“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 30
Di antara kabut yang tak pernah reda dan langit yang tak pernah benar-benar terang—
Pawiro berlari dengan langkah tergopoh-gopoh. Ia berhasil merangkak keluar dari pusaran air Danau Wening Ilang. Tubuhnya lusuh, bercampur lumpur, darah yang masih menyembur, dan keringat dingin. Nafasnya tak beraturan, matanya liar mencari arah, tapi tak ada yang pasti. Ia terengah, terjatuh, bangkit, lalu terengah lagi.
Pawiro berdiri limbung. Matanya menyapu sekeliling—bayangan pohon yang tampak familier, bekas goresan di batang yang ia buat beberapa waktu lalu ... masih ada.
“Rasa-rasanya, aku sudah melintasi area ini yang ke sepuluh kalinya,” gumamnya parau, menyeka wajah dengan tangan yang penuh dengan darah kering.
Langit di atasnya berwarna kelabu pekat, tak menunjukkan siang ataupun malam. Kabut tipis menggantung tak bergerak. Sunyi. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar, diselingi gemerisik aneh dari dedaunan yang tak pernah berhenti berbisik.
Ia kembali berjalan—berpikir mungkin hanya sedang berputar.
Namun beberapa langkah kemudian, ia kembali berhenti. Matanya membelalak, lehernya kaku. Di dahan pohon yang baru saja dilewatinya, tanda goresan tadi tetap masih ada. Tepat, di tempat yang sama.
“Apa ini? Dari tadi aku cuma muter di sini-sini saja? Oalah, jangan-jangan aku kena jebakan lelembut? Kesasar jin, gitu? Pasti ulah demit yang tadi,” gumamnya, mulai panik. Matanya terus mencari-cari celah jalan keluar.
Dengan tangan lemas dan gemetar, Pawiro menyeka keringat di dahinya yang bercampur lumpur. Napasnya makin berat, dadanya naik turun seolah hendak meledak. Ia menatap lekat setiap batang pohon, berharap ada sesuatu yang berubah. Tapi—semuanya tetap sama.
“Nggak boleh begini ... aku harus keluar dari tempat ini,” gerutunya sambil mundar-mandir, terpincang-pincang. “Hidupku selama ini susah, dan sekarang, disaat aku sudah mendapatkan jalan keluar dari melaratnya hidup ini—aku harus terjebak di sini?! Oooo tidak bisa!”
Ia menengadah ke langit, tapi hanya melihat kabut tebal menggulung di antara dahan yang menjalin rapat. Tak ada sinar mentari, tak ada arah. Pawiro mulai merapal doa—mulutnya bergumam cepat, kadang terbata, kadang gugup. Surat pendek, ayat-ayat yang ia hafal sejak kecil, bahkan mantra-mantra warisan ibunya yang dulu sering ia ejek.
Namun, tetap tak ada yang berubah.
Seolah Tuhan sendiri enggan mendengar doanya, membiarkan Pawiro terkurung dalam ruang tak bernama.
“Halah ... opo meneh iki?! Gusti ... tulung ... tulung aku...,” suaranya pecah. Air mata mulai mengalir di wajah kotor dan lecetnya. Tapi, Pawiro menepis semuanya dengan satu gerakan kasar.
Ia kembali berjalan—terpincang, menyeret kaki yang masih terjepit perangkap besi tua. Setiap langkahnya meninggalkan jejak merah di tanah yang makin gembur oleh kabut lembab. Ia tak peduli dengan semua rasa sakitnya demi menemukan jalan keluar dari sana.
“Harus bisa keluar ... aku harus bisa keluar!” gumamnya, sambil meringis.
Di dalam benaknya, sudah terbayang kembali—rumah besar tempat Arum tinggal, emas di jari jemari anak perempuannya, kekuasaan, dan semua kenyamanan yang bisa ia sedot dari keberhasilan sang anak.
Ia pun mencibir dengan perasaan dongkol. “Anak durhaka itu ... dia pikir—dia bisa lepas begitu saja dari tanggung jawab? Lihat saja nanti, aku akan mengatur semua harta itu atas namaku. Aku, bapaknya ... aku jelas berhak!”
Namun, tanpa disadari—semakin jauh niat serakah itu membenam dalam pikirannya, semakin tebal pula kabut hitam menggulung di sekelilingnya. Perlahan, pusaran kabut itu berputar ... meliuk ... seperti ular raksasa yang hendak menelan mangsanya.
