Mirna gadis miskin yang dibesarkan oleh kakeknya. Dia mempunyai seorang sahabat bernama Sarah.
Kehidupan Sarah yang berbanding terbalik dengan Mirna, kadang membuat Mirna merasa iri.
Puncaknya saat anak kepala desa hendak melamar Sarah. Rasa cemburunya tidak bisa disembunyikan lagi.
Sang kakek yang mengetahui, memberi saran untuk merebut hati anak kepala desa dengan menggunakan ilmu warisan keluarganya.
Bagaimana kelanjutan ceritanya? Yuk baca kisahnya, wajib sampai end.
29/01'25
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deanpanca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14 Menagih janji
*
Purnomo sampai di rumah Pak Kades, bapaknya. Tanpa mengucap salam dia masuk dan mendudukkan dirinya di sofa.
"Pengantin baru, mantu ibu mana?" Tanya Bu Ayu. Dia tersenyum bahagia melihat anaknya.
"Sudahlah Bu, gak usah basa basi. Mana Bapak? Bapak harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah dia ucapkan." Kata Purnomo datar.
Tak selang berapa lama, Pak Tejo bergabung di ruang tamu. Dia juga nampak bahagia saat melihat anaknya ada disana.
"Sudah lama datang nya, Pur?" Tanya Pak Tejo.
"Belum lama! Pak, tepati janji bapak!" Purnomo menatap nyalang Pak Tejo.
"Astagfirullah! Sabar atuh kasep. Butuh proses, apa kamu sudah tanya ke Sarah?" Pak Tejo tetap berusaha sabar menghadapi anaknya.
"Sudah, tapi dia terus mengelak, kalau bukan Juragan Bandi yang menyembunyikan Mirna." Ucapnya. Kali ini suara nya merendah.
Pak Tejo dan Bu Ayu saling tatap, rasanya mereka telah mengambil keputusan yang salah. Janji pada Purnomo serasa sulit untuk dipenuhi.
Cukup lama mereka terdiam, sampai akhirnya Purnomo kembali buka suara.
"Pokoknya kita harus mencari Mirna sekarang, Pak. Aku gak mau tahu alasan bapak." Kata Purnomo.
Seperti baru pertama kali terkena pelet, rasa sakit di kepala Purnomo kembali kambuh. Dia hanya menginginkan Mirna, karena wanita itu adalah obatnya.
"Aku menyesal menuruti keinginan, Bapak! Bukannya memberitahu dimana Mirna? Justru Sarah memanfaatkan ku agar bisa tidur dengannya." Kata Purnomo.
"Astaga, Pur! Wajar kalau kalian tidur bareng. Kalian itu suami istri." Jelas Bu Ayu.
"Gak Sudi aku tidur dengan perempuan licik seperti Sarah, Bu." Purnomo membuang muka malas.
Pak Tejo hanya memperhatikan gelagat anaknya yang terlihat aneh. Sesekali terlihat, anaknya menjambak rambutnya sendiri. Kadang juga menggeleng, seolah menepis rasa tidak nyaman di kepala.
"Arghh!" Purnomo kesakitan. Kini dia menjambak rambutnya dengan keras, hingga membuatnya terjatuh dari sofa dan menghantam meja kaca dihadapannya.
"Prangg!"
"Aaa! Pak, Purnomo!" Bu Ayu berteriak histeris.
"Kamu kenapa, Jang?" Bu Ayu panik, kala melihat darah mulai merembes di lantai.
Pak Tejo bersama beberapa orangnya dan kerabat yang memang belum pulang ke rumah masing-masing, segera menolong Purnomo.
Kepalanya bersimbah darah, bahkan pecahan kaca ada yang menancap di tangannya. Tapi Purnomo tetap berontak.
"Aku mau Mirna, Pak! Aku mau bertemu dengannya." Racau Purnomo.
Bu Ayu terkejut ketika melihat sekelebat bayangan hitam, menggores perut anaknya. Dia melihat kearah perut Purnomo, yang ternyata sudah robek dan mengeluarkan darah hitam.
"Astaghfirullah, Pak! Perut Purnomo robek." Suara Bu Ayu cukup keras sehingga orang diluar rumah bisa mendengar teriakannya.
Kepanikan di dalam membuat orang diluar juga panik. Tidak sengaja hal itu dilihat oleh Salman, yang kebetulan memang mau mengantar pesanan kue Bu Ayu.
"Assalamualaikum, Mang! Ada apa ini rame rame?" Tanya Salman.
"Wa'alaikumussalam. Itu katanya Purnomo kesambet!" Jawab warga.
"Hah, kesambet?" Salman segera berlari masuk ke dalam rumah sahabatnya.
