Benci Jadi Cinta

Hubungan kami mulai berjalan di jalur yang lebih terang. Tak ada lagi bisik-bisik di belakang meja kantor, tak ada lagi perasaan dikejar waktu atau sembunyi dari pandangan orang lain. Sejak Raka resmi pindah divisi, semuanya terasa lebih... lega.

Kami jadi lebih bisa menikmati hal-hal kecil yang dulu cuma bisa kami curi di sela-sela kerja. Ngopi bareng, nonton film tengah malam, bahkan sekadar ngobrol tentang hal remeh yang bisa bikin kami ketawa sampai lupa waktu.

Hari itu, kami ada di rumah Raka. Aku duduk di taman belakang sambil membolak-balik halaman buku, sementara Raka di dapur menyiapkan teh. Sinar sore menembus dedaunan dan menciptakan bayangan lembut di halaman. Damai. Nyaman. Hampir seperti mimpi yang jadi kenyataan.

Sampai suara bel rumah memecah ketenangan itu.

“Bentar ya, aku cek dulu siapa,” kata Raka santai, lalu berjalan ke depan.

Awalnya aku tidak berpikir macam-macam. Tapi begitu suara langkah kaki makin mendekat, dan terdengar suara perempuan yang dingin dan formal, jantungku mulai berdetak tak beraturan.

“Naya,” suara Raka memanggil. “Ini Tante Mira... tante aku.”

Aku berdiri refleks. Perempuan itu menatapku dari ujung kaki sampai kepala. Elegan, tajam, dan... penuh penilaian.

“Selamat sore, Tante,” kataku pelan.

Dia mengangguk, tapi bukan anggukan ramah. “Jadi ini perempuan yang bikin keponakanku lupa daratan?”

Aku terdiam. Bingung harus menjawab atau tidak.

Raka buru-buru melangkah ke depan. “Tante, tolong jangan mulai dengan nada seperti itu.”

Tapi Tante Mira tetap melanjutkan, suaranya tetap dingin. “Kamu tahu sendiri, Raka. Keluarga kita punya harapan besar. Posisi kamu, status kamu... semuanya dipertaruhkan hanya karena—maaf—perempuan biasa yang kamu temui di kantor?”

Aku merasakan dadaku sesak, tapi aku tahan. “Tante, saya tahu posisi saya tidak tinggi. Tapi saya juga tidak mempermainkan Raka. Kami saling mencintai. Dan kami menjalani hubungan ini dengan cara yang kami rasa benar.”

Tante Mira tersenyum tipis. “Cinta? Cinta seringkali cuma ilusi, Nona. Dan ilusi tidak cukup untuk menghidupi masa depan.”

“Kalau masa depan cuma soal nama dan status, saya lebih pilih hidup di kenyataan yang penuh cinta,” jawabku pelan tapi tegas.

Raka menggenggam tanganku, erat. “Tante, aku sudah dewasa. Aku tahu apa yang aku lakukan.”

“Kau tahu resikonya?”

“Aku tahu. Tapi aku lebih takut kehilangan Naya daripada kehilangan warisan keluarga.”

Tante Mira menatap kami lama. “Kalau begitu, semoga kalian kuat. Karena hidup bukan hanya tentang cinta. Ini tentang bertahan saat semua pintu ditutup.”

Lalu dia pergi, meninggalkan kami dalam keheningan panjang.

*

Malamnya, Raka duduk di sampingku. Wajahnya masih menyimpan sisa kekesalan.

“Aku tahu dia keras. Tapi dia juga orang yang berjasa besar dalam hidupku.”

Aku memegang tangannya. “Aku gak minta kamu memilih. Aku cuma minta kamu jujur sama hatimu.”

Dia menatapku, matanya dalam dan jujur. “Hatiku cuma pengen satu hal. Bertahan sama kamu.”

Dan aku tahu, badai mungkin belum usai. Tapi untuk pertama kalinya, aku benar-benar percaya kami cukup kuat untuk melewatinya. Bersama.

Aku menyandarkan kepala ke bahunya, merasakan detak jantungnya yang stabil. “Kita akan baik-baik saja, ya?” bisikku.

“Iya,” jawabnya, yakin. “Mau seberapa besar ombaknya, asal kita berdua tetap satu kapal, kita bisa sampai.”