Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pertama yang Menghancurkan Harga Diri
Langit malam tampak kelabu, seolah turut meresapi beban berat yang menghimpit dada Ayla. Awan menggantung muram, seakan menyiratkan bahwa malam ini bukanlah malam biasa. Angin berembus dingin, menusuk lembut kulitnya yang kini dibalut gaun hitam pendek—bukan miliknya, melainkan milik tempat yang akan memperkenalkannya pada sisi gelap kehidupan, dunia kelam yang selama ini hanya ia kenal lewat cerita-cerita murahan, kisah yang dulu hanya sebatas bisikan dan bayangan di sudut pikirannya.
Tangan Ayla sedikit gemetar, menahan gelisah yang tak mampu ia sembunyikan. Bibirnya dipulas merah pekat, mencolok dan mencuri perhatian, matanya dihias tajam dengan eyeliner yang membingkai tatapannya—tatapan yang tampak tegas di permukaan, namun menyimpan getir dan keraguan di kedalamannya. Tidak ada riasan yang benar-benar mampu menyamarkan kegundahan yang menyelinap diam-diam dari balik sorot matanya.
“Bukan ini yang aku inginkan…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar, kepada bayangan dirinya sendiri yang terpantul di cermin kecil yang tergantung di dinding ruang belakang restoran mewah itu—cermin yang seakan memantulkan kegamangan, sekaligus menjadi saksi bisu atas langkah yang belum tentu ingin ia tapaki.
Restoran itu tampak begitu elegan dari luar—berkelas, bersih, dengan sentuhan arsitektur yang mencerminkan kemewahan dan kesempurnaan. Aromanya harum, semerbak rempah-rempah mewah yang menggoda siapa saja yang melintas di depannya. Dari luar, tak ada yang akan mengira bahwa di balik dinding tebal yang menjulang itu, tersembunyi dunia malam yang hanya dikenal oleh segelintir orang—dunia gelap yang tak terjamah oleh cahaya pagi, dunia yang membungkus luka dengan gemerlap, lalu menampilkannya seolah segalanya baik-baik saja.
Di sanalah tempat para pria berdasi tinggi datang bukan hanya untuk makan malam atau sekadar menikmati musik lembut yang mengalun, tapi untuk mencari pelarian dari hidup mereka yang berisik—pelarian yang dibungkus dengan senyum wanita-wanita berbalut gaun tipis dan tubuh yang harum, yang menjual luka demi sejumput kehidupan, demi lembaran rupiah yang bisa membawa mereka bertahan sehari lagi.
Dan di balik semua itu, berdiri tegak seorang wanita yang disegani sekaligus ditakuti—sosok yang dikenal dengan nama Mami Jenny. Ia bukan sekadar pemilik restoran, melainkan pengatur segala urusan di balik dapur mewah tempat itu. Ia tahu siapa yang datang, siapa yang pergi, siapa yang menyembunyikan luka, dan siapa yang mencoba bertahan. Ia adalah ‘penjaga’ dunia malam yang tersembunyi di balik gemerlap restoran tersebut, tempat para wanita menggantungkan hidup, harapan, dan kadang—air mata.
Mami Jenny dikenal sebagai wanita keras, berwibawa, dengan tutur kata yang tajam namun penuh perhitungan. Tapi di balik ketegasannya, terselip sisi keibuan yang sering kali muncul dalam diam—sentuhan lembut yang ia berikan pada anak-anak gadis yang datang padanya dalam keadaan terpuruk. Senyum manisnya selalu terpulas rapi, parfum menyengat selalu melekat pada tubuhnya, dan langkahnya yang mantap selalu membawa aura dominan yang membuat orang segan bicara sembarangan.
