Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Di dalam Keteduhan itu
Pada dasarnya Titi Gantung yang berada di pusat kota Medan merupakan jembatan penyeberangan dan akses cepat menuju stasiun kereta api. Sisi kanan luar stasiun yang didominasi pedagang buku bekas membuat jembatan menjadi penghubung stasiun dengan toko-toko buku. Belakangan, para pedagang juga menjajakan jualannya di jembatan membuatnya kian semrawut.
Ketika Dion dan Wina tiba, Titi Gantung sangat ramai pengunjung. Keduanya yang baru menaiki jembatan sudah dihujani penawaran para pedagang.
Ketika mulai memasuki area utama, keadaan sudah sangat sesak. Wina yang tidak terbiasa dengan keadaan itu mulai kesulitan menjaga jarak dengan Dion. Beberapa kali ia harus membiarkan orang lain melintas di antara keduanya.
Menyadari kesulitan Wina, Dion memperlambat langkahnya tapi justru membuat keadaan lebih parah. Bukan cuma trafik dari depan, kini mereka juga harus memperhatikan desakan dari belakang, oleh orang-orang yang ingin mendahului.
Dion merasa kasihan pada Wina. “Harusnya memilih hari yang lebih sepi untuk berkunjung kemari,” ujar Dion dalam hati.
Setelah berjuang melawan keraguan dan rasa gugup, Dion memberanikan diri untuk coba meraih tangan Wina agar gadis itu tak terpisah darinya.
Wina yang mulai merasa pusing, menyambut sodoran itu. Ia malah langsung meraih dan memegangi lengan kiri Dion dengan erat sehingga keduanya berjalan berdempetan.
Tak hanya itu, ia kemudian memegangi lengan kiri Dion dengan tangan kiri, membuatnya seolah bergelantungan pada tubuh pemuda jangkung itu.
Cara itu berhasil. Desakan pejalan kaki dari depan dan belakang tak berpengaruh banyak bagi langkah keduanya. Rasa pusing Wina berangsur hilang. Ia kini merasa lebih tenang dan terlindung.
Dion yang sempat melawan rasa gugup juga tampak bisa menguasai keadaan. Rupanya rasa gugupnya itu dikalahkan oleh rasa ingin melindungi Wina yang tadi terlihat cemas dan pucat.
Beberapa jauh berjalan, Dion membelokkan langkah mereka memasuki lorong yang tidak seramai lajur utama.
“Aku punya kenalan di sini,” ujar Dion yang disahut oleh Wina dengan anggukan.
Wina melepaskan tangan kirinya tapi tangan kanannya masih tetap memegangi lengan Dion. Mungkin ia merasa takut kalau-kalau keadaan tiba-tiba berdesakan kembali.
“Hei Dion!” seru seorang pemuda yang berdiri di belakang etalase kaca sambil melambaikan tangan. Toko itu lumayan besar karena merupakan gabungan dari dua kios.
“Oi Andi!” balas Dion lalu melangkah mendekati etalase.
“Dari mana mau ke mana kalian?” tanya pemuda itu sambil menatap sejenak pada Wina dengan tersenyum.
Sadar kalau ia masih memegangi lengan Dion, Wina melepaskan tangannya dan membalas senyuman Andi.
“Piye kabare, Brother!” sapa Dion lalu menyodorkan tangannya untuk menyalami Andi.
“Apik-apik wae,” jawab Andi. Dion lalu memperkenalkan Wina pada sahabatnya itu.
“Pak, neng kene Dion!” seru Andi pada pria paruh baya di belakangnya.
Mendengar seruan itu, pria paruh baya yang dikenal Dion sebagai Pakde Sugeng, tersenyum menghampiri mereka.
“Suwe ora ketemu awakmu, Le!” sapanya menyalami Dion.
“Calonmu? Ayune!” tambahnya kemudian lalu menyalami Wina.
“Ora Pakde! Iki kancaku, jenenge Wina” jawab Dion.
