NovelToon NovelToon
Bayangan Terakhir

Bayangan Terakhir

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Identitas Tersembunyi / Dunia Lain / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Roh Supernatural
Popularitas:912
Nilai: 5
Nama Author: Azka Maftuhah

Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23 - CAHAYA DI BALIK LUKA

Cahaya pagi yang menembus jendela rumah sakit terasa lebih hangat dibandingkan dengan sebelumnya. Perlahan Elysia mulai membuka matanya, membiarkan pandangannya menyesuaikan dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Aroma antiseptik masih kental, suara mesin pemantau jantung berdetak pelan, dan udara terasa tenang.

Satrio duduk di kursi di dekat ranjangnya, tertidur dengan posisi kepala bersandar di tangan. Edric yang tengah berdiri di dekat jendela, memandangi langit dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Elysia menelan ludah, mencoba meredakan kekeringan di tenggorokannya. “Kita selamat?” suaranya lemah, hampir seperti bisikan.

Satrio terbangun mendengar suara itu, langsung mendekat dengan ekspresi lega. “Kau sadar…” gumamnya.

Edric menoleh dan tersenyum tipis. “Kita selamat,” katanya pelan. “Bayangan itu telah pergi.”

Namun, Elysia merasakan sesuatu yang mengganjal. Ia mengingat dengan jelas peristiwa terakhir di ruang antara—di mana ia melihat Resa tersenyum sebelum segalanya lenyap dalam cahaya. Tapi ada sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Tatapannya beralih ke meja kecil yang berada di samping ranjangnya, tempat segelas air dan beberapa dokumen medis tergeletak. Namun, yang menarik perhatiannya adalah sesuatu yang kecil dan berkilauan di antara kertas-kertas itu.

Elysia mengulurkan tangannya dan mengambil benda itu sepotong kaca cermin dengan ukuran yang kecil. Saat ia menatap permukaannya, refleksi yang muncul bukan hanya wajahnya sendiri. Untuk sepersekian detik, ia melihat sesuatu yang lain—atau lebih tepatnya, seseorang.

Resa.

Saudari kecilnya tampak tersenyum di dalam pantulan, bukan sebagai bayangan yang menakutkan, melainkan sebagai sosok yang damai.

Jantung Elysia seketika berdegup lebih cepat. Apakah ini hanya imajinasinya, ataukah Resa masih ada di suatu tempat, di antara dunia mereka?

Satrio melihat ekspresi Elysia dan mengerutkan kening. “Ada apa?”

Elysia menggenggam pecahan cermin itu erat. “Aku melihatnya…” bisiknya.

Edric melangkah mendekat, sorot matanya tajam. “Siapa?”

Elysia menelan ludah, lalu menatap kedua pria di hadapannya. “Resa. Aku masih bisa melihatnya.”

Hening sesaat. Edric dan Satrio saling bertukar pandang, lalu Edric berlutut di samping ranjang. “Elysia, kau tahu apa artinya ini?”

Elysia mengangguk pelan. “Dia mungkin tidak sepenuhnya pergi.”

Seiring waktu berlalu, Elysia mulai pulih dari luka-luka fisiknya, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang belum terselesaikan. Ia mulai meneliti kembali catatan-catatan lama Edric dan menyelidiki lebih dalam tentang asal-usul cermin itu.

Bersama Satrio dan Edric, mereka menemukan sesuatu yang lebih besar dari yang mereka bayangkan. Sebuah kebenaran yang lebih dalam tentang bayangan, cermin, dan jejak yang selama ini tersembunyi di balik dunia nyata.

Dan Elysia tahu…bahwa perjalanannya belum benar-benar selesai.

Elysia duduk bersandar di ranjang rumah sakit, masih menggenggam pecahan cermin itu erat di tangannya. Perasaannya juga masih bercampur aduk—lega karena selamat, tetapi juga gelisah karena melihat bayangan Resa lagi.

Satrio memperhatikan ekspresi Elysia yang tampak muram. “Apa kau yakin itu Resa?” tanyanya, suaranya penuh kehati-hatian.

Elysia mengangguk pelan. “Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku benar-benar melihatnya, Satrio. Dia tersenyum padaku.”

Edric, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Jika Resa masih bisa muncul dalam pantulan cermin, itu berarti dia belum sepenuhnya pergi.”

Elysia menatapnya dengan sorot mata penuh pertanyaan. “Tapi bukankah kita sudah menghancurkan cermin itu? Seharusnya semua yang ada di dalamnya juga lenyap.”

Edric menggeleng pelan. “Tidak sesederhana itu, Elysia. Dunia bayangan tidak hanya ada di dalam cermin. Ia juga bisa tersimpan dalam ingatan, dalam luka, dalam jejak yang belum tuntas.”

Kata-kata itu membuat Elysia merinding. Ia teringat semua kenangan masa kecil bersama Resa—cinta, pengabaian, perasaan bersalah yang ia bawa selama bertahun-tahun. Mungkin, Resa tidak bisa pergi karena sesuatu dalam dirinya yang masih mengikatnya.

Saat malam tiba, Elysia mencoba tidur, tetapi pikirannya tidak bisa tenang. Ia terus teringat pada pantulan Resa di pecahan cermin itu.

Setelah beberapa jam memejamkan mata tanpa hasil, ia akhirnya bangkit dan berjalan ke jendela. Kota masih terjaga, lampu-lampu jalan berpendar di kejauhan, menciptakan suasana yang tenang tapi menyimpan misteri.

Lalu, dari sudut matanya, ia melihatnya.

Bayangan seseorang berdiri di luar jendela, di lantai yang seharusnya tidak mungkin ada orang berdiri di sana.

