Jiwa seorang ilmuwan dunia modern terjebak pada tubuh pemuda miskin di dunia para Abadi. Ia berusaha mencapai puncak keabadian untuk kembali ke bumi. Akankah takdir mendukungnya untuk kembali ke bumi…. atau justru menaklukkan surgawi?
**
Mengisahkan perjalanan Chen Lian atau Xu Yin mencapai Puncak Keabadian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almeira Seika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20—Lembah Rahasia
Lembah indah yang mengandung kekuatan energi Qi yang melimpah ini, sebenarnya adalah tempat rahasia Tetua Qian. Tetapi, mungkin karena kasih sayangnya terhadap Xu Yin begitu besar, ia mengajak murid satu-satunya itu ke sini.
Guru dan Murid itu tengah berdiri di tengah lembah dan saling berhadapan. Lalu, Tetua Qian bersiap untuk menjelaskan teknik pada muridnya itu.
"Tameng Besi adalah teknik pertahanan langka yang kutemukan dari labirin samudra abadi," jelas Tetua Qian sambil sambil menggambar lingkaran di udara dengan jari telunjuknya, lalu mendorong telapak tangannya ke depan. Qi dari tubuhnya menyebar membentuk simbol formasi bercahaya yang mirip tameng baja, memancarkan kilauan cahaya keperakan yang lembut.
"Konsepnya sederhana, namun sulit untuk dikuasai, mengeras dan mengalir di saat bersamaan. Seperti batu yang menolak api, namun tak pernah menolak air."
Xu Yin menirukan gerakan gurunya, jarinya menggambar lingkaran dan mendorong telapak tangannya ke depan, yang memancar dengan cahaya lemah di udara. Cahaya itu bergetar, seolah mencoba menemukan bentuknya.
"Fokuskan niatmu," kata Tetua Qian dengan suara tenang namun penuh tekanan spiritual. "Bayangkan dirimu seperti batu karang yang kokoh di tengah gelombang. Tidak terpengaruh oleh ombak, tak tergoyahkan oleh badai."
Xu Yin menarik napas dalam-dalam, matanya terpejam saat ia mulai membayangkan tubuhnya menjadi batu karang yang kuat. Seiring waktu, energi dari dalam dirinya mulai mengalir, menyelimuti tubuhnya dengan lapisan Qi yang pelan namun kokoh. Meskipun cahayanya masih tipis, Xu Yin bisa merasakan kekuatan yang mulai terbentuk di sekelilingnya, sebuah dinding pertahanan yang semakin stabil.
Tetua Qian mengangguk. "Tidak buruk, tapi itu baru permulaan. Tameng ini tidak untuk melawan, tapi untuk bertahan. Agar lawanmu kelelahan, dan menghancurkan diri mereka sendiri secara perlahan."
Xu Yin membuka matanya sejenak, lalu bertanya, "Lalu, apa artinya kekuatan ini jika hanya bisa bertahan?"
Tetua Qian menatap mata muridnya, lalu tersenyum tipis. "Dalam dunia ini, kekuatan bukanlah segalanya. Kadang, yang terpenting adalah bertahan."
Seolah menyadari makna lebih dalam dari teknik ini, Xu Yin melanjutkan latihan.
Selama berjam-jam, Xu Yin berlatih. Namun, semakin lama ia berlatih, tubuhnya mulai terasa seperti ditarik ke bawah. Keringat menetes dengan deras, dan jari-jarinya mulai kelelahan. Tetapi, ia tetap fokus dengan mata yang tajam, dan napasnya semakin stabil dari waktu ke waktu.
Saat matahari mulai condong ke barat, sebuah kilatan Qi berwarna abu muncul di permukaan kulit Xu Yin. Aura pertahanan pun terbentuk tipis di sekeliling tubuhnya.
Tetua Qian tersenyum puas. "Kau memang murid keras kepala, tapi itulah kelebihanmu."
Xu Yin tersenyum kecil. "Saya harus keras kepala agar unggul dari yang lain." Ucapannya ini merupakan sebuah tekad, ia hanya tidak ingin diremehkan lagi oleh orang lain.
Tetua Qian kagum saat mendengar ucapan itu, lalu ia tertawa lagi. "Kau harus bermeditasi di sini, selama tujuh hari tujuh malam. Rasakan Qi yang murni dari lembah ini. Aku akan pergi, dan menjemputmu setelah tujuh hari." Pungkasnya pada Xu Yin.
Xu Yin mengangguk lalu menangkupkan tangan untuk memberikan penghormatan pada gurunya. Tak lama, Tetua Qian menghilang.
Matahari mulai tenggelam, namun, cahaya lembut memancar melalui hamparan bunga-bunga spiritual. Sinar cahaya itu menari seperti lentera di tengah kota, namun berwarna putih. Xu Yin duduk bersila, napasnya teratur, merasakan gelombang Qi murni yang berayun pelan di sekelilingnya.
"Seperti negeri dongeng. Harusnya.... bunga ini memiliki manfaat khusus. Saat Guru tiba, aku bisa menanyakan hal ini padanya."
Xu Yin memejamkan matanya, ia fokus untuk menyerap Qi disekitar secara perlahan. Dia dapat merasakan bahwa fluktuasi disekitar sangat deras, seperti air terjun.
"Dengan ini, aku bisa meningkatkan satu tingkat kultivasiku!"