“Ora opo durung?” canda ayah Andi itu kemudian.
“Nek jodo yo bakal jadi, nek ora jodo yo tak kondangan wae,” Dion ikutan bercanda.
“Karo nyumbang lagu kandas?” sambung Pak Sugeng lalu tertawa sambil geleng-geleng kepala.
Sang Ayah menggantikan Andi yang sedang melayani pelanggan lain. Membiarkan anaknya itu ngobrol dengan temannya di dalam toko.
“Andi ini teman sekolahku. Tapi tidak satu kelas. Dulu kalau aku main ke Titi Gantung pasti singgah di sini,” jelas Dion pada Wina.
Andi juga merupakan korban PHK karena Hotel tempatnya bekerja juga mendadak sepi. Ia kini membantu usaha ayahnya sembari melamar pekerjaan lain.
Dion pun menyampaikan maksud mereka mengunjungi Titi Gantung, yakni membeli beberapa buku buat Wina.
“Toko ini spesialisasinya bagian hukum. Untuk jurusan pertanian ada di lorong sebelah. Catatkan saja judulnya, nanti aku carikan ke sana. Nggak lama kok,” Andi menawarkan bantuan.
“Malah ngerepotin, Mas. Lagipula kan cuma di lorong sebelah,” tolak Wina halus.
“Bukan begitu. Kalau Mas Andi yang mengambilkan, kita akan mendapatkan harga lebih murah,” bisik Dion pada Wina seolah tidak ingin kalimatnya didengar oleh orang lain. Bisikan itu diikuti oleh anggukan Andi.
“Baiklah,” sahut Wina lalu mencatatkan judul buku-buku yang ia butuhkan di atas secarik kertas dan memberikannya pada Andi.
“Harganya bagaimana, Mas?” tanya Wina kemudian.
“Oh, itu nanti saja. Saya ambilkan bukunya saja dulu,” jawab Andi.
“Bukan apa-apa, Mas. Takut uangnya kurang,” kilah Wina lagi sambil tersenyum.
“Kalau uangnya kurang, suruh Dion yang bayar. Kalau Dion juga nggak ada, bayar besok. Kalau nggak bisa besok, yo Minggu depan. Sudah, jangan khawatir, Mbak! Aku dan Dion sudah lama temenan,” ujar Andi meyakinkan Wina. Gadis itu pun menganggukkan kepala tanda setuju.
“Oh iya, kalian pasti haus. Mau minum apa?” tanya Andi pada kedua tamunya.
“Jangan repot-repot, Mas! Air putih saja,” sahut Wina.
“Yang dingin, ya!” sambung Dion dibalas acungan jempol oleh Andi yang lalu meninggalkan tamunya sementara Pak Sugeng terus saja sibuk melayani pelanggan yang datang silih berganti.
Wina kemudian melihat-lihat buku-buku yang tertata rapi di rak toko itu. Ia mengagumi bagaimana buku-buku ilmu hukum itu ditata dan disusun berdasarkan kategori tertentu, padahal jumlahnya pasti ribuan.
Wina yang tak menemukan buku yang menarik duduk di hadapan Dion yang tampak sedang membaca sebuah buku.
“Dion bisa bahasa Jawa, ya?” tanya Wina.
“Cuma dikit-dikit, Kak!” jawab Dion lalu menghentikan aktivitasnya dan mengembalikan buku ke rak di sampingnya.
“Sedikit apanya? Tadi ngomongnya lancar,” Wina tak percaya.
“Kalau orang bicara bahasa Jawa pasaran, aku bisa mengerti sekitar 75 persennya. Tapi kesulitan ngomong soalnya jarang practice, sih!” jelas Dion.
“Trus tadi apa itu ngomong-ngomong ‘calon’, trus ‘jodoh-jodoh’?” tanya Wina kemudian.
“Nah, kakak sendiri kan ngerti Bahasa Jawa ternyata,” Dion coba berkelit.
