NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cemburu

Langit malam menggantung tenang di atas taman kerajaan, dihiasi bintang-bintang yang bertabur seperti serpihan perak di atas beludru hitam. Angin berembus lembut, membawa aroma dedaunan basah dan bunga yang baru saja mekar. Di kejauhan, air mancur kecil memercik pelan, seolah berusaha menenangkan alam yang sunyi. Taman itu sepi, hanya diterangi lampu-lampu gantung dari besi tempa dan nyala obor yang berkedip pelan.

Maxime berdiri di pinggir jalur berbatu, membelakangi istana. Di antara jari-jarinya, sebatang rokok panjang dari daun tembakau kering terbakar perlahan, mengeluarkan asap tipis yang menguar ke udara. Satu-satunya ketegangan di wajahnya hanyalah dari benaknya sendiri—bekas-bekas kemarahan yang belum reda sepenuhnya usai interogasi di penjara.

Ia mengangkat tangan dan menghisap rokok itu perlahan. Api merah menyala singkat di ujungnya, memantulkan cahaya pada mata tajamnya yang kini tampak jauh lebih lelah daripada marah.

Lalu langkah halus terdengar dari arah sisi taman. Gaun pelayan menyapu jalur bebatuan, disertai aroma bunga malam yang samar namun mudah dikenali.

Seseorang berhenti di samping Maxime.

“Anda sendirian?” suara itu lembut, hampir seperti bisikan yang disengaja untuk tak mengejutkan.

Maxime menoleh sekilas, dan matanya bertemu dengan sosok yang sudah dikenalnya sejak lama.

Selene.

Rambutnya tergerai anggun, dan senyuman samar bertengger di sudut bibirnya. Ia tampak tenang, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang lain.

Maxime tidak menjawab. Pria itu bahkan tak menoleh, hanya kembali mengangkat rokok ke bibirnya dan menghembuskan asap tipis ke udara malam. Seolah angin dan api lebih layak diajak bicara daripada perempuan yang berdiri di sampingnya.

Selene tak bergerak. Ia tetap berdiri anggun dengan kedua tangan terlipat di depan, menyembunyikan jemari yang diam-diam mengerat.

Ia tersenyum tipis. Senyum yang tidak benar-benar sampai ke matanya.

“Aku sering berpikir… bagaimana perasaan seseorang ketika ia mulai dilupakan. Bukan karena ia berbuat salah, tapi karena waktu dan keadaan membuatnya tampak tak lagi penting.”

Ia menghela napas pelan, pandangannya lurus ke taman, bukan ke Maxime.

“Dulu, aku bisa membaca perasaanmu lewat caramu memandangku. Tatapanmu selalu tenang, tapi ada sesuatu di sana… perhatian, atau setidaknya rasa peduli. Tapi sekarang…” ia berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis, “Sekarang kau bahkan tak sudi menatapku.”

Suara Selene masih tenang, namun ada nada getir samar.

“Aku tahu dunia ini berubah cepat. Tapi aku hanya tidak menyangka bahwa perubahanmu juga… secepat itu. Kau dulu menjagaku, Maxime. Bahkan ketika seluruh istana menganggapku tak lebih dari pelayan biasa, kau adalah satu-satunya yang membuatku merasa… berharga.”

Ia melirik Maxime, mencoba menangkap reaksi sekecil apa pun dari wajah dingin itu.

“Tapi sekarang… kau menjaga wanita lain. Kau melindunginya dengan cara yang bahkan tak pernah kau tunjukkan padaku. Dan bukan hanya itu. Kau… mencintainya.” Suaranya melembut, nyaris tak terdengar. “Secepat itu.”

Ada jeda, sebelum ia kembali berkata pelan, namun lebih menusuk,

“Aku tak menyalahkanmu. Hati memang sulit diatur. Tapi kau bisa memberitahuku lebih dulu… bahwa aku sudah tak lagi berarti. Bukan membuatku menggantung dalam diam dan tatapan kosong.”