Rasa panas mulai meresap ke dalam tubuhnya. Setiap lapisan Qi yang mengelilingi tubuhnya semakin padat, seolah mencoba menembus meridian dan meresap ke dalam dantian. Xu Yin bisa merasakan getaran energi yang halus, namun menuntut fokusnya untuk mengendalikannya.
Detik menjadi menit, menit menjadi jam, dan hari demi hari Xu Yin bermeditasi.
Tubuhnya mulai merasa ada tekanan luar biasa. Tulang-tulangnya seakan-akan remuk, dan dadanya seolah-olah dihimpit oleh ribuan ton besi.
Xu Yin mengatur nafasnya, perlahan stabil namun tekanan kuat masih terasa. Tiba-tiba, udara menjadi dingin, membuat tekanan menurun dan.... Xu Yin menembus enam tingkat sekaligus saat itu.
Qi Awekening 18.
Hanya dalam waktu enam hari tujuh malam, Xu Yin mampu menembus enam tingkat sekaligus. Itu bukanlah sesuatu yang bisa dicapai oleh praktisi normal. Bahkan, pemilik Primordial sekalipun, untuk mencapai Qi Awekening 1 ke Qi Aweking 19 dibutuhkan waktu selama lima hingga sepuluh tahun. Sementara, untuk pemilik akar Qi biasa, dibutuhkan waktu paling sedikit dua puluh tahun lamanya.
Saat pagi tiba, Xu Yin membuka mata dan bangkit dari meditasi. Ia merasa bahwa Qi di lembah itu semakin padat. Dan jika ia terus berada di situ, bahkan mungkin bisa mencapai ke ranah yang lebih tinggi tanpa kesulitan. Energi di lembah ini tidak hanya murni, melainkan Qi purba.
"Kurasa... Qi di sini memiliki keterikatan khusus dengan Void Primordial milikku. Sehingga, jika mereka bertemu, maka, Qi disekitar akan semakin padat dan gravitasi Void Primordial semakin menguat. Akibatnya... lonjakan tingkatan ini terjadi." Paparnya sembari memikirkan banyak hal, matanya menyusuri setiap sudut lembah.
"Apakah karena alasan ini, Guru... membawaku ke sini?" Xu Yin bergumam lagi. Tapi, entah mengapa tiba-tiba ia merasakan perasaan aneh pada gurunya itu. Setelah banyak berpikir, Xu Yin memutuskan untuk berlatih teknik tameng besi. Ia ingin mengejutkan gurunya.
Saat hari mendekati senja, Tetua Qian tiba di lembah itu. Xu Yin segera bersimpuh hormat pada gurunya itu, "Hormat pada Guru."
Tetua Qian menatap muridnya yang mengalami lonjakan kultivasi, ia tidak terkejut, namun sedikit khawatir. "Aku sudah menduga, kau pasti akan mengalami lonjakan tingkatan. Dan benar saja."
Saat mendengar ucapan itu, mata Xu Yin yang tengah menunduk dan menatap tanah, jadi berbinar. Kecurigaannya ternyata benar. "Guru menjadikanku bahan eksprimen?" gumamnya dalam hati.
Dua jemari tetua Qian menyentuh dada kanan Xu Yin, dan dia tersenyum tipis. "Bagus. Tempat ini cocok untukmu bermeditasi tanpa harus merusak meridianmu. Tapi, kau harus tetap hati-hati, jangan serakah."
Mata yang tadinya berbinar tegang, tiba-tiba melunak. Kecurigaannya pada sang guru lenyap begitu saja. Ia merasa sangat bersalah hari ini karena menaruh kecurigaan pada orang yang berbaik hati kepadanya. Ia merasa sangat malu pada diri sendiri, hingga tetap menunduk menatap tanah, tak berani menatap Gurunya.
Tetua Qian sedikit bingung dengan tingkah muridnya. Lalu, dia mencoba berkata lagi. "Dari Qi Awekening 12 melonjak menjadi Qi Awekening 18 hanya dalam satu minggu. Sangat berbakat, dan... mengerikan."
Rasa malu itu hilang, menjadi sebuah rasa ketakutan. Alhasil, Xu Yin mengangkat wajahnya dan menatap sang guru. Dari mulutnya, hanya terdengar satu kalimat. "Mengerikan?"
Tetua Qian menghela napas panjang sebelum menjawab. Manik hitamnya menatap Xu Yin dengan kekhawatiran. "Praktisi dengan Primordial, adalah sesuatu yang langka. Tetapi, praktisi dengan Void Primordial, itu merupakan ketidakwajaran yang hanya terjadi ratusan ribu tahun sekali."
"Gulungan kuno menulis bahwa, setiap praktisi yang memiliki Void Primordial harus berhati-hati, atau..." Tetua Qian menundukkan wajahnya, menatap tanah dan raut wajah kesedihan.
"Atau apa Guru?" tanya Xu Yin dengan nada dan ekspresi sedikit cemas. Tidak. Bukan sedikit, tapi, penuh dengan kecemasan.
pedang biasa bisa apa nggak? tergantung ilmu seseorang atau tergantung pedangnya?
mungkin padanan sapu terbang penyihir atau karpet terbang aladin. cerita2 benda terbang yg jadi kendaraan yang lebih kuno.
ibunya jadi hangat.