Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Tawaran Manis dari Atasan Baru
Boni duduk di ruang tengah, tatapannya terpaku pada foto yang terbingkai rapi di atas meja. Dalam foto itu, ia, Bayu, dan ibunya tersenyum bahagia, merangkul satu sama lain seolah tak ada yang bisa memisahkan mereka. Dadanya terasa sesak. Napasnya berat, pikirannya berputar tanpa henti. Ia tahu, Bayu bukan sekadar teman. Bukan hanya seseorang yang pernah menyelamatkan nyawanya. Bayu sudah menjadi bagian dari keluarganya.
Kenangan demi kenangan menyeruak.
Ia ingat saat ibunya terbaring di meja operasi, bagaimana Bayu tanpa ragu mengulurkan uang untuk biaya operasi. "Udah, pakai aja dulu. Nyawa orang tua lebih penting dari segalanya," kata Bayu saat itu.
Boni nyaris menangis saat itu, tapi Bayu malah menepuk kepalanya dan bercanda. "Jangan mewek, malu sama gue!"
Dan ibunya... Ibunya menganggap Bayu seperti anak kandung sendiri. Mereka berdua bahkan sering berebut perhatian. "Bu, buat aku juga dong!" keluh Bayu saat ibunya hanya mengambilkan nasi untuk Boni lebih dulu.
"Dasar anak manja," ibunya tertawa, lalu mengambilkan nasi untuk Bayu juga.
Boni tersenyum miris mengingat itu. Mereka memang seperti dua anak kecil yang berebut kasih sayang. Tapi mungkin, bagi Bayu, itu lebih dari sekadar candaan. Mungkin, selama ini, Bayu baru benar-benar merasakan hangatnya sosok seorang ibu dari ibunya.
Kini, ibunya sudah tiada.
Dan Bayu—orang yang sudah menjadi bagian dari keluarganya—terbaring tanpa daya, tanpa kepastian apakah ia akan membuka mata lagi atau tidak.
Boni menatap sekeliling rumah. Setiap sudutnya menyimpan kenangan. Ia bisa membayangkan bayangan mendiang ibunya di dapur, memasak makanan favoritnya dan Bayu. Ia bisa mendengar suara tawa mereka berdua saat menonton acara TV bersama.
Dan sekarang... Rumah ini sepi.
Boni mengepalkan tangan. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Apa yang akan ibunya katakan jika ia menyerah begitu saja?
Dengan keputusan yang bulat, ia menghela napas dalam, lalu mengambil ponselnya. Jika menjual rumah ini terlalu berat, maka ia akan menggadaikannya. Ia hanya butuh waktu. Butuh kesempatan agar Bayu bisa sembuh, agar mereka bisa tetap bersama dan ia bisa menebus rumah ini kembali.
Ia menatap foto Bayu sekali lagi, jemarinya menyentuh bingkai itu dengan gemetar. Napasnya bergetar saat berbisik, "Lo nggak sendirian, Bay. Jadi, lo harus bangun… ngerti?"
Tak ada jawaban.
Hanya suara angin yang berembus pelan, seolah menyaksikan keputusan terbesar yang baru saja Boni ambil. Dadanya terasa sesak, tapi ia tahu—tak ada jalan lain.
***
Ruangan rawat inap Bayu terasa sunyi. Hanya suara mesin monitor jantung yang berdetak pelan, menemani tubuh tak sadarkan diri yang terbaring di ranjang. Boni duduk di kursi sebelahnya, menatap sahabatnya dengan mata lelah. Ia baru saja kembali setelah mengurus sesuatu yang sangat berat—menggadaikan rumahnya.
Tangannya gemetar saat ia mengambil dompet dari saku jaketnya, mencari sesuatu di dalamnya. Namun, tanpa sengaja, sebuah kertas terlipat jatuh ke lantai.
Laras, yang berdiri tak jauh dari pintu tak sengaja melihatnya. Ia mengerutkan kening, lalu mendekati kertas itu. Pandangan matanya langsung membeku begitu membaca tulisan di kertas itu.
"Surat perjanjian gadai rumah."
Jantung Laras berdegup lebih kencang. Ia mengangkat wajahnya, menatap Boni yang masih belum sadar bahwa ia baru saja membuka rahasia besar. "Boni... ini apa?" suaranya lirih, namun penuh ketegangan.
Boni tersentak, baru menyadari kesalahannya. Ia buru-buru meraih kertas itu, tetapi Laras sudah lebih dulu menggenggamnya erat. "Ini... kamu gadaiin rumah?" Suaranya bergetar.
Bayu, yang masih terjebak dalam kegelapan koma, bisa mendengar semua itu. Hatinya mencelos.
"Rumah...? Boni gadaiin rumahnya buat gue?"
Di dalam ketidakberdayaannya, Bayu ingin berteriak, ingin menghentikan semua ini. Ia tidak pernah meminta Boni mengorbankan segalanya untuknya.
Sementara itu, Laras menggigit bibirnya, matanya mulai memerah. "Kamu gila, Bon! Kamu menggadaikan rumahmu? Buat Bayu? Kenapa kamu nggak bilang sama aku?"
Boni menghela napas panjang, menatap sahabatnya yang masih terbaring tak sadarkan diri. "Gue nggak punya pilihan lain, Laras," gumamnya. "Gue harus ngelakuin sesuatu. Gue nggak bisa tinggal diam."