Selene akhirnya menoleh penuh, menatap Maxime dari samping.

“Kau berubah, Maxime. Dan aku hanya bertanya-tanya… apakah perubahan itu karena kau akhirnya menemukan cinta? Atau… karena kau sedang berusaha lari dari rasa bersalahmu selama ini?”

Ia tersenyum tipis. Bukan senyum manis—tapi senyum seseorang yang menyimpan luka, sekaligus rencana.

Lalu ia melangkah sedikit mendekat, suaranya merendah, namun nada bicaranya mulai berubah—lebih menusuk.

“Karena jika itu tentang cinta…” katanya pelan, “aku tak tahu sejak kapan cinta bisa muncul dari seseorang seperti dia.”

Tatapan Selene bergerak, menatap taman yang gelap, lalu kembali ke Maxime. “Vivienne—bahkan jika dia tampak lebih tenang sekarang—apa kau benar-benar percaya bahwa seseorang bisa berubah begitu cepat? Dari wanita yang kejam, pencemburu, penuh ambisi… menjadi ‘malaikat penyelamat’ hanya dalam hitungan minggu?”

Ia terkekeh pelan, namun tak ada tawa dalam matanya.

“Aku mengerti jika kau terluka oleh masa lalu. Aku tahu betapa dalamnya lukamu saat dipaksa menikah dengan seseorang seperti dia. Tapi bukankah justru itu artinya kau seharusnya lebih waspada? Bukannya langsung… jatuh lagi ke perangkap yang sama?”

Senyumnya melebar, manis di permukaan—tapi tajam seperti pecahan kaca di dalamnya.

“Aku mengenalmu, Maxime. Kau bukan pria bodoh yang mudah diperdaya oleh kata-kata manis atau air mata palsu. Tapi akhir-akhir ini… kau terlihat seperti seseorang yang sedang dibutakan.”

Selene menyilangkan tangan pelan di depan dadanya, lalu berkata pelan namun tegas, seolah memberikan ‘peringatan’ dengan balutan kepedulian:

“Aku tak ingin kau terluka lagi karena percaya pada orang yang salah. Terutama seseorang… yang pernah kau benci lebih dari siapa pun.”

Ia menunduk sedikit, suaranya turun menjadi bisikan lembut, “Aku hanya tak ingin kau menyesal nanti, saat semuanya sudah terlambat.”

Lalu ia diam. Memberi ruang pada kata-katanya mengendap. Menunggu reaksi Maxime—atau lebih tepatnya, berharap Maxime ragu. Meski hanya sedikit.

Angin malam berembus pelan, namun terasa dingin menyusup ke sela-sela keheningan setelah kata-kata Selene selesai meluncur. Maxime masih berdiri membelakanginya, mengisap rokok terakhirnya hingga bara merah nyaris menyentuh jari. Lalu, ia membuangnya ke tanah, menghentakkan ujung sepatunya perlahan.

“Sudah selesai?” tanyanya datar.

Suara itu tak keras, namun nadanya dingin dan penuh tekanan. Mata Maxime perlahan beralih menatap Selene, dan kali ini… tidak ada sisa kelembutan di dalamnya.

“Pertama,” ucap Maxime pelan namun tajam, “jangan pernah lagi menyebut namaku atau nama istriku tanpa menyematkan gelar yang pantas. Kau pelayan. Dan bukan hanya pelayan… kau adalah orang asing yang secara kebetulan kutolong. Tidak lebih.”

Suara Maxime meninggi sedikit, tidak berteriak, tapi cukup menusuk. “Ratu negeri ini adalah Vivienne Seraphielle d’Aurenhart. Seorang Permaisuri. Dan aku—Kaisar Maxime Théo Leclair d’Aragon. Kau lupa diri.”