“Nggak. Ayo bilangin! Tadi ngomongin apa?” tanya Wina kini dengan mata membesar seolah memberi ancaman agar Dion menjawab dengan jujur.
Dion semakin akrab dengan ekspresi itu. Tatapan yang membuat pertahanan Dion runtuh, tak bisa mengelak lagi.
“Tadi Pakdhe tanya kalau Kak Wina itu calonku, ya aku jawab bukan,” terangnya.
“Trus, itu jodoh-jodoh?” tanya Wina lagi masih dengan ekspresi yang sama.
“Aku bilang, kalau jodoh nggak akan ke mana, abis aku tak tahu mau jawab apa,” jelas Dion diplomatis.
“Oh!” cuma itu yang keluar dari mulut Wina.
“Kakak sih, pegangin tanganku tadi jadinya mereka berpikir kalau kita ini pasangan,” ujar Dion kemudian.
“Emang pacar kamu marah kalau aku pegangin tanganmu?” tanya Wina.
“Kan nggak punya pacar, Kak,” sahut Dion.
“Ya itu. Kamu sudah jawab sendiri toh? Pelit amat!” kata Wina yang merasa memenangkan argumen.
Dion yang di dalam hati membenarkan pernyataan Wina jadi tersenyum dan garuk-garuk kepala.
“Tadi kakak kelihatan sampai pucat. Kalau ke sini jangan pernah sendirian, ya?” cetus Dion terdengar serius setelah beberapa saat.
Wina tak segera menjawab. Ia mengenang kesulitannya tadi di mana ia sudah hampir menyerah. Ia memang tak terbiasa dengan keadaan seperti itu. Berjibun orang berjalan berdesakan begitu rapat tak beraturan membuatnya pusing.
Ketika menoleh ke arah Dion, Wina mendapati pemuda itu masih memandanginya, seolah masih menunggu jawaban.
Ia melihat sorot mata Dion berbeda dari biasanya. Wina mendapati mata sendu seolah menyimpan kesedihan itu sedang menatapnya dalam-dalam, seakan menembus dirinya.
Untuk sesaat, Wina memandangi bola mata Dion, atau lebih tepatnya menantang tatapan itu. Ia baru menyadari Dion memiliki bola mata kecoklatan yang teduh menawarkan kedamaian. Sorot yang berbeda dari tatapan kebanyakan pria yang selama ini mendekatinya.
Semakin menantang tatapan itu, semakin Wina merasa tak kuat.
Ia ingin menyerah.
Ia ingin berada di sana, di dalam keteduhan itu.
Wina yang selama ini merasa superior, kini takluk. Ia pun menurunkan pandangannya dan berkata lirih, “Ioh. Mar Dion batamang akang, neh!”
Dion tak menjawab permintaan Wina karena Andi sudah masuk kembali ke toko. Ia meletakkan plastik yang berisi botol-botol air mineral dan menyerahkan setumpuk buku pada Wina.
“Cek dulu, Mbak. Apa benar itu buku-bukunya,” kata Andi.
Wina memeriksa buku-buku pesanannya. Andi memang membawakan buku yang sesuai dengan yang ia inginkan. Setelah menanyakan harga keempat buku itu, Wina kemudian membayarnya.
“Wah harganya memang jauh lebih murah,” Wina senang karena bisa menghemat.
“Kalau Mbak Wina mau belanja buku, ke sini saja. Nanti aku atau Bapak akan carikan. Khusus untuk Mbak kami kasih harga modal. Tapi khusus Mbaknya, lho! Demi Dion,” cetus Andi sambil melirik ke arah Dion.
“Apa sih!” seru Dion heran pada Andi tapi kemudian tertawa sementara Wina tersenyum mengangguk.
Ketiganya kemudian terlibat obrolan. Sesekali Wina yang sudah berhasil mengakrabkan diri menimpali candaan kedua pemuda itu.
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 3 sore ketika Dion berpamitan pada Andi dan Pakdhe Sugeng.
“Jaga dheweke kanthi becik, Le” kata Pakde Sugeng pada Dion saat berpamitan.
