NovelToon NovelToon
Lihatlah Aku Dari Nirwana

Lihatlah Aku Dari Nirwana

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:622
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 4: Bocah Tengil

Betapa terkejutnya aku ketika melihat sosok laki-laki kurus kering yang terbaring lemas tak bergerak di atas ranjangnya. Seisi kamarnya terlihat dipenuhi dengan perlengkapan-perlengkapan medis yang berguna untuk mengatasi segala situasi darurat. Seluruh hidupnya sepertinya bergantung pada nutrisi dari cairan infus yang diinjeksikan ke dalam pembuluh darahnya.

Aku hanya bisa mematung saat memandangi kondisinya yang sangat memprihatinkan itu. Sejak memasuki kamar ini bersama Nyonya Hermawan, satu-satunya anggota tubuh yang bergerak dari pria itu hanyalah bola matanya saja. Sepertinya, orang di hadapanku ini menderita suatu penyakit yang membuatnya lumpuh total.

“Nyonya Hermawan, ini anak sulungmu?” Tanyaku untuk mengkonfirmasi identitas pria ini.

“Iya, namanya Raka Hermawan.” Ucapnya lirih, sambil duduk di tepian ranjang untuk mengusap-usap rambut anaknya.

Aku kemudian berjalan mendekat, lalu berlutut di sampingnya. “Maafkan aku karena bersikap lancang. Tapi, boleh aku tahu apa yang terjadi padanya?” Tanyaku dengan nada yang rendah untuk menunjukkan kesan iba.

Nyonya Hermawan menghembuskan napas berat dengan raut muka yang terlihat sangat sedih. “Raka terkena stroke fatal akibat bekerja terlalu keras.” Jawabnya pelan. Beliau lalu melihat ke arahku dengan mata yang tampak sedikit berkaca-kaca.

“Sejak kematian suamiku, Raka mau nggak mau harus jadi kepala keluarga. Dia bekerja dari pagi hingga sore di ladang agar bisa membiayai segala kebutuhan rumah tangga. Di malam hari, Raka harus rela mengorbankan jam istirahatnya untuk mencari Raditya yang selalu pulang telat setiap hari.” Tambahnya dengan suara yang bergetar nahan tangis.

“Begitu, ya.” Responku singkat, sambil memperhatikan Raka yang sedang menatap wajah Ibunya.

Dari sini, bisa disimpulkan kalau Raditya ingin mengambil seluruh lahan warisan ayahnya karena kondisi Raka yang sudah tidak memungkinkan untuk mengelola hak warisnya. Kalau dipikir secara logika, hal itu adalah hal yang masuk akal. Untuk apa berbagi harta warisan sama orang yang bahkan udah nggak mampu buat ngomong lagi?

Tapi, mengingat Nyonya Hermawan terlihat begitu pengen ngebagi rata lahan warisan itu, pasti ada sesuatu yang tersembunyi lebih dalam di baliknya.

“Mohon maaf sekali lagi, Nyonya Hermawan.” Ucapku dengan nada yang semakin merendah. “Melihat kondisi putra sulungmu ini, sepertinya dia udah nggak bisa ngelola harta warisan ayahnya. Tapi kenapa anda kelihatannya masih pengen buat ngebagi rata lahan warisan itu?”

“Soalnya, itu adalah keinginan terakhir suamiku.” Jawabnya singkat.

“Apa beliau punya surat wasiat?” Tanyaku lagi.

“Rasanya punya. Kalau nggak salah, sahabatnya yang berprofesi sebagai advokat pernah membuatkannya.”

Nah ini dia yang aku maksud! Surat wasiat! Sebagian orang mungkin masih ngira kalau surat wasiat itu cuma sekedar pesan terakhir dari seseorang yang mau meninggal. Tapi, surat wasiat ini sebenarnya punya kekuatan hukumnya sendiri, lho. Jadi, kalau perintah surat wasiat itu dilanggar, bakal terjadi sebuah perkara perdata yang ngerepotin banget nantinya.

“Boleh saya lihat surat wasiatnya?” Pintaku kepada Nyonya Hermawan, sambil mengambil posisi berdiri kembali.

“Boleh aja, sih. Tapi, kenapa anda pengen lihat?” Tanya Nyonya Hermawan dengan penuh rasa penasaran terhadap permintaanku yang tiba-tiba itu.

Aku kemudian mencoba untuk menunjukkan senyuman ramah yang terkesan agak heroik. “Karena aku mau mencegah Raditya yang berniat merampas seluruh lahan warisan itu untuk dirinya sendiri.” Yah, senyuman itu pasti terlihat terlalu dipaksakan, sih, tapi setidaknya aku udah berusaha sebaik mungkin.

...***...

Suasana mobil saat perjalanan pulang mendadak jadi sangat ramai gara-gara Alvie nggak berhenti ngomel perkara aku meninggalkannya sendirian di ladang. Dia benar-benar nggak terima karena aku mendapatkan jamuan hangat dari Nyonya Hermawan, sementara dia bersusah payah buat ngukur lahan cengkeh yang luas secepat mungkin. Saking betenya, dia bahkan sampai ngambek dan nggak mau nyetir mobilnya sendiri.

Aku sebenarnya mau menjelaskan apa yang terjadi, ditambah dengan menawarkannya sedikit kompensasi. Tapi, kecepatan ocehannya yang kayak Eminem itu benar-benar nggak ngasih celah sedikitpun buat ngomong. Kalau gini ceritanya, aku cuma bisa diam dan menunggu kesempatan untuk berbicara.