Tatapannya menajam. “Kau seharusnya bersyukur masih bisa tinggal di istana ini. Kalau aku tak menyelamatkanmu dari jalanan itu waktu itu, mungkin tubuhmu sudah jadi bangkai dingin di gang belakang distrik utara.”

Selene menggigit bibir bawahnya, namun Maxime belum selesai.

“Dan tentang perhatian yang pernah kuberikan padamu…” ia tersenyum tipis, tapi senyum itu bukan karena senang—melainkan penuh sindiran. “Kau tahu kenapa aku dulu memperhatikanmu, Selene?”

Selangkah Maxime mendekat, dan sorot matanya menekan.

“Karena aku sedang melarikan diri dari perasaanku sendiri. Perasaan benci yang kupendam terlalu dalam pada Vivienne… bukan karena dia sendiri. Tapi karena ayahnya. Karena perjodohan yang dipaksakan. Karena aku merasa terjebak oleh keluarga Aurenhart.”

Suaranya merendah namun terasa jauh lebih berat. “Tapi sekarang aku tahu… yang kuanggap sebagai musuh bukanlah Vivienne. Dia hanya gadis yang dibentuk oleh luka. Luka yang sama seperti yang kumiliki.”

“Dia berubah, ya. Dan tidak… aku tak membutakan diri.” Maxime menatap lurus ke mata Selene. “Karena aku melihat perubahan itu terjadi dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihat bagaimana dia menyelamatkan nyawa, bahkan ketika nyawanya sendiri terancam. Aku melihat bagaimana dia memilih diam saat dihina, tetap berdiri ketika dijatuhkan, dan tetap mencinta ketika tak diberi cinta.”

Napas Maxime kini sedikit berat, namun nadanya tetap tegas.

“Kau bertanya kenapa aku berubah? Karena aku bukan pengecut yang akan terus bersembunyi di balik kebencian masa lalu. Aku memilih berhenti jadi pengecut dan memulai sesuatu yang benar—bersama wanita yang layak.”

Ia menatap tajam ke arah Selene untuk terakhir kalinya.

“Jadi jika kau masih ingin hidup, jaga sikap dan kata-katamu. Jika tidak… aku akan dengan senang hati mengingatkanmu di mana seharusnya tempat seorang pelayan yang tak tahu diri berada.”

Maxime membalikkan tubuhnya, niatnya hanya untuk meninggalkan taman dan segala percakapan memuakkan yang baru saja terjadi. Namun langkahnya terhenti tiba-tiba.

Pandangan matanya membeku.

Tak jauh dari sana—cukup dekat untuk melihat, cukup jauh untuk tidak sengaja mendengar sepenuhnya—seorang wanita berdiri diam dalam balutan gaun malam berwarna biru keabu-abuan. Rambutnya terurai, dan wajahnya tampak samar tertutup bayangan pepohonan dan cahaya bulan.

Vivienne.

Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang menyayat.

Maxime menahan napas sejenak. Matanya mencoba membaca raut wajah istrinya itu—apakah ia mendengar? Apakah ia datang lebih awal dan menyimak dari awal… ataukah baru saja tiba?

Tapi tak sempat ia mengucapkan satu pun kata.

Vivienne memalingkan wajah lebih dulu. Tidak dengan ekspresi marah yang meledak—melainkan tenang… terlalu tenang, yang justru lebih berbahaya. Matanya seolah berhenti bersinar, dan langkahnya menjauh begitu saja. Elegan, anggun, dan penuh jarak.

Maxime segera melangkah cepat. “Vivienne—”

Namun wanita itu tidak menoleh. Tak sekalipun. Seolah pemandangan yang baru dilihatnya—Maxime bersama wanita lain di tengah malam dengan jarak begitu dekat—cukup menjelaskan semuanya. Tak perlu kata-kata.

Maxime panik. Ia segera berlari menyusul.

“Vivienne!”

Langkah kakinya terdengar membelah keheningan taman, memburu bayangan yang menjauh di antara lorong-lorong pepohonan.