“Nggih! Pakdhe, awake dewe nyuwun pamit rumiyin, amargi samenika wekdalipun sampun sonten,” sahut Dion sopan sambil menyalami Pakdhe Sugeng untuk pamit.
“Yo wes! Ngati-ngati neng dalan!” kata Pakdhe Sugeng melepas mereka.
...***...
Keduanya belum berjalan jauh meninggalkan toko buku Pakdhe Sugeng ketika Wina protes kepada Dion.
“Dion bohongin Wina yah?”
“Bohong soal apa, Kak?”
“Katanya tadi cuma tahu Bahasa Jawa sedikit-sedikit.”
“Aku cuma bilang, ‘kami berdua mau pamit Pakdhe, soalnya hari sudah mulai sore’, gitu, lho,” jelas Dion.
Wina tak menanggapi penjelasan Dion. Ia masih tak percaya.
“Mereka baik, ya!?” komentar Wina kemudian.
“Dorang se keluarga pang bae-bae, noh,” sahut Dion sambil membelokkan langkah menuju jalur utama pertokoan itu yang sudah tidak seramai dua jam tadi.
Wina tiba-tiba meraih lengan kiri Dion dengan erat, mungkin karena masih trauma dengan kejadian sebelumnya. Kali itu tak ada rasa canggung di hati Dion. Hatinya dilingkupi bahagia karena bisa melindungi gadis pujaannya.
“Kita menunggu angkot bernomor sama dengan sebelumnya karena yang tadi melewati mall dekat rumahmu,” jelas Dion ketika mereka keluar dari area penjualan buku bekas dan kini berdiri di depan stasiun kereta api.
“Dion, kita naik itu, yuk!” seru Wina sambil menunjuk becak bermotor yang mengantri di depan stasiun.
“Kakak yakin?”
“Iya. Aku belum pernah naik itu.”
“Tapi nanti wajah jadi berdebu.”
“Gak apa-apa. Yuk, please!”
Dion menyetujui permintaan gadis itu dan menaiki salah satu becak bermotor setelah terlebih dahulu tawar menawar ongkos.
Wina sangat gembira menaiki becak yang meliuk-liuk membelah kemacetan kota Medan. Laju kencang becak membuat rambutnya berkibar membuat gadis itu tak henti-hentinya tersenyum dan tertawa senang. Sesekali ia juga berteriak histeris karena merasa becak akan menabrak kendaraan lain.
Dion tak bisa menahan hasratnya untuk memandangi Wina. Dalam lamunannya, perempuan yang duduk di sampingnya itu adalah makhluk ajaib, seperti bidadari. Kegembiraan Wina seolah merasuki dirinya membuatnya merasakan hal yang sama.
“Dion lihat! Toko itu punya nama sama denganmu!” seru Wina tertawa membuyarkan lamunan Dion.
Laju becak yang cepat ditambah keahlian pengemudi memangkas waktu perjalanan. Kini, Becak sudah melintasi pusat perbelanjaan besar dekat rumah Wina ketika gadis itu tiba-tiba minta berhenti.
“Kita berhenti di sini saja, aku mau beli sesuatu. Dion temenin, ya,” kata Wina yang turun dari becak tanpa menunggu jawaban Dion lalu membayar ongkos.
Dion mengikuti Wina memasuki pusat perbelanjaan untuk membeli keperluan sehari-hari.
Dion bertugas memegangi keranjang, sementara sang gadis memilih barang belanjaannya. Keranjang itu hampir penuh ketika akhirnya Wina mengajaknya antre di kasir.
Usai membayar, Wina kemudian mengajak Dion mengunjungi toko garmen untuk membeli dua bed-cover yang terkemas dalam plastik berukuran besar.
Meskipun kini kedua tangan Dion sudah penuh oleh belanjaan, Wina masih mengajaknya untuk mengunjungi toko lainnya, membeli rak pakaian portable. Rak itu dijual dalam keadaan belum dirangkai dan dikemas dalam kotak yang lumayan besar juga.
