THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Bab 1 Hujan dan darah

Lyra Caellum berlari secepat yang ia bisa. Napasnya memburu, dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar yang menghantam setiap tarikan udara. Di atasnya, langit hitam menjerit — petir membelah cakrawala, suara gemuruhnya begitu keras sampai tanah di bawah kakinya bergetar.

Bajunya basah kuyup, lumpur menempel di sepatunya, membuat setiap langkah makin berat. Tapi Lyra nggak peduli. Dia harus pergi. Sekarang juga.

Semua gara-gara tuduhan konyol itu. Pengkhianat? Serius? Hah. Mereka bahkan nggak tahu siapa dirinya sebenarnya. Seumur hidup Lyra mengabdi pada desa itu — membantu di ladang, menjaga anak-anak, bahkan ikut berpatroli waktu ada kabar tentang serigala liar. Dan sekarang? Dituduh menjual rahasia desa cuma karena ketahuan deket sama seorang pengelana asing yang bahkan dia nggak kenal baik.

Brilian.

Petir lain menggelegar, dan Lyra secara refleks menunduk, melindungi kepala dengan lengannya. Dia tergelincir di lumpur, jatuh berlutut. Tapi nggak ada waktu buat merengek atau mikir panjang. Lyra bangkit lagi, meski lututnya perih, dan terus berlari.

Hutan di depan matanya makin lebat. Seperti monster besar yang menganga, siap menelannya bulat-bulat.

"Lebih baik mati digigit binatang buas daripada mati dibakar di alun-alun," gumamnya, setengah tertawa getir.

Dia berlari masuk ke kegelapan, membiarkan pohon-pohon raksasa menelannya. Setidaknya, di sini, nggak ada orang yang bakal lemparin batu ke arahnya. Nggak ada tatapan penuh benci dari orang-orang yang dulu memanggilnya "adik kecil" dengan senyum hangat.

 

Angin makin kencang. Hujan berubah jadi cambukan-cambukan kecil yang sakit waktu kena kulit. Lyra terengah, kakinya mulai mati rasa, tapi dorongan dalam dirinya nggak mau berhenti.

Langkahnya membawa dia ke sebuah jalur sempit, hampir nggak kelihatan, tersembunyi di antara semak-semak berduri. Dia merunduk, menyingkirkan ranting-ranting kasar yang mencakar wajahnya, dan terus maju.

Entah berapa lama dia berjalan. Bisa lima belas menit, bisa satu jam. Waktu rasanya kehilangan arti.

Sampai akhirnya dia melihat sesuatu — sebuah bayangan besar di tengah hutan. Sebuah bangunan tua, separuh runtuh, tertutup lumut dan akar pohon. Dindingnya retak-retak, dan pintu batunya hampir rubuh.

"Wow..." Lyra bergumam tanpa sadar. "Tempat apa ini?"

Dia mendekat, langkahnya ragu. Ada sesuatu di udara. Bau logam. Bau tanah basah. Dan... sesuatu yang lain. Sesuatu yang bikin bulu kuduknya berdiri.

Suara-suara kecil mulai terdengar. Bukan dari luar. Dari dalam kepalanya.

"Ayo masuk."

"Kami menunggumu."

"Buka gerbangnya..."

Lyra menggigit bibir. Suara-suara itu jelas bukan sesuatu yang normal. Tapi bagian dirinya — bagian yang kelelahan, putus asa, dan merasa dunia sudah membuangnya — berkata, kenapa nggak?

Kalau mati di sini, setidaknya dia nggak mati sebagai kriminal yang dihukum rakyat sendiri.

Dia meraih pintu batu yang berat, menempelkan telapak tangannya di permukaannya yang dingin dan kasar.

Dan saat itu terjadi —

BAM!

Cahaya meledak dari sela-sela batu, mendorong Lyra mundur beberapa langkah. Udara bergetar. Tanah bergetar. Bahkan hutan di sekitarnya mendesah, seperti makhluk hidup yang baru saja dibangunkan dari tidur panjangnya.

Pintu itu berderit pelan, lalu terbuka.

Di baliknya... hanya kegelapan.

