Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.
Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.
"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."
Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Pada akhirnya, Eka memilih untuk mundur. Bukan karena menyerah, tetapi karena ia masih memiliki harga diri yang tak boleh diinjak-injak. Ia menolak untuk terus menjadi korban, menolak tunduk di bawah tekanan Yuni, meskipun rasa ingin tahunya tentang status pernikahannya terus menghantui.
"Kalau begitu, aku tidak akan memaksa," ucap Eka, suaranya tenang namun tegas, seolah tak terpengaruh.
Yuni terhuyung. Matanya membelalak, seakan tak percaya dengan perubahan Eka yang begitu drastis. Namun, alih-alih mengakui keterkejutannya, ia memilih mempertahankan wibawanya.
"Silakan pergi dari sini!" bentaknya. Ia ingin terdengar berwibawa, tetapi ada getaran samar dalam suaranya yang tak bisa ia sembunyikan.
Eka hanya tersenyum tipis, nyaris sinis. "Tentu saja. Dan selamat bersenang-senang, mantan mertua."
"Ka... kamu..." Yuni menunjuk Eka dengan tangan gemetar. Napasnya terasa berat, dadanya sesak, seolah kata-kata Eka tadi menamparnya lebih keras dari yang ia sangka.
"Bu! Ibu kenapa?" Rina buru-buru mendekat, panik melihat ibunya yang tampak kesakitan. Yuni hanya bisa menunjuk ke arah Eka, dan Rina langsung menangkap maksudnya.
Wajahnya memerah, amarahnya meledak. "Eka! Kamu menantu nggak tahu diri!" teriaknya.
Langkah Eka terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap Rina yang kini dipenuhi emosi.
"Menantu?" Eka terkekeh, nada tawanya dingin. "Kakakmu sudah menceraikan aku, Rina. Aku bukan bagian dari keluarga ini lagi."
"Tapi tetap saja, kamu nggak boleh bersikap seperti ini pada Ibu! Jangan lupa, kamu pernah makan dan minum di rumah ini. Apa ini balasanmu?" cemooh Rina dengan nada mengejek.
Eka menatapnya tajam. "Lupa?" Ia melangkah mendekat, membuat Rina refleks mundur setengah langkah. "Satu tahun aku bekerja mati-matian untuk menjaga keluarga kalian tanpa mengeluh. Kamu pikir aku nggak butuh tenaga? Aku makan dan minum di rumah ini karena aku berhak, bukan karena belas kasihan kalian."
Eka menghela napas pendek, matanya kini menajam penuh ketegasan. "Dan kalau kamu mau perhitungan, ayo kita hitung semuanya. Aku bisa menuntut hakku selama bekerja di sini. Kita lihat, sebenarnya siapa yang berhutang pada siapa."
Keheningan menyelimuti suasana. Rina terdiam, sementara Yuni masih berusaha mengatur napasnya. Namun, meski merasa terdesak, mereka tidak akan membiarkan Eka pergi begitu saja. Jika wanita itu berani datang ke rumah ini, maka ia harus kembali menjadi pelayan—meskipun tanpa status sebagai istri Adit.
Dengan napas tersengal, Yuni berjalan ke arah gerbang rumah dan berteriak lantang, "Semua lihatlah! Ini menantuku yang selama ini berpura-pura baik dan lugu!"
Suara Yuni menggema di udara, menarik perhatian para tetangga yang sedang beraktivitas di sekitar. Satu per satu mereka mulai mendekat, ingin tahu apa yang terjadi.
"Karena dia sudah jadi simpanan orang kaya, sekarang dia berani menginjak-injak mantan mertuanya!" seru Yuni dengan suara bergetar, tetapi cukup keras untuk memicu bisikan di antara para tetangga.
"Tuhan! Salah apa keluarga ini sampai mendapat bencana mendapat menantu seperti ini?" lanjutnya dengan nada memilukan, tangannya menekan dadanya seolah hendak pingsan. Tatapannya penuh kebencian ke arah Eka.
Bisikan para tetangga semakin riuh, perpaduan antara rasa ingin tahu, keraguan, dan penghakiman. Beberapa orang mulai mengeluarkan ponsel, merekam kejadian itu.
Eka mengepalkan tangannya. Dadanya naik turun, bukan karena takut—tetapi karena menahan emosi yang mulai meluap.
Hari ini, ia sadar. Orang-orang seperti Yuni dan Rina tidak akan pernah berhenti menginjaknya. Dan jika ia terus diam, maka mereka akan terus memperlakukannya seolah-olah ia bukan manusia.
Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tatapan orang-orang itu bukan sekadar ingin tahu—ada yang menghakimi, ada yang skeptis, dan ada yang hanya menikmati drama keluarga ini seperti tontonan gratis.
Eka menarik napas dalam-dalam. Sudah cukup.
"Apa sudah selesai, Bu?" suaranya terdengar tenang, tetapi matanya menyala. "Atau Ibu masih ingin menambah cerita agar lebih dramatis? Mungkin sekalian menuduh aku maling atau perempuan nakal di depan mereka?"
Yuni terkejut. Ia tidak menyangka Eka akan berbicara setegas ini.