Butuh usaha ekstra bagi Dion untuk mengikuti Wina menuruni eskalator. Tangan kiri memegangi plastik belanja harian, sementara tangan kanan memegangi kotak rak pakaian dan dua bed-cover yang ia angkat di pundak. Sesaat ia menyesali diri kenapa tidak menggunakan shopping cart dari swalayan tadi.
Pusat perbelanjaan itu tampak ramai, mungkin karena akhir pekan. Wina mengajak Dion untuk keluar menggunakan pintu samping yang lebih dekat dengan rumahnya ketimbang menggunakan pintu utama.
Tapi sebelum mencapai pintu keluar, Wina berhenti dan meminta Dion menurunkan belanjaan dari pundak.
“Tuh ada promosi pijat refleksi, aku mau coba. Yuk!” ajak Wina.
“Ih, Kak Wina seperti orang tua saja. Baru jalan sedikit minta pijat,” Dion berusaha menolak.
“Kalau Dion gak mau, temenin aku saja,” kata Wina yang kemudian tanpa meminta persetujuan Dion sudah berbicara dengan petugas pijat refleksi itu.
“Ini promo, Kak! Gratis selama 10 menit,” terang wanita itu.
“Gratis Dion, yuk!” Wina mengulangi ajakannya.
Akhirnya Dion setuju, lagipula sudut di mana tenan promosi pijat refleksi itu berada tak seramai di lobi utama.
Setelah melepas sepatu, Dion dan Wina dipersilakan rebahan di sofa empuk bersandaran rendah disambut terapis wanita dan pria. Terapis disesuaikan dengan jenis kelamin pelanggan.
“Kakinya kenapa, Mas? Sampai biru begini,” tanya terapis pria yang mulai menggulung celana panjang Dion agar leluasa melakukan pijatannya.
“Kena tendang, Mas, karena persoalan hati,” jawab Dion.
Mendengar itu, Wina sontak bangkit untuk melihat keadaan kaki Dion, membuat aktivitas pijat yang tadi sudah dimulai terhenti.
“Duh, ini gak apa-apa, toh?” tanya Wina cemas kepada pria petugas refleksi setelah melihat tanda biru memar di kaki kanan Dion.
Sambil menyentuh pelan area pinggiran memar, Wina yang cemas kemudian berkata pada Dion, “Sakit nggak? Kenapa nggak berobat?”
“Sepertinya tidak apa-apa kok, Mbak! Memarnya nggak parah, lagipula sudah hampir sembuh,” jelas pria petugas pijat menenangkan Wina.
“Maaf yah! Aku gak menyangka sampai segini,” kata Wina dengan nada menyesal pada Dion.
Dion yang dari tadi menahan tawa akhirnya tak bisa menahan suara cekikikan keluar dari mulutnya. Wina yang terheran hanya diam menunggu penjelasan.
“Yang kena tendang kemarin kan kaki kiri. Nah, yang memar ini kaki kanan,” jelas Dion masih tertawa lalu menggulung celana kaki kirinya.
“Kalau yang ini benaran masih sakit,” sambung Dion mengelus sayang kaki kirinya yang baik-baik saja. Tidak ada tanda apa-apa di sana.
Sadar ia dikerjai, Wina yang cemberut mencubit lengan Dion lalu kembali ke sofa rebahnya.
“Aduh, sakit!” keluh Dion kini berganti mengelus lengannya.
“Trus, itu kenapa sampai memar begitu?” tanya Wina kemudian yang mulai menerima pijatan dari terapis wanita.
“Terbentur meja tiga hari lalu waktu berlari mengangkat teleponmu,” jawab Dion yang kini kembali tertawa.
“Mas sama Mbak ini pacaran atau suami-istri?” tanya terapis wanita sambil memijat kaki Wina.
“Suami-istri,” jawab Wina pendek yang membuat Dion menghentikan tawanya.