Tapi entah kenapa, Lyra tidak merasa takut. Yang ia rasakan cuma rasa... kosong. Seolah-olah selama ini, seluruh hidupnya cuma menunggu momen ini.

"Kalau gue mati, setidaknya keren lah," katanya pada dirinya sendiri, setengah bercanda. "Lyra Caellum, si gadis tolol yang buka portal dunia lain karena keisengan."

Lalu, tanpa pikir panjang lagi, dia melangkah masuk.

 

Seketika dunia berubah.

Hujan berhenti. Udara jadi berat dan aneh, seperti napas makhluk raksasa yang tertahan. Langit di atas bukan lagi langit yang dikenalnya — sekarang berwarna ungu gelap, bertabur bintang-bintang aneh yang berkilau merah.

Tanah di bawah kakinya bukan lumpur, melainkan semacam rumput biru yang berkilauan seperti kaca pecah.

Di kejauhan, pegunungan bergerigi menjulang, siluetnya membentuk bayangan-bayangan yang bergerak meski tak ada angin. Hutan di sekitarnya terlihat hidup — pohon-pohonnya bergerak perlahan, seolah berbisik satu sama lain.

Lyra menatap sekeliling dengan mata terbelalak.

"Ini... ini beneran bukan dunia gue."

Jantungnya berdegup keras, antara ngeri dan kagum.

Saat itu, sesuatu bergerak di sudut matanya. Sosok bayangan — cepat, lincah — berlari melintasi hutan.

Lyra langsung siaga, tubuhnya kaku. Tapi sosok itu tidak menyerang. Malah... seolah menunggu.

"Kalau gue nggak mati karena portal, mungkin gue bakal mati sekarang," bisiknya sambil menarik napas panjang. "Great. Sangat keren."

Dia melangkah pelan, mendekati arah sosok itu menghilang, tanpa sadar memasuki petualangan yang akan mengubah segalanya.

Langkah Lyra ragu-ragu, tapi dorongan untuk tahu lebih besar daripada rasa takutnya.

Di depannya, jalan setapak dari batu-batu putih samar membentang, berkelok menembus hutan aneh itu. Setiap langkah Lyra menghasilkan suara aneh, seperti lonceng kecil berdenting jauh di kejauhan.

"Oke... jalan batu yang bercahaya, suara lonceng, pohon-pohon yang gerak sendiri... Apa lagi nih?" gumamnya sambil melirik kanan-kiri.

Tiba-tiba, suara dedaunan bergemerisik. Bukan suara angin, tapi suara sesuatu — atau seseorang — yang mendekat.

Jantung Lyra berdegup cepat.

Dia meraba pinggangnya, berharap entah kenapa ada pedang atau tongkat sihir nongol di situ. Tentu saja kosong.

Yah, great. Masuk dunia asing tanpa persenjataan. Pintar banget, Ly.

Langkah-langkah itu semakin dekat.

Dari balik pohon, muncul sesosok makhluk... seukuran anak kecil, kulitnya pucat kehijauan, matanya besar dan bersinar keperakan.

Makhluk itu menatap Lyra dengan tatapan penuh rasa ingin tahu — bukan ancaman.

"...Hai?" sapa Lyra, setengah berharap itu makhluk damai, bukan pemangsa manusia.

Makhluk itu mengedipkan matanya yang besar dua kali, lalu mendekat beberapa langkah. Tiba-tiba, ia berbicara — suaranya terdengar di kepala Lyra, bukan di telinganya.

"Darah kabut... kau pembawa darah kabut..."

Lyra mengerjap. "Apa? Darah apa?"

Makhluk itu tidak menjawab, malah berbalik dan berlari ke dalam hutan, meninggalkan jejak-jejak bercahaya.

"Eh?! Hey, tunggu!" seru Lyra, spontan mengejar.

 

Ia mengikuti makhluk itu melewati belukar yang terasa seperti gerbang, sampai tiba-tiba ia berdiri di tepi sebuah danau.

Danau itu aneh — airnya bening, tapi memantulkan langit seolah-olah itu cermin hidup. Di tengah danau, ada pulau kecil. Dan di atas pulau itu berdiri... seseorang.