Sementara itu, Selene masih berdiri di tempat. Diam. Tapi tubuhnya menegang seperti busur yang ditarik terlalu keras. Napasnya tidak terdengar, tapi sorot matanya membara seperti arang yang tersiram angin panas.

Kata-kata Maxime tadi masih terngiang di telinganya.

Selene mengepalkan tangannya, begitu kuat hingga jemarinya bergetar. Senyum tipis yang tadi menghiasi bibirnya sudah lenyap—digantikan oleh guratan amarah yang tertahan di rahangnya.

“Kalau begitu, aku akan buat kau menyesal, Maxime,” bisiknya dengan getir. “Jika kau memilih perempuan itu… maka kau akan kubuat melihatnya hancur. Sampai tak ada yang tersisa.”

Matanya kini bukan lagi mata seorang pelayan sederhana. Tapi mata seorang wanita yang disulut oleh cemburu, oleh harga diri yang terinjak, dan dendam yang mulai tumbuh di dalam kegelapan.

——

Langkah-langkah Vanessa terdengar nyaris tanpa suara saat ia menyusuri koridor taman batu. Udara malam menusuk kulitnya yang belum sepenuhnya kering dari mandi, namun dinginnya tak seberapa dibanding dengan rasa yang tiba-tiba memenuhi dadanya—tajam, berat, dan mengejutkan.

Ia tidak berniat menguping.

Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara lembut yang familiar.

Selene.

Lalu suara Maxime. Datar. Dingin.

Tapi bukan itu yang menghantam dada Vanessa.

Melainkan nada di antara kata-kata mereka.

Sorot mata Selene yang ia lihat dari jauh. Senyum tenang yang begitu lembut, begitu familiar, seperti yang dulu pernah Maxime tunjukkan—dan mungkin… masih ia tunjukkan?

Vanessa tidak tahu.

Apa ia baru datang? Atau sudah berdiri cukup lama untuk mendengar semuanya? Vanessa dalam dirinya ingin percaya bahwa Maxime tak akan pernah mengkhianatinya, tapi bagian lain dari dirinya—bagian yang masih takut, yang masih ingat betapa mengerikannya skenario dalam novel itu—merasa seolah semuanya mulai berulang.

Selene memang protagonis di dunia ini. Dan Maxime… dia adalah Kaisar yang seharusnya jatuh cinta pada Selene.

Jadi kenapa sekarang hatinya terasa nyeri saat melihat mereka berdiri berdampingan?

Kenapa matanya langsung terasa panas meski Maxime tak mengatakan apa pun yang romantis pada wanita itu?

“Apa yang sedang aku lakukan?” pikir Vanessa lirih. “Apa aku… terlalu percaya?”

Ia menatap Maxime dari kejauhan. Hanya beberapa langkah. Tapi seperti ada tembok tinggi di antara mereka.

Maxime memalingkan tubuhnya, seperti hendak melangkah ke arahnya.

Tapi Vanessa sudah berbalik terlebih dahulu.

Langkahnya cepat. Tidak terburu-buru. Tapi penuh kemarahan yang coba ia sembunyikan.

Ia tak ingin Maxime melihat matanya yang kini berkaca. Tak ingin terlihat lemah.

Bukan karena Maxime.

Tapi karena hatinya sendiri yang bodoh—yang sempat berharap.

Langkah Vanessa semakin cepat. Gaun tidurnya melambai tertiup angin malam, membuat langkahnya terdengar seperti desahan marah di antara dedaunan taman. Ia tak menoleh. Tak berhenti. Tak ingin melihat bayangan siapa pun malam ini.

Tapi suara langkah itu menyusul.

“Vivienne!”

Nada suara Maxime terdengar tegas namun juga terburu-buru. Ia mengejarnya.

Vivienne hanya mempercepat langkah.

“Vivienne, tunggu!”

Namun wanita itu tetap melangkah lurus, seolah suara itu hanya angin lalu.