"Kamu pikir aku takut, Eka?" suaranya bergetar, "Aku hanya menyampaikan yang sebenarnya. Semua orang di sini tahu, menantu yang baik tidak akan mempermalukan mertuanya seperti ini!"
Eka terkekeh pelan. "Oh, benar. Dan mertua yang baik juga tidak memperlakukan menantunya seperti pembantu selama bertahun-tahun. Maaf ralat sekarang sudah mantan mertua."
Beberapa tetangga mulai saling bertukar pandang. Ada yang berbisik, bahkan ada yang mengangguk samar, seolah mengakui ada benarnya ucapan Eka.
"Dulu, aku diam, karena aku menghormati keluarga ini," lanjut Eka, suaranya sedikit lebih tinggi agar semua bisa mendengar. "Aku berusaha jadi istri yang baik untuk Adit, menantu yang patuh untuk Ibu. Tapi ternyata, itu tidak pernah cukup, kan?"
"Jangan membalikkan fakta, Eka!" Rina menyela sengit. "Kalau memang kamu tidak betah, kenapa kamu tidak pergi dari dulu?"
Eka menatapnya tajam. "Karena dulu aku masih terlalu bodoh, Rina."
Yuni mencibir. "Dan sekarang kamu merasa pintar hanya karena sudah dapat laki-laki kaya?"
Eka tersenyum sinis. "Laki-laki kaya? Ah, jadi itu yang Ibu pikirkan?" Ia melipat tangan di dadanya. "Sama seperti dulu, Ibu selalu berpikir aku ini hanya numpang hidup di keluarga ini. Padahal, Ibu lupa satu hal."
Eka menatap lurus ke mata Yuni. “Selama bertahun-tahun, aku yang mengurus rumah ini. Aku yang mengurus nenek, dua anak Ibu, bahkan Ibu juga. Aku bekerja tanpa gaji, tanpa penghargaan, dan tetap saja, aku dianggap tidak berguna.”
Yuni membuka mulutnya, tapi tak satu kata pun keluar. Wajahnya menegang, apalagi saat menyadari bahwa semua mata kini tertuju padanya. Bisik-bisik di antara para tetangga semakin jelas terdengar, membuatnya merasa seperti tertelanjangi di depan umum.
Tiba-tiba, suara langkah cepat menghampiri. Adit baru saja tiba bersama Nadin, wajahnya penuh tanda tanya saat melihat ibunya dan Rina dikelilingi oleh orang-orang.
“Rin, Bu, ada apa ini?” tanyanya, nada suaranya menunjukkan kekhawatiran yang samar.
Rina segera menghampiri kakaknya, ekspresinya penuh amarah. “Ini semua gara-gara Eka, Kak! Dia memutarbalikkan fakta dan mencemarkan nama keluarga kita!”
Mendengar itu, Adit langsung menatap Eka dengan sorot mata tajam. Prasangkanya muncul begitu saja—dia masih yakin Eka belum bisa melepaskannya dan berharap bisa kembali menjadi istrinya. Jadi, tidak heran jika wanita itu membuat keributan seperti ini.
“Semuanya, mohon maaf atas kejadian ini,” ujar Adit pada para tetangga yang masih berkumpul. “Lebih baik kita sudahi di sini. Kami akan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan.”
Perlahan, satu per satu orang-orang mulai membubarkan diri, meskipun beberapa masih terlihat enggan pergi, berharap bisa mendengar kelanjutannya.
Begitu halaman rumah kembali sepi, Adit tanpa peringatan meraih pergelangan tangan Eka dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. Cengkeramannya begitu kuat hingga Eka meringis.
“Apa-apaan kamu?!” bentaknya, mencoba menarik tangannya, tetapi Adit tidak mengendurkan genggamannya.
Begitu mereka masuk, Adit melepaskannya dengan kasar. Napasnya berat, matanya membara. “Eka, kamu sudah bilang tidak akan menggangguku, kan? Jadi kenapa sekarang kamu membuat keributan seperti ini? Jangan lupa, aku tidak akan pernah memilihmu! Jadi berhenti melakukan hal yang sia-sia!”
Eka menatapnya tajam sambil mengelus lengannya yang kini memerah akibat cengkeraman erat tadi.
“Pertama, bukan aku yang membuat keributan, tapi ibu dan adikmu.” Suaranya tegas, tanpa ragu.
“Kedua, aku datang ke sini bukan untuk mengejarmu kembali, tapi untuk memperjelas status pernikahan kita.”
Ia melangkah maju, menatap Adit penuh keberanian. “Dan ketiga, hilangkan rasa narsismemu itu. Aku tidak peduli siapa yang kamu pilih. Itu urusanmu, bukan urusanku.”
Hening. Adit terdiam, terkejut oleh ketegasan Eka—begitu berbeda dari wanita yang dulu selalu tunduk padanya. Sekilas, ia merasakan sentuhan lembut dari Nadin, seolah memberi isyarat. Barulah saat itu, sikapnya melunak. Ia menarik napas, lalu memasang senyum.
"Kalau begitu, kita minum dulu. Aku akan memperjelas semuanya."
Nada suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya, membuat dahi Eka berkerut. "Apa yang sedang direncanakannya?"