Namun, siapa sangka, wanita sekuat Mami Jenny juga menyimpan sejarah panjang—tentang perjuangan yang getir, luka yang tak terlihat, dan kelicikan dunia malam yang pernah menginjak-injak harga dirinya. Ia dulu juga pernah terjatuh dalam kehidupan yang sama—pernah menjadi salah satu dari mereka yang kini ia lindungi. Tapi ia bangkit, membangun tempat ini bukan hanya sebagai ladang usaha, melainkan sebagai benteng pertahanan—agar wanita lain yang bernasib serupa bisa bertahan tanpa harus dilumat habis oleh kerasnya kehidupan. Tempat itu menjadi rumah bayangan—tempat berteduh dari hujan luka yang tak pernah benar-benar reda.
Pintu terbuka perlahan, menimbulkan suara berderit lembut yang mengisi keheningan ruangan. Aroma parfum khas segera menyusup ke udara, diikuti oleh sosok wanita yang memasuki ruangan dengan langkah anggun dan percaya diri. Gaun merah menyala membalut tubuh Mami Jenny dengan sempurna—menampilkan keanggunan sekaligus kekuasaan yang terpancar dari setiap gerakannya. Kalung emas besar menggantung megah di leher jenjangnya, berkilau setiap kali terkena pantulan cahaya lampu. Jemarinya yang lentik, dihiasi cincin-cincin mewah, menggenggam secangkir teh hangat yang mengepul perlahan, menyebarkan aroma menenangkan di antara ketegangan yang menggantung di udara.
“Kamu cantik malam ini,” ujarnya dengan nada lembut namun penuh makna, sembari meletakkan cangkir teh di atas meja kecil yang berada dekat dengan tempat Ayla duduk.
Ayla hanya menoleh sekilas, menyembunyikan gugup dalam sorot matanya. Senyum tipis terpaksa ia tarik di wajahnya, semacam respons sopan yang nyaris tak sampai ke matanya. “Terima kasih, Mami…” ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam detak jantungnya yang berdegup semakin cepat.
Mami Jenny duduk di sampingnya, menyilangkan kaki dengan elegan. Setiap gerakannya begitu terukur, seolah dunia ini memang tempatnya berkuasa. Tatapannya tajam, namun malam itu terlihat sedikit lebih lembut—seperti seorang ibu yang tahu anaknya akan memasuki dunia yang tak lagi ramah.
“Deg-degan, ya?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan, namun cukup dalam untuk menyentuh bagian hati yang paling rapuh.
Ayla tidak menjawab langsung. Ia hanya menunduk, menatap gaun yang membalut tubuhnya, lalu menarik napas panjang, seolah mencoba menguatkan dirinya sendiri. Mami Jenny tahu perasaan itu. Ia mengenalnya dengan baik—perasaan canggung, takut, bingung, sekaligus terpaksa. Dan malam itu, Ayla sedang berdiri tepat di titik yang dulu pernah Mami pijak.
Ayla menarik napas panjang. “Aku bahkan masih berharap ini semua cuma mimpi. Tapi kenyataannya… aku akan menjual harga diriku hanya demi lembaran uang.”
“Jangan berpikir seperti itu, Sayang,” ujar Mami Jenny, menepuk lembut punggung tangannya. “Kamu bukan menjual harga diri. Kamu hanya berjuang dengan cara yang tak semua orang bisa pahami.”
Ayla tertawa getir. “Apa bedanya, Mi? Aku akan tidur dengan pria asing malam ini. Pria yang bahkan tidak tahu namaku.”
Mami Jenny mengangguk pelan. “Tapi kamu melakukannya bukan untuk kesenangan. Kamu melakukannya demi adikmu. Itu membuatmu berbeda.”
Mata Ayla mulai berkaca-kaca. “Adik itu satu-satunya keluargaku… Dia belum tahu aku akan melakukan ini. Kupikir lebih baik dia tak pernah tahu.”
“Dan memang jangan sampai tahu,” kata Mami Jenny tegas. “Biarlah semua luka kamu tanggung sendiri. Tapi kamu akan lihat nanti, Sayang… ketika dia sembuh, kamu akan tahu semua ini tidak sia-sia.”
Hening sejenak.