Akhirnya, Maxime mempercepat langkahnya dan meraih pergelangan tangan Vivienne. Sentuhannya kuat tapi tak menyakitkan. Hanya cukup untuk menghentikannya.

“Vivienne…” suara Maxime lebih pelan sekarang. “Dengar dulu.”

Wanita itu berbalik, dan matanya menatap tajam. Wajahnya tegas, tapi matanya… ada luka yang mengambang di sana, luka yang jelas sekali Maxime lihat.

“Kau mau aku dengar apa?” suara Vanessa tenang, tapi nadanya seperti pisau yang diselubungi sutra. “Aku sudah dengar cukup.”

Maxime menghela napas. “Itu bukan seperti yang kau pikirkan.”

Vanessa tertawa kecil, tapi getir. “Kalimat klasik. Seseorang tertangkap basah berbicara berdua dengan wanita yang dulu—dan mungkin masih—ia sukai… dan dia bilang ‘bukan seperti yang kau pikirkan.’ Aku bahkan tidak perlu mendengar sisa kalimatmu.”

“Dia datang sendiri. Aku tak memintanya,” ucap Maxime tegas. “Dan aku sudah menegaskan padanya. Aku tak punya perasaan apa pun lagi untuknya.”

Vanessa menatapnya dalam. “Tapi kenapa kau tidak langsung pergi saat dia datang? Kenapa kau diam saja saat dia bicara seperti itu padamu?”

Maxime terdiam.

“Lihat?” bisik Vanessa. “Itulah yang membuatku ragu.”

Suasana hening sejenak. Hanya suara dedaunan dan air mancur kecil yang terdengar dari kejauhan.

Akhirnya Maxime mendekat perlahan, menatap mata istrinya.

“Karena aku ingin memastikan bahwa dia tahu… bahwa aku tak lagi memihaknya. Tak lagi peduli padanya. Aku ingin mengakhiri semua harapannya dengan caraku sendiri.”

Maxime menghela napas pelan, lalu mengangkat tangan—perlahan dan hati-hati, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh.

Ia menyelipkan helaian rambut Vivienne yang terjatuh di pipinya, menyampirkannya ke belakang telinga wanita itu. Jemarinya hangat, menyentuh kulit wajah Vivienne hanya sekilas… namun cukup membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

“Aku tahu kau marah…,” bisiknya lembut, “dan jujur saja… aku senang.”

Vanessa menatapnya bingung. “Senang?”

Maxime tersenyum kecil. Tatapannya turun menatap mata istrinya sejenak sebelum beralih ke bibirnya. “Kau sedang cemburu.”

Pipi Vanessa memerah, tapi ia buru-buru membuang muka.

“Lucu sekali saat kau seperti ini,” lanjut Maxime, suaranya hangat dan menggoda. “Marah-marah, tapi tetap menungguku menjelaskan… Itu tandanya kau peduli, istriku.”

Maxime kembali mendekat, jemarinya kini menyentuh dagu Vivienne dan membimbing wajahnya untuk kembali menatapnya.

“Maafkan aku,” ucapnya sungguh-sungguh. “Bukan hanya karena aku bicara dengannya… tapi juga karena aku membiarkanmu berpikir sejenak saja bahwa hatiku bisa terbagi. Padahal, sejak malam itu—sejak aku melihatmu dengan darah di pipimu, tetap bertahan demi menyelamatkan nyawa orang lain—aku tahu aku tak bisa melihat wanita lain lagi.”

Vanessa terdiam. Suara Maxime yang rendah dan berat terdengar begitu jujur, membuat dadanya hangat sekaligus berdebar.

Lalu Maxime mencondongkan tubuhnya sedikit. “Maaf… karena membuatmu ragu.”

Dan dengan lembut, ia menempelkan bibirnya ke bibir Vanessa. Bukan ciuman terburu-buru. Tapi tenang, meyakinkan—sebuah janji yang disampaikan lewat keheningan dan sentuhan.