Tak jauh dari tempat ia berpijak, tanah mulai merekah tipis. Suara lirih, seperti desis mahluk buas—muncul dari bawah tanah. Tapi Pawiro terus melangkah, tak menyadari bahwa ia semakin jauh tersesat dalam hutan tak berujung—karena dirinya sendiri.
...****************...
DUG! DUG! DUG!
“NYAI! NYAI! SAYA DATANG MEMBAWA BERITA—BERITA PENTING DARI PAVILIUN!”
Ketukan tergesa itu menghantam pintu kamar bercat coklat tua di lantai atas. Di baliknya, seorang wanita paruh baya yang masih setia memoles wajah dengan bedak dingin mengerutkan dahi.
“NYAI! NYAI! Saya datang membawa kabar! Tolong buka pintunya, Nyai!” Suara nyaring dari balik pintu membuat alis Nyai Lastri terangkat tajam.
Dengan langkah pelan namun tegas, Nyai membuka pintu. Tampak di ambang, seorang perempuan dengan rambut digelung asal-asalan berdiri terengah. Dialah Yuyun—salah satu gundik yang hampir menuju usia baya—yang tersingkir sejak Arum datang, namun selalu menemukan cara agar tetap berguna bagi Nyai Lastri ... tentu, demi imbalan. Pundi-pundi rupiah yang membuat perut kenyang.
“Kabar apa, Yuyun? Kau menggedor pintu seakan dunia mau runtuh,” ujar Nyai Lastri dengan nada dingin.
Yuyun menunduk cepat. “Maaf, Nyai ... tapi kabar ini besar. Sangat besar! Saya dengar sendiri dari balik pintu paviliun, waktu ibunya Arum mengunjungi perempuan penggoda itu. Mungkin saja, kabar ini berguna untuk Nyai yang Agung.”
Nyai Lastri tersenyum tipis manakala sang gundik memujanya. “Cepat ceritakan.”
Yuyun lekas mendekat, menunduk—lalu membisikkan pembicaraan antara Arum dan ibunya yang ia dengar. Nyai Lastri menegang. Satu tangan menggenggam jemari keriputnya yang dingin.
“Dan ... katanya ... Bapaknya Arum tercebur ke Danau Wening Ilang.” Kata Yuyun sambil mengusap-usap bulu-bulu halus yang meremang. “Sepertinya, Arum memang sudah menjadi iblis, Nyai.”
Nyai Lastri meremas ujung kebayanya. Jemari keriput itu mencengkeram kain halus berwarna hijau zaitun—tanda gelisah yang mulai merambati dada. Napasnya naik turun, pikirannya berlari ke arah yang tak ia harapkan.
“Danau Wening Ilang ....”
Gumaman itu meluncur pelan dari bibirnya yang mulai bergetar. Matanya menerawang, seolah menyaksikan kembali kenangan lama yang selama ini terkubur di balik lapisan waktu.
Yuyun menunduk, tak berani menyela. Tapi dari sorot matanya, terlihat ia penasaran setengah mati dengan apa yang dipikirkan Nyai.
“Yun,” suara Nyai Lastri terdengar lebih rendah, hampir seperti bisikan, namun mengandung tekanan. “Panggil Madun kemari. Dan ini ... untukmu.”
Nyai melempar sebuah kantung kecil berbahan kain beludru tua ke lantai kayu. Kainnya sudah tampak usang, tapi beratnya menjanjikan. Dari dalamnya terdengar bunyi gemerincing—tumpukan uang koin emas, peninggalan masa lampau.
Yuyun segera memungutnya—matanya membelalak kecil saat mengira-ngira berapa banyak yang ia dapat kali ini. Tapi ia buru-buru menunduk, menyembunyikan girang yang menjalari wajahnya.
“Carilah informasi lebih banyak. Apa pun itu, Yun. Tentang Danau itu ... tentang Arum ... atau tentang siapa pun itu. Aku yakin, semuanya akan berguna.”
Yuyun meremas kantung itu dengan senyuman serakah nan merekah, seperti kucing jalanan yang diberi tulang. Ia mengangguk patuh.
“Baik, Nyai. Saya akan segera melaporkan segala hal yang saya dapat.” Gundik itu kembali menyeringai.
*
*
*
Ealah ras Laras wes gedhene sak emprit kok mbok potong entek pisan Yuyun kebagian OPO Iki engko 🤭
mampus kau emg enak g ada tongkta sakti mu
wkwkwkk tgl menungu ajal
siksa dlu pelan2 biar tau rasa