Laras menggelengkan kepala, dadanya terasa sesak. "Tapi ini rumah kamu, Bon! Satu-satunya yang kamu punya!"
Boni tersenyum pahit. "Apa gunanya rumah kalau gue kehilangan orang yang lebih berharga?"
Bayu ingin menangis. Tapi tubuhnya tetap diam, tetap tak bergerak.
"Boni... Kenapa lo sampai segininya buat gue?"
Sementara itu, Laras mengalihkan pandangannya ke Bayu, air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu denger, 'kan, Bay? Kamu denger semua ini?" suaranya bergetar.
"Jadi, bangun..." bisiknya, nyaris seperti permohonan. "Jangan sia-siakan semua ini."
***
Di sebuah ruangan yang remang-remang, seorang pria duduk di balik meja, jemarinya perlahan membolak-balik beberapa lembar foto. Senyuman samar menghiasi bibirnya, matanya menelusuri wajah seorang wanita dalam setiap gambar.
Laras.
Dalam foto pertama, Laras tampak tersenyum hangat di depan rumahnya. Foto berikutnya menunjukkan Laras yang sibuk bekerja, mengenakan seragam rapi di tempatnya mencari nafkah. Lalu, ada satu foto lain—di depan rumah sakit, wajahnya terlihat lelah namun tetap tegar.
Pria itu meletakkan foto-foto itu ke sisi meja dan menggeser layar laptopnya. Data pribadi seseorang kini terpampang jelas di layar.
Nama: Darma
Posisi: Staf Gudang Senior
Masa Kerja: 15 tahun
Catatan Kinerja: Bersih, loyal, tidak pernah bermasalah
Pria itu tersenyum licik. Jemarinya mengetuk-ketuk meja dengan ritme pelan, seakan sedang menyusun strategi yang matang. Lalu, dengan gerakan ringan, ia menekan tombol interkom.
"Suruh Pak Darma ke ruangan saya sekarang."
Beberapa menit kemudian....
Darma memasuki ruangan dengan sedikit gugup. Atasan barunya, Edward, adalah pria yang baru sebulan menjabat sebagai salah satu direktur perusahaan. Selama ini, ia hanya mendengar namanya, tapi belum pernah berinteraksi langsung.
"Silakan duduk, Pak Darma," Edward menyilangkan tangan di dada, menatap pria paruh baya itu dengan ekspresi ramah.
Darma menelan ludah, duduk dengan sedikit canggung. "Terima kasih, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Edward tersenyum. "Saya sudah mempelajari catatan kerja Anda. Anda karyawan senior yang setia dan teliti. Saya butuh orang seperti Anda di posisi yang lebih penting."
Darma membelalakkan mata. "Maksud Bapak...?"
"Saya ingin mempromosikan Anda menjadi Kepala Gudang," ucap Edward santai. "Mulai minggu depan, Anda akan menangani keluar-masuk barang dan memastikan semuanya berjalan lancar. Tentu, dengan kenaikan gaji yang layak."
Sejenak, Darma terdiam. Tenggorokannya terasa kering, dadanya bergemuruh hebat. Matanya mulai berkaca-kaca, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Setelah bertahun-tahun bekerja tanpa banyak harapan, kini kesempatan besar datang padanya.
Tangannya mengepal di atas pangkuan, berusaha meredam gejolak emosinya. "Terima kasih, Pak..." suaranya sedikit bergetar. "Saya... saya tidak tahu harus berkata apa. Ini kehormatan besar buat saya. Saya janji, saya akan bekerja lebih keras dan tidak akan mengecewakan kepercayaan Bapak!"
Ucapan itu keluar dari hati yang benar-benar terharu, seolah beban hidupnya sedikit terangkat.
Edward mengangguk dengan senyum penuh arti. "Saya yakin itu."
***
Darma pulang dengan langkah ringan, wajahnya berseri-seri seperti baru saja mendapat rezeki besar. Begitu memasuki rumah, istrinya, Wati, langsung menyadari perubahan ekspresi suaminya.
"Yah, ada apa? Kok sumringah banget?" tanyanya penasaran.
Darma tertawa kecil. "Aku dipromosikan jadi Kepala Gudang, Bu!"
Wati menutup mulutnya, terkejut sekaligus gembira. "Astaga, beneran, Yah?!"
Sherin, adik Laras yang masih kuliah, langsung memeluk ayahnya. "Wah, ayah keren! Gajinya naik, dong?"
Laras yang baru pulang kerja ikut tersenyum bahagia. "Selamat, Yah!" ucapnya tulus. Namun, di dalam hatinya, ia berbisik, "Semoga dengan kenaikan jabatan ini, Ayah bisa mencukupi kebutuhan keluarga ini, jadi ibu nggak perlu lagi meminta uang dariku."
Di tengah kebahagiaan itu, tak ada yang tahu bahwa di tempat lain, seseorang tengah tersenyum licik. Permainan baru saja dimulai.
...🔸🔸🔸...
...Jangan terlena oleh bahagia, karena bahagia tak selamanya....
...Ada saatnya tangis menggantikan tawa, duka menggantikan bahagia....
...Semua tetap berjalan sesuai kehendak-Nya, tanpa bisa kita cegah ataupun terka....
..."Dhanaa724"...
...🍁💦🍁...
.
To be continued