Saat ia melepaskannya, Maxime tetap menahan jarak, kening mereka bersentuhan. Senyum lembut masih bertahan di wajahnya.

“Kalau kau ingin marah… marahlah. Tapi jangan tinggalkan aku,” ucapnya nyaris berbisik.

Vanessa tidak menjawab. Hanya memalingkan wajahnya ke samping, menahan panas di pipinya yang tak juga mereda. Namun sebelum sempat melangkah mundur, tubuhnya terangkat begitu saja—dengan mudah, seolah ia tidak lebih dari helaian kain di tangan Maxime.

“Apa yang kau—?! Maxime! Turunkan aku!” serunya, memukul ringan bahu sang suami.

Maxime hanya tersenyum tipis. Gaya gendongnya anggun dan penuh kendali—dalam pelukan ala bridal carry, namun lebih menyerupai cara para ksatria kerajaan membawa putri istana saat menyelamatkan mereka dari bahaya. Sebuah simbol perlindungan… sekaligus kepemilikan.

“Tidak malam ini,” bisik Maxime dengan suara berat. “Kau keluar malam-malam hanya memakai gaun tipis seperti ini… berkeliaran di taman tanpa penjagaan. Apa kau tahu berapa banyak mata pria yang bisa melihatmu seperti ini, hm?”

“Aku hanya berjalan sebentar,” sanggah Vanessa dengan gusar, wajahnya memerah karena bukan hanya marah… tapi juga malu.

“Sebentar pun terlalu lama,” Maxime menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinga Vivienne. “Karena aku tahu betapa memikatnya kau terlihat… dan aku tidak suka membaginya, bahkan hanya untuk dilihat.”

Vivienne membuka mulut, hendak memprotes, tapi Maxime mendahuluinya.

“Kau memakai gaun malam berenda… rambutmu dilepas begitu saja, dan kau masih punya keberanian untuk bilang ini hanya kebetulan? Jangan salahkan aku kalau malam ini… aku harus memberimu hukuman.”

Vanessa menatapnya dengan jantung yang berdebar keras. “Hukuman macam apa?”

Maxime tertawa rendah, penuh maksud. “Kau akan tahu… ketika pintu kamarmu tertutup… dan aku tak membiarkanmu istirahat sampai fajar menyapa.”

——

1
ririn nurima
suka banget ceritanya
Melmel
thanks thor crazy upnya. pembaca hanya baca dengan menit, sedng yg ngetik siang malam mikir setiap katanya.. kerenn 🫶
Melmel
keren thor 👍
Eka Putri Handayani
pokoknya harus bertahan jd wanita yg kuat jngn percaya muka medusa yg sok polos itu
Eka Putri Handayani
geramnya aku sm pelayan gak tau diri ini, ayo vanessa km bisa jd lebih kuat dan berani
Eka Putri Handayani
jadikan viviane gadis yg kuat yg gak takut apapun klo bisa dia jg bisa bela diri
Murni Dewita
tetap semangat dan double up thor
Murni Dewita
lanjut
Murni Dewita
💪💪💪💪
double up thor
Murni Dewita
lanjut
shaqila.A
kak, lanjut yukk. semangat up nyaaa. aku siap marathon💃💃
Murni Dewita
mexsim terlalu egois
rohmatulrohim
critanya menarik di buat pnasan dg kelanjutannya.. yg semangat up nya thor.. moga sampai tamat ya karyanya dan bisa buat karya yg lain
Murni Dewita
tetep semangat thor
Murni Dewita
ratu di lawan ya k o lah
Murni Dewita
tetap semangat jangan lupa double up thor
Murni Dewita
dasar tak tau diri
Murni Dewita
pelayanan tak tau diri
ya udah cerai aja vanesa
Murni Dewita
double up thor
Murni Dewita
apakah vanesa tidak memiliki ruang dimensi thir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!