Elysia terkejut, tubuhnya menegang. Jantungnya berdetak cepat saat ia perlahan menoleh.

Di balik kaca, sosok itu menatapnya. Rambut panjang tergerai, wajah pucat, mata yang mencerminkan kesedihan yang dalam.

Resa.

Elysia tidak bisa bergerak. Mereka hanya saling menatap, terpisah oleh kaca yang dingin.

Kemudian, bibir Resa bergerak, mengucapkan sesuatu tanpa suara.

“Temukan aku.”

Lalu, bayangan itu menghilang, lenyap begitu saja seolah hanya ilusi.

Elysia menghela napas gemetar. Itu bukan sekadar imajinasi. Itu adalah pesan.

Dan ia tahu, ada sesuatu yang belum selesai.

Keesokan harinya, Elysia menceritakan semuanya pada Satrio dan Edric. Mereka saling berpandangan dengan ekspresi serius.

“Kau yakin dia berkata ‘Temukan aku’?” tanya Satrio.

Elysia mengangguk. “Aku yakin.”

Edric menghela napas panjang. “Jika itu benar, maka Resa masih terjebak di suatu tempat. Kita harus mencari tahu di mana.”

“Tapi bagaimana?” tanya Elysia. “Cermin utama sudah hancur. Kita tidak punya jalan masuk lagi ke dunia bayangan.”

Satrio berpikir sejenak, lalu berkata, “Mungkin tidak semua cermin sudah musnah.”

Keduanya menoleh padanya.

“Apa maksudmu?”

Satrio menyandarkan diri ke kursi. “Cermin utama memang hancur, tapi kita tidak tahu apakah ada cermin lain yang terhubung dengan dunia bayangan. Jika Resa masih bisa muncul, mungkin ada portal lain yang belum kita ketahui.”

Elysia merasa bulu kuduknya meremang. Kemungkinan itu… masuk akal.

Edric menatap pecahan cermin di tangan Elysia. “Dan mungkin, pecahan itu adalah kuncinya.”

Malam itu, Elysia memandangi pecahan cermin di tangannya. Pantulannya tak lagi jernih, seperti ada kabut tipis yang menyelimuti permukaannya. Setiap kali ia menatapnya lebih dalam, hatinya dipenuhi dengan rasa rindu yang bercampur dengan ketakutan.

“Resa...” bisiknya pelan.

Sejak pertemuan terakhir di dunia bayangan, Elysia tidak bisa berhenti memikirkan adiknya. Apakah Resa benar-benar sudah pergi? Ataukah masih ada bagian darinya yang tertinggal di antara dua dunia?

Ketika Elysia hampir menutup mata, suara samar terdengar di dalam kepalanya. Suara yang begitu familiar.

"Aku masih di sini..."

Elysia tersentak dan membuka mata lebar-lebar. Ruangan di sekelilingnya masih sama, tetapi hawa dingin tiba-tiba menyelimuti tubuhnya. Ia menatap pecahan cermin di tangannya.

Dan saat itu juga, sesuatu berubah.

Pantulan di cermin tidak lagi menunjukkan wajahnya sendiri. Sebagai gantinya, ada sosok lain—Resa.

Tapi kali ini, bukan Resa yang tersenyum seperti sebelumnya. Wajahnya tampak sedih, matanya penuh luka yang tak terungkap.

"Kak... kau harus menemukanku..."

Suara itu begitu lirih, tetapi menusuk hati Elysia seperti pisau tajam.

"Di mana kau, Resa?" Elysia berbisik dengan suara gemetar.

Pantulan Resa perlahan memudar, meninggalkan bayangan yang membentuk sesuatu—sebuah rumah tua.

Elysia mengenali tempat itu. Itu adalah rumah lama keluarga mereka, yang telah lama ditinggalkan.

Keesokan harinya, Elysia kembali menceritakan semuanya kepada Satrio dan Edric.

“Kau yakin itu rumah lamamu?” tanya Satrio dengan ekspresi waspada.

Elysia mengangguk. “Aku mengenali setiap detailnya. Itu tempat kami tumbuh bersama.”

Edric menghela napas. “Jika Resa masih meninggalkan jejak di sana, mungkin ada sesuatu yang belum selesai. Kita harus pergi ke sana.”

Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah tua itu, tempat di mana semuanya bermula.

Setibanya di sana, suasana terasa berat. Rumah itu tampak lusuh, tertutup debu dan dedaunan kering yang tertiup angin. Jendela-jendelanya pecah, dan pintu kayu tua itu berderit saat mereka mendorongnya terbuka.

Udara di dalamnya terasa lebih dingin daripada di luar. Seolah-olah tempat itu masih menyimpan sesuatu—sebuah rahasia yang belum terungkap.

Elysia melangkah masuk dengan hati-hati. Setiap sudut ruangan membangkitkan kenangan lama—tawa masa kecil, bisikan di malam hari, dan bayang-bayang yang terus menghantuinya.

Kemudian, ia melihatnya.

Sebuah cermin tua berdiri di sudut ruangan. Tidak sebesar cermin utama yang telah mereka hancurkan, tetapi cukup besar untuk menimbulkan kegelisahan di hatinya.

Permukaannya retak, tetapi masih memantulkan cahaya samar.

Dan di dalamnya, bayangan Resa berdiri diam.

“Temukan aku...”

Suara itu bergema di seluruh ruangan.

1
Isa Mardika Makanoneng
baru awal udah tegang aja kk
Lalula09
Gokil!
Koichi Zenigata
Seru abiss
Graziela Lima
Ngebayangin jadi karakternya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!