Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4- menghubungi ortu
Angin sore bertiup pelan, membawa harum tanah basah yang baru disiram gerimis. Tere duduk termenung di beranda rumah Arga. Matanya menerawang jauh ke arah perbukitan, ke arah tempat matahari perlahan mulai turun ke peraduan. Jantungnya sesak. Ia menggenggam ponsel yang sejak semalam tak berfungsi apa-apa di genggamannya. Sinyal di desa ini benar-benar seperti hantu: ada tapi tak tampak, dicari tak kunjung didapat.
Tere bangkit. Langkahnya diayun ke jalan setapak di samping rumah. Dia ingin mencoba lebih jauh, mencari titik di mana mungkin saja sinyal muncul walau hanya satu garis. Hatinya sudah bulat: ia harus kembali ke Jakarta. Ke hidupnya. Ke Papa dan Mama yang pasti cemas setengah mati. Dan... ke Rio. Ya, Rio, pria yang katanya akan menjadi tunangannya. Pria yang selama ini dia yakini sebagai pendamping masa depannya.
Langkahnya terhenti di pinggir kebun kecil. Ponselnya diangkat tinggi-tinggi, berharap keajaiban terjadi. Detik berikutnya, layar ponsel itu bergetar. Satu garis sinyal muncul. Lalu pesan-pesan masuk berdentang bertubi-tubi.
Panggilan tak terjawab dari Mama. Dari Papa. Dari Rio. Dari Dinda, sahabatnya sekaligus sekretarisnya. Air mata Tere mengambang di pelupuk mata. Jemarinya gemetar saat menekan tombol panggil. Ia memilih nomor Mama. Suara sambungan tersambung membuat hatinya lega bercampur nyeri.
“Ma... Mama...” suaranya serak menahan isak.
“Tere! Astaga, Tere! Kamu di mana, Nak?! Kenapa Mama nggak bisa hubungi kamu?! Kamu tahu Mama hampir gila mikirin kamu?!” suara Bu Linda terdengar panik, bercampur lega.
Tere menarik napas panjang. “Maaf, Ma... aku... aku ada di desa. Mobil Tere mogok, sinyal susah. Tere baik-baik aja kok, Ma. Jangan khawatir...”
“Kamu di mana? Sebut nama desanya, Mama suruh orang jemput kamu sekarang juga!” suara Bu Linda tak bisa ditawar.
Tere menyebut nama desa Sukasari dengan suara lirih. Hatinya gamang. Sejenak ia menoleh ke arah rumah Arga yang atapnya mulai disapu cahaya jingga. Jantungnya kembali berdebar aneh.
“Baik, Ma. Tapi... Ma, Tere... Tere sudah menikah,” kata-kata itu meluncur begitu saja, membuat dunia seakan berhenti berputar sesaat.
“Apa?! Tere kamu bilang apa barusan?!” suara Mama meninggi.
Tere menggigit bibirnya. “Ma, nanti Tere jelasin. Tolong jangan tanya sekarang. Jemput Tere dulu...”
Sambungan terputus. Sinyalnya menghilang lagi. Tere menghela napas berat. Lalu terdengar suara langkah mendekat. Arga. Pria itu menatapnya penuh tanya. Tatapan polos yang diam-diam membuat hatinya bergetar.
“Mba... dapat sinyal?” tanya Arga lembut.
Tere menunduk. “Iya... aku udah hubungi Mama. Mereka akan jemput aku.”
Sunyi sejenak. Angin sore menari di antara mereka. Arga mengangguk pelan, menyembunyikan luka kecil yang mulai merambat di hatinya.
“Oh... ya sudah... kalau itu yang terbaik.”
Tere menggigit bibir. Kenapa hatinya terasa perih? Bukankah ini yang ia inginkan?
“Dan, Arga... aku ingin... kita akhiri aja pernikahan ini. Aku nggak mau ada yang tersakiti,” ucap Tere, menahan gejolak di dadanya.
Arga terdiam. Menatap mata Tere dalam-dalam. “Mba, aku nggak bisa. Pernikahan ini... aku anggap suci. Bukan main-main. Aku nggak mau mempermainkan janji aku di depan Allah.”
Hati Tere makin tercabik. “Kau kira aku main-main?! Aku bahkan belum pernah terpikir menikah dengan orang yang baru aku kenal sehari!”
Arga menunduk. “Aku tahu. Tapi aku juga nggak mau kita jadi orang yang mempermainkan pernikahan. Aku... aku akan tanggung jawab, Mba.”
Tere ingin marah, ingin membantah. Tapi matanya basah. Tanpa kata, ia berbalik, berlari kecil ke dalam rumah. Dan untuk pertama kalinya, ia sadar... meninggalkan rumah sederhana itu tak semudah yang dia bayangkan