Atau lebih tepatnya, sesuatu.

Sosok tinggi berbalut jubah hitam berdiri dengan tenang, wajahnya tersembunyi di balik tudung. Di tangan kirinya, ia memegang tongkat dari kayu hitam legam, bercahaya samar.

Seketika udara di sekitar Lyra menjadi berat. Seperti ribuan mata memandanginya.

"Lyra Caellum," suara berat itu bergema, bergulung di udara. "Akhirnya kau datang."

Lyra mengangkat alis, bingung campur takut. "Oke... Aku jelas nggak kenal elu."

Sosok itu tertawa kecil — suara tawa yang membuat bulu kuduk Lyra berdiri.

"Takdir tidak peduli apakah kau siap atau tidak. Darah kabut telah memanggilmu. Aedhira sedang sekarat. Dan kau... kau adalah kunci terakhirnya."

Lyra menelan ludah. "Salah orang, mungkin?"

Sosok itu mengangkat tongkatnya, dan dunia di sekitar Lyra tiba-tiba meledak dalam pemandangan-pemandangan aneh: medan perang yang terbakar, kota-kota runtuh, makhluk-makhluk bersayap hitam melayang di atas puing-puing.

Dan di tengah kekacauan itu... dirinya sendiri. Tapi versi dirinya yang lain — dengan mata bersinar, tangan diliputi api putih.

"Apa-apaan ini..." bisik Lyra, setengah ngeri, setengah terpana.

"Pilihanmu akan menentukan masa depan Aedhira," suara berat itu bergema lagi. "Tapi ingat, darah kabut menuntut pengorbanan."

Seketika, semuanya menghilang. Hutan kembali sunyi. Hanya suara nafas Lyra sendiri yang terdengar.

Ia memandang ke sekeliling. Sosok berjubah itu sudah lenyap. Dan makhluk kecil tadi? Entah ke mana.

Lyra berdiri sendirian, di dunia yang bahkan belum sempat dia mengerti, dengan takdir raksasa menggantung di atas kepalanya.

"Ya ampun, kenapa hidup gue kayak video game isekai tanpa tutorial begini," keluhnya, memijit pelipis.

Tapi dalam hatinya, Lyra tahu: dia tidak bisa kembali. Jalan pulangnya telah tertutup.

Dan satu-satunya jalan... adalah maju.

Langit Aedhira mulai meredup, meski Lyra tak yakin apakah ini senja atau cuma ilusi waktu di dunia aneh ini.

Perutnya keroncongan, kakinya pegal luar biasa. Tapi ia terus berjalan, mengikuti jalan setapak samar yang tampaknya menuju ke tempat lebih terbuka. Dedaunan makin lebat, dan kabut tipis mulai naik dari tanah.

“Kalau gue nggak nemu tempat nginep bentar lagi, fix tewas kelaparan atau dimakan makhluk berkaki delapan,” gumamnya sambil menggosok perut.

Tiba-tiba, ada suara keras — DUAARR!

Tanah bergetar. Ranting patah. Suara geraman menggetarkan udara, dan seekor makhluk besar berwarna kelam meloncat keluar dari semak-semak.

Makhluk itu... menyerupai serigala, tapi ukurannya segede kuda. Matanya merah menyala, lidahnya menjulur, dan taringnya — oh Tuhan — tajam banget.

Lyra mundur beberapa langkah. Panik. Napasnya tercekat.

“Serius... baru satu jam di sini, udah dicegat monster?”

Makhluk itu melompat ke arahnya. Lyra jatuh terduduk, panik. Tapi sebelum makhluk itu sempat menerkamnya—

ZWUSSHH!

Sesuatu melintas secepat kilat. Cahaya putih menyilaukan menebas udara, dan suara jeritan tajam keluar dari tenggorokan monster itu. Ia terhuyung, lalu roboh, berdarah dari dada.

Di baliknya, berdiri seorang lelaki.

Tinggi, rambut panjang terurai, jubahnya compang-camping dan berlumuran tanah. Tapi ada aura yang sulit dijelaskan. Seperti... kekuasaan yang disembunyikan. Matanya — sepasang mata perak pekat — memandang Lyra dengan campuran waspada dan... rasa penasaran.