“Celaka! Pasti bakal dikerjain Wina lagi nih,” pikir Dion dalam hati was-was.
Tapi kemudian Wina mengkoreksi perkataannya. “Bukan kok, Mbak. Kami temanan,” ucap Wina yang lalu tertawa pada terapis.
“Oh, tak kira pacaran! Habisnya kelihatan mesra,” ujar Mbak terapis.
“Mesra opo Mbak! Dheweke nyepak, nyiwit, lan nggawe aku ngangkat barang sing abot,” keluh Dion membuat kedua terapis tertawa.
“Wong duwe pacar iku kudu sabar ambek pasangane,” kata terapis pria.
“Opo maneh seng gak duwe, iya toh, Mas?” sambung Dion yang disambut tawa terapis pria.
“Mbak, dia bilang apa?” tanya Wina pada terapis wanita.
“Jangan bilangin dong, Mbak. Masak Mbak tega kalau aku kena tendang lagi?” Dion memohon pada terapis wanita itu agar tidak menerjemahkan ucapannya.
“Yen ditendhang sithik rapopo, toh? Mungkin tandha Mbak e tresno karo sampeyan,” ujar terapis wanita.
“Masnya bilang, mesra kok ditendang, dicubit trus disuruh angkat berat. Trus aku bilang ditendang sedikit kan gak apa-apa, itu tandanya sayang, gitu Mbak,” jelas terapis wanita sambil melakukan pekerjaannya.
“Tobat aku! Pranyoto wong wedok kwi podho wae. Nendang wong lanang kwi dianggap ungkapan mesra,” ujar Dion membuat keempatnya tertawa.
“Masih mending cuma tendangan mas. Lha aku dulu dipukul pake pentungan,” terapis pria ikut mengeluh.
Mendengar itu Dion memandangi kedua terapis itu bergantian.
“Lho! Mas sama Mbaknya suami istri toh?” tanya Dion.
“Ya iyo, Mas,” terapis wanita yang menjawab.
“Iku piye critane Mas, kok iso?” tanya Dion penasaran.
“Bocahe cemburu mergo aku ngobrol Karo tonggoku seng rondo, janda. Yo wes Aku dikejer nganggo pentungan,” tutur terapis pria membuat Dion tertawa.
“Ora mung ngobrol, dheweke mesem-mesem ngono. Ngobrol kok sambil senyum-senyum genit. Pasti ada sesuatu, toh?” jelas terapis wanita membuat Dion dan Wina tertawa lagi.
Akhirnya pijat itu pun berakhir. Setelah mengucapkan terima kasih dan menerima selebaran terapi pijat refleksi, Dion dan Wina melanjutkan perjalanan pulang mereka.
Oppung yang menyambut keduanya di depan pintu terheran melihat Dion membawa banyak barang sore itu. “Bawa apa kalian?” tanyanya.
“Rak untuk kamar setrikaan sama bed cover,” sahut Wina, lalu menjelaskan kalau mereka menyempatkan berbelanja sebelum pulang.
“Mumpung ada Dion. Badannya kan besar, biar olahraga dia,” ujar Wina menirukan gaya bicara Oppungnya.
“Langsung lah ke dapur, Amang,” pinta Oppung pada Dion agar menurunkan barang bawaan di bagian dapur rumah Wina.
Pada masyarakat Tapanuli Utara, Amang adalah panggilan hormat untuk orang tua laki-laki dan lelaki yang dituakan, tapi juga sering digunakan sebagai panggilan sayang kepada anak atau cucu lelaki. Lawan kata ‘amang’ adalah ‘inang’.
Dion sempat menawarkan diri untuk merangkai rak yang masih tersimpan di dalam kotak penjualan tapi ditolak oleh Wina. Mungkin ia merasa sudah mendapat banyak sekali bantuan hari itu.
Merasa tidak ada lagi urusan, Dion pun pamit. Wina mengantar Dion sampai ke pintu gerbang rumah.