“Seriusan, deh. Kok bisa, sih, nggak manggil aku buat ikutan ke kediaman keluarga Hermawan? Gimana ceritanya tadi?” Nah, ini dia kesempatanku buat nyeritain apa yang terjadi.

“Nyonya Hermawan baru pulang dari pasar waktu aku mau ngopi di bawah pohon. Setelah ngobrol dikit, dia ngajak aku ke rumahnya buat ngomongin perkara warisan itu.” Jelasku dengan nada datar.

Aku kemudian mengambil sebuah stopmap kertas di sampingku yang di dalamnya berisi surat wasiat Tuan Hermawan. “Nah, sekarang, liatlah ini.” Ucapku lagi, sambil meletakkan stopmap itu di dada Alvie dengan gerakan yang sedikit kasar.

Alive membuka stopmap kertas itu, lalu membaca surat wasiat Tuan Hermawan dengan cermat. Setelah selesai, dia menyimpannya kembali dan meletakkannya di atas dashboard mobil.

“Jadi?” Tanyanya singkat dengan nada yang sedikit lebih bersahabat.

“Jadi, anak setan yang namanya Raditya ini berniat buat ngerampas seluruh lahan warisan milik ayahnya. Padahal, di surat wasiat itu, sudah tertera kalau lahan cengkeh milik Tuan Hermawan harus dibagi rata oleh kedua anaknya.” Aku mulai menjelaskan awal permasalahannya.

“Waduh, terus gimana caranya dia ngelakuin itu?” Tanya Alvie lagi dengan nada yang tiba-tiba berubah menjadi penasaran.

“Caranya adalah dengan bikin akta kematian palsu atas nama kakaknya, serta memanipulasi silsilah keluarganya. Bayangin aja, kalau aku nolak ajakan Nyonya Hermawan tadi, pasti aku bakal kena hukuman pidana karena dianggap ikut campur dalam penggelapan warisan.” Mata Alvie seketika membelalak mendengar penjelasanku itu.

“Lalu, apa yang mau kau lakukan sekarang?”

Aku menghela napas sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Alvie. “Yah, lihat aja nanti. Intinya, selama surat wasiat ini ada di tanganku, bocah tengil itu nggak bakalan bisa ngambil warisan ayahnya.”

...***...

Begitu kami memasuki wilayah Andawana, aku menawarkan Alvie untuk makan siang di sebuah restoran hotpot terkenal bernama Hwang Liu, sebagai kompensasi karena tadi telah meninggalkannya bekerja sendirian. Restoran ini memang menjadi salah satu tempat makan favorit kami, karena mereka berhasil mendapatkan izin untuk menyajikan minuman beralkohol, seperti bir dan anggur merah.

Setelah semuanya siap, kami pun langsung menyantap makan siang yang super enak ini dengan lahap. Alvie kelihatannya senang banget karena aku mentraktirnya kali ini. Sambil menyantap hidangan lezat ini, kami saling bertukar cerita dengan volume yang sedikit dinaikkan karena situasi sekitar yang sangat ramai. Wajarlah, ya, namanya juga jam makan siang.

“Mmm~” Suara adik kecilku yang lagi menikmati makanannya ini. “Owh, ya, Nawel! Adwa satwu gwim babwus yamng-”

“Telan dulu makananmu sebelum ngomong. Aku nggak ngerti apa yang kau katakan.” Potongku mendengar ocehan Alvie yang nggak jelas karena masih sibuk ngunyah.

“Glekk! Fwah…” Wah, dia nelennya maksain banget. Agak bahaya, sih, tapi ya sudahlah.

“Lalu, apa yang mau kau omongin tadi?” Tanyaku dengan nada datar yang terkesan agak malas.

“Oke, begini, Nael.” Nada Alvie tiba-tiba menjadi sangat antusias. “Ada satu game bagus banget yang baru rilis di pasaran. Kabar baiknya, kaset game itu udah dijual di marketplace tempat kita biasanya belanja.”

“Oh, gitu, ya.” Responku singkat, sambil menyantap suapan besar.

“Wah, kau kedengarannya nggak terlalu excited, ya. Apa yang terjadi? PlayStationmu udah rusak?” Tanyanya dengan nada yang berubah jadi bete.

“Masih bagus, kok. Kalau kau mau beli, kita patungan aja nanti.”

“Yey! Makasih, Nael!” Serunya terdengar bahagia.

Yah, entah kenapa dengan karirnya yang udah sukses di usia ke-35 tahun, Alvie masih aja suka ngekode sama aku buat patungan beli game baru. Aku jadi ingat kata Mama yang bilang kalau adik laki-laki itu nggak bakalan pernah bisa lepas dari kakaknya sampai kapanpun.

“Berarti, weekend ini aku mau menginap di rumahmu, ya, biar bisa main PS sampai pagi.” Ujarnya terdengar penuh antusias.

“Boleh aja.” Jawabku singkat, sambil bir yang telah kami pesan.

“Yah, sayangnya, kak Felicia udah nggak sama kita lagi. Biasanya, dia pasti bikin masakan yang enak kalau kita lagi kumpul bareng buat main PS.” Ucap Alvie dengan nada getir, sambil ikut meneguk bir miliknya.

Sama seperti Alvie, aku juga merasakan kerinduan yang berat terhadap masakan Felicia. Bahkan, lebih dari itu, aku merindukan segala hal tentang dirinya. Mungkin itulah sebabnya mengapa aku sempat halu mendengar bisikan Felicia saat ngopi di bawah pohon tadi. Sepertinya, alam bawah sadarku masih belum bisa move on dari sosok bidadari itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!