Mami Jenny lalu berdiri, mengambil map merah dari atas meja. “Satu hal lagi. Karena kamu istimewa malam ini—karena ini pertama kalinya kamu turun lapangan—aku beri kamu klien yang juga baru pertama kali datang ke sini.”
Ayla menoleh cepat. “Baru pertama kali juga?”
“Iya,” jawab Mami Jenny. “Katanya dia nggak pernah tertarik dengan dunia beginian. Tapi malam ini, dia bilang ingin… melupakan dunia sejenak.”
“Kenapa harus aku?”
“Karena kamu beda. Kamu masih punya aura polos, tapi cukup menggoda. Itu yang dia minta.”
Mami Jenny tersenyum kecil. “Lagipula… pria ini bukan orang sembarangan. Dia… teman lama restoran ini, tapi sangat tertutup. Bahkan pakai nama samaran: Mr. L.”
Ayla mengernyit. “Nama asli?”
“Dirahasiakan. Tapi satu yang pasti, dia orang penting.”
Ayla kembali menunduk. Degup jantungnya makin tak menentu. Ia tak tahu siapa pria itu, dan ia juga tak peduli. Yang ia tahu, malam ini harus segera selesai.
“Ayla…” Mami Jenny memegang tangannya sekali lagi. “Kalau kamu ingin menangis setelah ini, menangislah. Kalau kamu ingin marah, marahlah. Tapi jangan pernah merasa kamu hina karena ini. Dunia memaksa kita jadi kuat dengan cara yang menyakitkan.”
Ayla menahan napas, lalu mengangguk perlahan.
Kamar hotel itu terasa sunyi. Lampu remang menciptakan bayangan lembut di setiap sisi. Ayla berdiri mematung di dekat jendela, menatap kota yang gemerlap dari lantai tinggi. Hatinya kosong. Waktu terasa berjalan sangat lambat, seolah memberinya kesempatan terakhir untuk mundur.
Namun tak lama kemudian…
Ceklek.
Pintu terbuka.
Langkah kaki terdengar berat dan agak limbung. Ayla menoleh, dan seketika matanya melebar. Wajah yang muncul dari balik pintu adalah wajah yang sangat ia kenal—Leonard Aryasatya.
CEO utama tempat ia bekerja setiap hari.
Tapi pria itu tampak berbeda malam ini. Jas mahalnya sedikit kusut, dasinya longgar, dan langkah kakinya sedikit terhuyung. Aroma alkohol kuat langsung menyeruak ke udara. Baunya menusuk hidung Ayla, membuatnya makin panik. Tak hanya karena identitas pria itu, tapi karena ia tak pernah membayangkan, malam pertamanya akan seperti ini.
Leonard sedang mabuk.
Matanya sayu, tapi penuh hasrat. Tatapannya liar dan tak fokus.
“Hm…” Leonard mendekat sambil menatap Ayla dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu Lara?”
Ayla nyaris kehilangan suara. Ia terpaksa mengangguk pelan. “I—iya… saya Lara.”
Leonard hanya tertawa kecil. “Kamu… cantik.”
Sebelum Ayla sempat bicara, tangan pria itu menarik lengannya kasar dan mendorongnya ke ranjang besar di tengah ruangan. Tubuh Ayla jatuh telentang, dan jantungnya langsung berdegup kencang tak karuan.
“Maaf… saya… belum siap…” gumam Ayla pelan, mencoba menahan gerakan pria itu.
Namun Leonard justru mendekat, menatap wajah Ayla lebih dalam. “Aroma tubuhmu…"
Ayla mencoba tersenyum kaku. “Saya… hanya wanita yang disuruh menemanimu malam ini.”
Leonard menunduk, wajahnya makin dekat. Aroma alkoholnya membuat Ayla nyaris mual. Tapi ia bertahan. Ia menahan tangis. Ia mencoba tetap tenang, walau hatinya sudah hancur.
Dan malam itu… adalah awal dari segalanya.
Malam ketika harga dirinya jatuh, dan kehidupan Ayla berubah selamanya.