Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 08.
...« Adik kecilnya Mas. »...
Arasya duduk tenang di sebuah restoran bertema negara Jepang itu. Lampu temaram menjadi penerang di semua sudut restoran tersebut. Arasya dengan setia menunggu Gavan yang sedang pergi ke toilet.
“Mau sushi juga, Dek?” Tiba-tiba Gavan datang dan duduk di sebelah Arasya.
Gadis itu menoleh ke samping dan menggeleng. Arasya hanya ingin makan ramen.
Keduanya menunggu pesanan dengan hening. Arasya melamun, sedangkan Gavan sibuk dengan ponselnya. Jari lelaki itu menari di atas layar dengan sangat lincah. Seperti sedang membalas pesan dari banyak kontak.
“Permisi.” Seorang pelayan datang membawa pesanan Arasya dan Gavan.
“Terima kasih.” Ucap Arasya setelah semua pesanan tertata rapi di atas meja. Gadis itu segera meraih mangkuk berisi ramen karaage yang menggugah selera.
“Pelan-pelan. Masih panas.” Peringat Gavan yang diangguki Arasya.
Gavan memesan katsu curry rice, mengingat perutnya hanya di isi oleh air putih saja sejak pagi.
“Mas...” Arasya merengek.
Gavan yang sudah menyuap sesendok nasi beserta lauknya menoleh ke arah si pemanggil. Arasya menatapnya dengan bibir mengerucut.
“Ada ijo-ijonya.”
Mata Gavan melirik ke arah mangkuk milik Arasya yang sudah di geser mendekat ke piringnya. Gavan langsung peka dan mengambil sayuran yang tidak disukai Arasya dan memindahkan ke piringnya.
“Udah. Makan.” Titah Gavan yang membuat Arasya kembali bersemangat. Mau bagaimana pun Arasya bertingkah, gadis itu tetap lah anak kecil di mata Gavan.
Belum sampai lima menit Gavan kembali fokus pada rutinitasnya--- makan sambil bekerja--- Arasya sudah mencuri lirik ke arah makanannya. Arasya tidak menyadari jika gadis itu selalu ada dalam lingkup perhatian Gavan.
“Aaaa...” Gavan mengarahkan sesendok nasi beserta lauknya ke depan mulut Arasya.
“Eh? Enggak kok, Mas. Aku gak mau.” Tolak Arasya sembari menggeleng panik.
“Aaaa...” Ulang Gavan lagi, tidak terlalu mendengarkan penolakan Arasya.
Dengan gengsi, Arasya membuka mulutnya. Memakan suapan dari Gavan dengan bibir yang mengerucut. Padahal di dalam hati Arasya, gadis tersebut sedang memuji betapa enaknya makanan milik Gavan.
Lelaki di samping Arasya kembali memberikan satu suapan padanya. Karena merasa enak, Arasya tidak lagi malu dan segera menerima suapan tersebut. Melupakan bahwa sebelumnya ia mengatakan jika sudah kenyang.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil kembali. Dengan perut kekenyangan, ekspresi yang di keluarkan wajah Arasya begitu memuaskan Gavan.
“Ngantuk?”
“Enggak kok.”
Gavan melirik Arasya sekilas, lalu mengangguk mengiyakan. Meskipun perjalanannya memakan waktu yang cukup lama, jujur Gavan menikmatinya. Sudah berapa minggu dirinya tidak berinteraksi bersama Arasya, dan kini adalah waktunya balas dendam atas jarak yang sebelumnya renggang.
Hari ini, pekerjaan Gavan mengharuskan dirinya pergi ke kantor. Biasanya Gavan hanya menghandle dari rumah, pun kebanyakan sudah di kerjakan oleh bawahannya sehingga ia seringkali terlihat seperti seorang pengangguran. Faktanya gedung kantor yang akan Gavan dan Arasya datangi memiliki 15 lantai. Lalu Gavan yang sering di gadang-gadangkan pengangguran oleh warga komplek sekitar adalah pemilik kantor tersebut.
Suara dengkuran halus memecahkan fokus Gavan untuk mengendarai. Melihat ke samping di mana Arasya sudah tertidur pulas di tempatnya. Membuat Gavan tidak bisa untuk tidak tertawa. Gadis yang selalu menolak di awal, tetapi pada akhirnya sesuai perkiraan.
Gavan memilih memperlambat laju mobil agar kepala Arasya tidak terbentur kaca jendela. Hingga sampailah mereka di kantor besar milik Gavan. Berada di kota tetangga yang jauh lebih maju dari kota tempat asalnya.