“Thank you so much! I had such a great time!” kata Wina.
“Anytime! Bye!”
“Bye!”
Wina masih mematung di sana memandangi punggung Dion yang menjauh, seolah-olah tak rela ditinggalkan. Ia menjadi gugup ketika tiba-tiba Dion yang menatap ke belakang mendapatinya masih berdiri di sana. Mereka saling melambaikan tangan dan bertukar senyuman.
...***...
Sepanjang sisa sore itu, Wina tak bisa menjauhkan Dion dari pikirannya.
Seusai makan malam seperti biasanya, Wina, Oppung dan dua pekerja di rumah Wina bercengkerama sambil menonton TV di ruang keluarga. Tapi pikiran Wina masih tertuju pada Dion, pemuda yang baru dikenalnya. Terlebih ketika Mbak Ria meletakkan piring besar berisi potongan mangga pemberian Dion di atas meja.
Suasana menjadi riang ketika tayangan komedi situasi di televisi menampilkan dialog jenaka. Tapi tidak bagi Wina. Meskipun matanya tertuju pada televisi tapi pikirannya justru sedang melayang bersama Dion.
Oppung segera menyadari sikap Wina. “Kenapa kau Wina? Nonton komedi tapi muka mu sedih?” tanyanya pada Wina.
Mendengar pertanyaan neneknya Wina lalu menjawab, “Aku tidak bersedih, Oppung.”
“Yang menghayalnya kau?” tanya Oppung lagi.
“Bukan mengkhayal Oppung tapi berpikir soal mata kuliah,” Wina berbohong.
Akhirnya ia memaksakan diri untuk ikut menyimak program komedi itu. Ia tidak ingin membuat neneknya khawatir.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam ketika Wina mohon diri untuk masuk ke kamarnya.
Di dalam kamar Wina sedikit bingung hendak melakukan apa. Ia belum ingin berbaring karena malam belum cukup larut. Ia juga sedang tidak berselera membaca bahan kuliahnya.
Wina kemudian ingat balkon kamar. Teringat akan ucapan Dion yang mengatakan tempat itu asyik buat bersantai.
“Wah, benar. Tempat ini enak juga untuk bersantai di malam hari,” ujar Wina dalam hati yang kini sedang duduk balkon kamarnya. Ia memandangi suasana pekarangan yang sepi disinari lampu taman temaram.
Di keheningan itu, ditemani semilir angin, Wina kembali memikirkan Dion.
Dalam lamunan, ia merasa masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa ia jatuh cinta pada pemuda itu. Tapi harus ia akui, ia menyukai Dion yang sejauh ini bersikap baik.
Dion juga memiliki sesuatu yang membuat Wina nyaman dan aman. Membuat Wina ingin melakukan banyak hal karena merasa terlindungi. Dion seolah-olah mengundangnya untuk bertindak bebas.
“Ia selalu rendah hati, bahkan cenderung rendah diri. Jelas Dion memiliki masalah kepercayaan diri ketika denganku. Ia adalah pengecut yang suka mencuri-curi pandang,” batin Wina yang ingin memahami karakter Dion.
“Tapi kurang percaya diri itu tidak tergambar ketika Dion bersosialisasi. Pemuda itu bahkan punya kemampuan bersosialisasi lebih baik dariku.”
“Dion sebenarnya tampan. Tubuh yang jangkung, kulit kuning langsat, senyum yang ramah, hidung mancung. Sebenarnya tak sulit bagi Dion untuk tampil kece,” Wina berusaha membawa sosok Dion dalam pikirannya.
“Kebanyakan pria tampan itu buaya! Entahlah dengan Dion. Apa mungkin ia pintar bersandiwara. Tidak, tidak mungkin! Ia jelas pemain sandiwara yang sangat buruk.”
“Dan mata itu, tatapannya,” ujar Wina dalam hati teringat pada tatapan Dion. Sambil melipat tangan di depan dada seperti memeluk diri sendiri, Wina mencoba membawa kesan yang ia alami tadi siang ke pikirannya saat itu.
