melarikan diri, tapi langkahnya tertinggal. Banteng itu nyaris mengayunkan palunya dari belakang. Oiko menoleh dan melihat situasi genting itu. Wajahnya menegang.

"Aduh, bego! Mikami hampir kegeprek!"

Tanpa pikir panjang, Oiko mengangkat tangannya. Energi misterius memancar dari telapak tangannya. “Humanizer!!” teriaknya.

Seketika, aura aneh mengelilingi tubuh banteng. Gerakannya melambat. Otot-otot kekarnya menyusut. Matanya yang merah berubah menjadi bingung dan kosong. Tubuh raksasa itu perlahan mengecil, menjadi sosok makhluk banteng biasa, yang kini hanya berdiri terpaku dengan ekspresi bodoh.

Oiko menghela napas berat. "Huff… berhasil…"

Seketika muncul pesan dalam benaknya:

[Skill didapat: Pukulan Terkuat]

Tapi sebelum bisa bersorak, ia mendengar isakan. Mikami terduduk di tanah, wajahnya pucat, tubuhnya gemetaran.

“A… aku… hampir dipukul...” bisiknya sambil menangis.

Oiko segera menghampirinya, berlutut dan menepuk pundaknya. “Udah nggak apa-apa, dia udah jinak... lihat,” katanya lembut sambil menunjuk ke arah makhluk banteng yang kini hanya berdiri kikuk, tidak berdaya.

Sementara itu, Rinya masih terus berlari. Dia terlalu panik, terlalu takut untuk menoleh ke belakang. Di kepalanya, hanya ada satu pikiran: Aku harus menjauh, menjauh dari monster itu!

“OIIIIII! RINYAAAAA!!” teriak Oiko sekencang mungkin.

Rinya akhirnya menghentikan langkahnya. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Perlahan ia menoleh ke belakang… dan menyadari tidak ada lagi banteng mengejar.

“Eh…?”

Ia memicingkan mata, lalu melihat sosok Mikami yang terduduk, dan Oiko yang melambai-lambaikan tangan ke arahnya.

“Dia udah gak ngejar?” gumamnya, masih tidak percaya.

Rinya langsung membalikkan badan dan berlari kembali ke arah mereka. Wajahnya menyesal, tubuhnya lelah, tapi dia tahu: aku ninggalin mereka… dan aku harus kembali.

“Maaf… aku takut banget,” katanya begitu tiba di hadapan mereka. Air mata tipis terlihat di sudut matanya.

Oiko hanya tersenyum tipis. “Gak apa-apa. Sekarang kita bareng lagi. Tapi kita harus pergi dari sini… sebelum ‘teman-temannya’ dateng.”

Mereka bertiga pun berdiri. Meski masih gemetar, Mikami mengangguk. Mereka berjalan perlahan, meninggalkan bekas pertempuran itu, bekas luka, air mata, dan satu pelajaran berharga: mereka harus saling menjaga, atau Lembah Kematian akan menjadi akhir perjalanan mereka...

1
Protocetus
jika berkenan mampir ya ke novelku Frontier
HarusameName
bukan hasil AI 'kan, ini?
HarusameName: Narasinya bagus, loh! Nice work.
nazeiknow: kalau ga libur up chapter nya per hari "Minggu"
total 4 replies
nazeiknow
JANGAN LUPA LIKE TEMAN BIAR SAYA LEBIH SEMANGAT MENULIS CERITA INI KALAU BISA LOVE LOVE DI PENCET 😉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!