Dia melihat Bu Ayu yang tengah menangis, Pak Tejo yang tengah tarik tambang dengan beberapa orang, dan Purnomo yang tersenyum menatapnya.
"Ibu, ada apa ini?" Tanya Salman pada Bu Ayu.
"Man, Purnomo.... Dia berdarah." Ucap Bu Ayu. Dia menyeka air matanya. "Dia mulai menggila lagi, padahal mau dibawa ke rumah sakit buat obatin luka lukanya." Ucapnya.
"Luka! luka apa,Bu? Purnomo baik baik saja, justru dia sedang tersenyum kearah ku."
"Kamu bilang apa, Salman? Apa kamu tidak lihat, darah yang berceceran di lantai?" Kata Bu Ayu.
Salman lantas melihat ke arah lantai, tapi tidak ada darah yang dimaksud. Salman mencari cara agar bisa bicara dengan sahabatnya itu.
"Purnomo, ayo kita bicara tentang Mirna?" Kata Salman.
Purnomo tersenyum senang, akhirnya untuk sekian waktu ada lagi orang yang mau membahas tentang Mirna.
"Sudah pak, hentikan acara tarik tambangnya." Tegas Salman.
"Tapi dia terluka, Man. Harus segera dibawa ke Rumah sakit." Ujar Pak Kades.
"Tidak ada yang terluka, Pak. Purnomo baik baik saja. Bapak juga sedang memegang tali, bukan Purnomo." Kata Salman.
Pak Tejo tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Salman. sampai akhirnya Salman kembali angkat bicara.
"Istighfar, Pak-Bu!" Perintah Salman. Pak Tejo menenangkan dirinya. Dia ber-istighfar sembari memejamkan mata.
Saat membuka matanya, apa yang dikatakan Salman benar. Tidak ada darah yang berceceran, bahkan meja kacanya tidak pecah.
Dia melihat Purnomo yang tersenyum jahat padanya. Sedangkan orang lain yang membantu menenangkan Purnomo saling tatap.
"Kita tidak salah lihat, kan? Tadi dia berdarah darah, kenapa bisa?" Kata salah seorang pekerja Pak Tejo.
"Tidak, tapi kenapa bisa ya." Gumam lainnya lirih.
"Loh, kenapa jadi seperti ini?" Tanya Pak Tejo.
"Itu semua tipu muslihat setan. Makanya jangan jauh dari Allah, agar kita selalu dalam lindungannya." Ujar Salman.
Mendengar ucapan Salman, Purnomo terlihat tidak suka. "Kau bilang ingin bicara tentang Mirna. Cepat katakan!" Purnomo menatap Salman nyalang.
"Hmm, Iya. Tapi aku tidak enak dengan Sarah, kalau harus membicarakannya." Kata Salman mengulur waktu.
"Kau hanya bicara dengan ku, kenapa bawa bawa Sarah segala? Apa kamu juga mau menipuku, sama seperti yang dilakukan Bapak?" Ujar Purnomo.
"Aku tidak ada niatan untuk menipu mu, Pur! Awalnya Salman hanya ingin membuat Purnomo tenang. Dan akan menyelidiki tentang Amir dan Mirna, tapi kini dia terjebak dengan kata-kata nya sendiri.
"Bagaimana kalau kita diskusikan ini dengan Amir juga? Jadi sekalian ngomong nya gak diulang-ulang." Salman berharap Purnomo setuju.
Terlihat Purnomo masih menimbang nimbang ucapan Salman. Selama ini Amir adalah orang yang selalu mendukung hubungan nya dengan Mirna.
"Baiklah, apa kita harus ke rumahnya?" Tanya Purnomo. Akhirnya dia setuju, dengan begini rencana Salman akan berjalan lancar.
"Iya. Tapi aku simpan ini dulu, kita perginya bareng." Salman menegaskan.
"Pak, ini ditaruh dimana?" Salman mengangkat bungkusan yang dia bawa, sembari memberi kode pada Pak Tejo.
Untungnya kini Pak Tejo cepat tanggap, dia segera mengarahkan Salman ke dapur.
"Ada apa, Man?" Segera Pak Tejo bertanya.
"Aku merasa Mirna ada di rumah Amir, Pak." Salman kemudian membisikkan sesuatu pada Pak Tejo. Pak Tejo mengangguk tanda setuju, dengan apa yang dikatakan Salman.
"Bapak ikut rencana kamu, sepertinya itu yang terbaik untuk saat ini." Ucap Pak Tejo.
"Apa masih lama?" Purnomo tiba tiba menyusul ke dapur. Membuat Pak Tejo dan Salman terkejut.
"Gak, ini udah selesai. Ayo kita berangkat!" Ajak Salman.
Mereka bertiga akhirnya pergi ke rumah Salman untuk berdiskusi, sekaligus meringkus Mirna.