Ia mengingat-ingat bagaimana tatapan Dion membuat hatinya merasa damai dan tertawan pada saat yang bersamaan.
“Tatapan itu seperti memohon. Bukan memohon untuk meminta, tapi untuk memberi keteduhan. Tatapan itu juga sepertinya memiliki tangan, ingin menarikku ke dalamnya,” kenang Wina sambil mempererat lipatan tangan.
“Apakah Dion juga memberikan tatapan itu pada wanita lain?” pikir Wina cemburu.
Wina ingin bertemu kembali dengan Dion. Ingin menyita semua waktu Dion agar pemuda itu tak berkesempatan bertemu dengan wanita lain. Meskipun Wina sadar, itu adalah hal yang mustahil.
“Apa pengecut itu akan punya keberanian untuk menemuiku lagi?” tanya Wina dalam hati. Wina sudah yakin bahwa pemuda itu telah jatuh hati padanya sejak pertemuan pertama.
Di tempat lain, Dion juga merasakan hal yang sama. Dion yang biasanya menghabiskan malam minggunya dengan menonton pertandingan sepak bola di televisi, memilih menyendiri di kamarnya.
Dion merasa kasmaran tapi juga gundah gulana pada saat yang bersamaan.
Ia sempat menyalakan komputer untuk memeriksa kembali tugas akhir yang telah selesai ia kerjakan. Tapi kemudian ia mengabaikan komputer yang sudah menyala dan memilih untuk merebahkan diri di kasur. Ia tak bisa menyingkirkan bayangan wajah Wina dari pikirannya.
“Aku sedang jatuh cinta!” batinnya Dion tapi ragu cintanya akan berbalas.
“Bagaimana jika Wina hanya menganggap aku seperti adik lelaki. Ia begitu mudahnya menggandeng tanganku. Ia selalu usil padaku,” gumam Dion dalam hati.
Lagipula, perbedaan usia, strata sosial-ekonomi bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja. Dion yang tak mau terluka oleh harapan dan kenyataan, ingin membunuh rasa cintanya yang tumbuh dengan cepat pada Wina.
Tapi kecantikan gadis itu terus saja mengusik pikirannya. Senyuman Wina terasa lebih manis dari gula atau madu. Caranya berbicara dan tertawa. Mata indah Wina yang seolah tersenyum setiap saat. Bahkan ketika mata itu melotot. Wina yang selalu usil!
Lalu Dion teringat akan kejadian siang tadi, saat Wina tampak pucat ketakutan akibat berdesakan membuat hati Dion terenyuh. Rasanya ia ingin mengerahkan segalanya untuk melindungi gadis itu. “Tak boleh ada yang menyakitinya,” kata Dion dalam hati.
Dion lalu berpikir, kapan dia akan bertemu dengan Wina lagi. Dion harus membuat-buat alasan agar bisa menemuinya. Jelas ia bukan ahli dalam bidang itu.
Dion menarik napas panjang menyadari kemungkinan ia tak akan bertemu dengan gadis pujaannya.
“Aku ingin memilikimu, Wina” ujar Dion dalam hati. Tampaknya ia sudah menyerah pada hasrat yang mengalahkan logikanya sendiri.
“Bang! Sinilah kita nyanyi di luar,” seru Tian dari balik pintu kamar membuyarkan lamunan Dion.
Tian adalah salah satu dari si kembar yang mengontrak rumah bersamanya. Tian si bungsu, sementara kakaknya Oscar adalah si sulung. Keduanya masih duduk bangku SMA.
Malam itu televisi tidak menyiarkan pertandingan sepak bola liga Inggris, karena merupakan match-day terakhir untuk musim itu, semua pertandingan dilakukan serempak pada keesokan harinya.
Akhirnya Dion menghabiskan malam minggu itu dengan bercengkerama dan bernyanyi diiringi petikan gitar bersama si kembar Tian dan Oscar di teras rumah kontrakan.