“Kalau kau ingin tetap hidup, jangan berdiri di tengah jalur pemburu malam,” katanya datar.

Lyra membuka mulut, ingin menjawab, tapi... "Ya... makasih?" adalah satu-satunya kata yang keluar.

Lelaki itu menghampirinya. Tatapannya menyapu tubuh Lyra dari ujung kepala sampai kaki.

“Kau manusia. Dari luar Aedhira,” katanya pelan.

"Ya. Mungkin? Entah. Aku cuma—jatuh ke sini lewat portal aneh dan—"

“Berapa lama kau di sini?”

Lyra mendesis. “Dua jam, palingan.”

Lelaki itu menatap lebih lama, lalu tiba-tiba dia mendekat dan menyentuh pergelangan tangan Lyra. Seperti ada aliran panas menyentak dari kulit mereka.

Matanya melebar. “Darah kabut... benar-benar ada dalam dirimu.”

“Ya ampun, ini lagi. Gue beneran bingung. Apa sih maksudnya darah kabut? Kenapa semua orang di sini tahu nama gue?”

Lelaki itu mendengus. “Namaku Kaelen. Aku... seharusnya tidak ada di sini juga.”

Dia menoleh pada makhluk yang ia bunuh. “Mereka sedang berburu darah kabut. Dan kau—sayangnya—adalah umpan paling terang.”

Lyra menelan ludah. “Umpan? As in... aku target mereka?”

Kaelen hanya mengangguk.

“Oke. Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Lyra, setengah pasrah.

Kaelen menatap langit yang mulai gelap. “Ikut aku. Malam akan lebih berbahaya.”

 

Mereka berjalan dalam diam, kecuali suara langkah kaki dan bisikan dedaunan. Kaelen membimbingnya ke sebuah gua tersembunyi di balik air terjun kecil.

Di dalamnya, cukup hangat. Ada api kecil yang sudah hampir mati, dan beberapa alat sederhana—tanda Kaelen sudah bersembunyi di sini cukup lama.

“Kenapa kamu nolong aku tadi?” tanya Lyra sambil duduk dekat api.

Kaelen diam sejenak. “Karena kau adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Dan... karena aku tahu rasanya diburu karena darah sendiri.”

Ia membuka sebagian jubahnya. Di bawahnya, ada luka besar yang tampaknya belum sembuh. Bekas cakar atau pedang — sulit ditebak.

Lyra bergidik. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, rasa hangat aneh menjalari telapak tangannya. Ia menatap kulitnya — samar-samar, cahaya merah keunguan muncul dari urat nadinya.

Kaelen melihatnya. “Kau mulai bangkit.”

“Aku gak ngerti... apa ini semacam sihir? Keturunan? Atau kutukan?”

“Darah kabut bukan sihir. Itu adalah bagian dari Aedhira. Darah para penjaga lama. Sudah hilang selama berabad-abad... sampai sekarang.”

Lyra mengusap cahaya dari tangannya. Tapi semakin ia coba hentikan, semakin terang.

“Aku gak mau ini. Aku cuma mau pulang.”

Kaelen menghela napas panjang. “Pulang bukan lagi pilihan, Lyra. Dunia ini sudah memilihmu. Dan saat dunia memilih... kau tidak bisa menolaknya.”

Lyra menatap api di depannya. Benaknya penuh. Ketakutan. Marah. Bingung. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih kuat. Rasa penasaran.

Mungkin... mungkin ia memang tidak lagi punya tempat di dunia asalnya. Tapi di sini... mungkin ia bisa punya peran. Arti. Tujuan.

Ia memejamkan mata.

Angin Aedhira berbisik di luar gua, dan cahaya dari darah kabut di tubuhnya berdenyut pelan.

Seolah-olah... Aedhira sedang bernapas bersamanya.

Dan tanpa ia sadari, malam pertama Lyra di dunia asing itu adalah awal dari segalanya.

Terpopuler

Comments

🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅

🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅

kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira

2025-05-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!