“Pak Gavan.” Sapa bawahannya, Brian.
Gavan mengangguk, “maaf telat. Tamunya masih di tempat?”
“Tidak apa-apa, Pak. Mereka masih tetap menunggu di dalam, mungkin juga sedang mempersiapkan presentasi sebelum Pak Gavan datang.” Jelas Brian.
Gavan berlari kecil menuju ke pintu samping, ia melepas jas kerjanya dan memakaikannya pada punggung Arasya. Kemudian tanpa kesusahan menggendong koala gadis itu.
“Eh, Pak?” Brian terkejut setelah melihat seorang perempuan yang berada di dalam mobil kemudian berpindah ke dalam gendongan sang bos.
“Adik saya di rumah sendirian, sekalian saja saya ajak kesini. Ayo. Takutnya mereka lebih lama nunggunya.”
Gavan berjalan tegap masuk ke kantornya, menggunakan sebuah lift khusus agar terhindar dari desakan para pekerja lainnya. Badan kekar Gavan semakin tercetak jelas di kemeja putih yang dipakainya kali ini. Sedangkan Arasya seperti seonggok bantal yang gampang di peluk. Sangat kecil dan minimalis.
“Oh, iya, Pak. Tim marketing akan menyampaikan presentasinya juga kali ini. Dan pastinya membutuhkan waktu yang lebih lama. Apa adik Pak Gavan di siapkan tempat istirahat saja?” usul Brian di akhir kalimat.
“Tidak perlu. Dia tidak bisa tidur di tempat baru.” Tolak Gavan secara halus.
Setelah sampai di lantai yang berbeda, mereka segera memasuki sebuah ruangan. Gavan di sambut bungkukkan setiap orang yang menyambut kedatangannya.
“Selamat siang. Maaf sedikit telat. Saya juga izin bawa adik saya, ya. Tidak apa-apa, ‘kan?” Gavan sigap mendudukkan diri di ujung meja sembari berbicara pada para karyawan di dalam ruangan itu.
Yang untungnya mereka menyambut baik Arasya.
“Baik, silahkan mulai.” Ujar Gavan pada Brian.
Presentasi langsung dilaksanakan. Mereka menjelaskan dengan rinci perkembangan perusahaan selama Gavan tinggalkan. Ada beberapa penurunan sesekali dalam sebulan, tetapi untungnya tidak mengalami kerugian yang signifikan.
Dan tamu yang di maksud adalah para pemegang saham yang kemungkinan akan melakukan pemberontakkan sebab ketidak-munculan Gavan sebagai pemimpin tertinggi dalam perusahaan tersebut.
“Mmmhhh...” Arasya bergerak tidak nyaman dalam tidurnya.
“Sshhh, sshhh...” Gavan menepuk punggung Arasya memberikan ketenangan.
“Mas?” panggil Arasya dengan suara seraknya. “Minum.” Lanjutnya lagi.
Gavan sigap membuka sebuah botol minuman didepannya dan menyodorkannya langsung ke bibir Arasya. Gadis itu tanpa membuka mata langsung menegak air itu dengan rakus.
“Udah sampe ya, Mas?” ucap Arasya setelah puas menangani dahaganya.
“Udah. Tidur lagi aja.” Perintah Gavan pada Arasya.
“Capek, Mas.” Gumam Arasya, gadis itu justru menegakkan tubuhnya pada pangkuan Gavan dan melakukan peregangan tanpa tahu banyak pasang mata menatap ke arahnya.
“Eh? Ini di mana?” tanya Arasya yang kemudian menoleh ke belakang sambil berpegangan pada pundak Gavan.
Bak layar televisi yang kekurangan sinyal sehingga mengakibatkan siaran tersebut terputus-putus, Arasya berusaha untuk kembali bersembunyi di pangkuan Gavan.
Gadis itu merutuki dirinya sendiri karena tidak menuruti perintah Gavan untuk kembali tidur. Arasya merasa sangat malu sekarang, apalagi mendengar tawa Gavan dan ucapan maaf yang di lontarkan lelaki itu pada orang-orang di sekitar. Juga mengundang tawa bagi yang lain melihat perilaku adik sang bos yang setengah sadar itu.
“Jahat. Mas gak bilang-bilang.” Gumam Arasya dengan mata yang terpejam erat. Merasakan panas yang menjalar dari telinga hingga lehernya.
...« Terima kasih sudah membaca »...