Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 14
Ia melangkah masuk, duduk di kursi penumpang dengan punggung tegak dan tangan yang saling menggenggam erat di pangkuannya. Mobil melaju meninggalkan kediaman megah itu, diikuti oleh iring-iringan kendaraan pengawal. Di dalam mobil, keheningan terasa menyesakkan. Rania memalingkan wajahnya ke jendela, menatap pemandangan kota yang berlalu dengan cepat.
Gedung-gedung tinggi, taman-taman kota, dan keramaian pagi hari seolah menjadi latar belakang bisu bagi pergolakan batinnya. Pikirannya melayang pada kejadian-kejadian yang membawanya ke titik ini. Pertemuannya dengan Adrasta, pesona yang awalnya memikat, berubah menjadi belenggu yang mengekang.
la membenci dirinya sendiri karena kelemahannya, karena ketidakmampuannya melawan dominasi Adrasta. Namun, di balik kebencian itu, ada ketakutan yang lebih besar-takut akan konsekuensi yang mungkin terjadi jika ia mencoba melawan. Adrasta, yang duduk di sebelahnya, menyadari kebisuan Rania. la melirik ke arahnya, kemudian meraih tangan Rania dan menggenggamnya erat. Sentuhan itu dingin, namun penuh makna.
"Ingat, Rania," suaranya rendah namun tegas, "Di hadapan orang lain, kita adalah pasangan bahagia. Istri yang mencintai suaminya. Aku harap kau tidak lupa akan peranmu." Rania menelan ludah, merasakan benjolan di tenggorokannya. la mengangguk pelan, menyadari bahwa perintah itu bukan sekadar permintaan, melainkan keharusan.
Setibanya di bandara, suasana menjadi lebih ramai. Bandara internasional itu dipenuhi oleh para pelancong, pebisnis, dan staf bandara yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Namun, kehadiran Adrasta dan Rania menarik perhatian banyak mata. Pasangan itu tampak seperti pasangan selebriti- Adrasta dengan karismanya yang memikat, dan Rania dengan kecantikannya yang anggun.
Bisikan-bisikan terdengar di antara kerumunan. "Itu Adrasta dan istrinya, Rania. Lihat betapa serasinya mereka."
"Rania sangat beruntung menikah dengan pria seperti Adrasta. Hidupnya pasti penuh kemewahan." Namun, di balik senyum yang dipaksakan, Rania merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. la tahu bahwa pandangan orang-orang itu hanya melihat permukaan, tanpa mengetahui realitas pahit yang ia alami.
Adrasta, dengan tangan yang melingkari pinggang Rania, membimbingnya menuju area VIP bandara. Di sana, sebuah pesawat pribadi sudah menunggu, siap membawa mereka ke pulau pribadi milik Adrasta.
Sebelum menaiki tangga pesawat, Adrasta berhenti sejenak, menatap Rania dengan intens. "Tunjukkan pada mereka, Rania," bisiknya sambil tersenyum tipis. "Tunjukkan betapa bahagianya kau sebagai istriku." Rania menatap mata Adrasta, mencari jejak kelembutan yang mungkin tersisa. Namun, yang ia temukan hanyalah ketegasan dan tuntutan.
Dengan napas yang ditahan, ia memaksakan senyum, mengangkat tangan untuk melambai pada beberapa orang yang masih memperhatikan mereka.
Adrasta mengangguk puas, kemudian membimbing Rania menaiki tangga pesawat. Di dalam kabin yang mewah, Rania duduk di kursinya, merasakan kelelahan emosional yang luar biasa.
la menatap keluar jendela, melihat landasan pacu yang akan segera mereka tinggalkan. Saat pesawat mulai bergerak, hati Rania berdebar kencang. Ia menyadari bahwa setiap kilometer yang mereka tempuh akan semakin menjauhkannya dari kehidupan yang pernah ia kenal, dan semakin mendekatkannya pada ketidakberdayaan.
Setelah menempuh perjalanan udara selama beberapa jam, pesawat pribadi yang ditumpangi Adrasta dan Rania akhirnya mulai menurunkan ketinggian, bersiap untuk mendarat di bandara internasional Malé, Maladewa. Negara kepulauan ini terkenal dengan pantainya yang berpasir putih dan air lautnya yang biru jernih, menawarkan pemandangan yang menakjubkan.
Bagi banyak orang, Maladewa adalah destinasi impian, namun bagi Rania, perjalanan ini dipenuhi dengan ketidakpastian dan kecemasan. Setelah mendarat, mereka disambut oleh staf pribadi yang telah menunggu dengan keramahan profesional.
Tanpa banyak bicara, Adrasta menggenggam tangan Rania dan membimbingnya menuju helikopter yang telah disiapkan untuk membawa mereka ke pulau pribadi milik Adrasta.