Axel Rio terjebak bertahun-tahun dalam kesalahan masa lalunya. Ia terlibat dalam penghilangan nyawa sekeluarga. Fatal! Mau-maunya dia diajak bertindak kriminal atas iming-iming uang.
Karena merasa bersalah akhirnya ia membesarkan anak perempuan si korban, yang ia akui sebagai 'adiknya', bernama Hani. Tapi bayangan akan wajah si ibu Hani terus menghantuinya. Sampai beranjak dewasa ia menghindari wanita yang kira-kira mirip dengan ibu Hani. Semakin Hani dewasa, semakin mirip dengan ibunya, semakin besar rasa bersalah Axel.
Axel merasa sakit hati saat Hani dilamar oleh pria mapan yang lebih bertanggung jawab daripada dirinya. Tapi ia harus move on.
Namun sial sekali... Axel bertemu dengan seorang wanita, bernama Himawari. Hima bahkan lebih mirip dengan ibu Hani, yang mana ternyata adalah kakak perempuannya. Hima sengaja datang menemui Axel untuk menuntut balas kematian kakaknya. Di lain pihak, Axel malah merasakan gejolak berbeda saat melihat Hima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Connecting Line
Satu jam aku mendengarkan berbagai bukti berbagai konflik.
Aku hampir pingsan dehidrasi bukan karena kurang minum tapi karena menyadari kalau hidupku ini mindblowing sangat.
Di sofa aku hanya menunduk sambil memijat pelipisku yang nyut-nyutan.
Ini sebabnya...
Ini alasannya mereka dengan sukacita merekrutku.
“Kami menginginkan Erick Sutjandra. Tapi dia seakan orang suci dipenjara pun tak akan bertahan lama karena dia memiliki orang dalam. Dia tak pernah membunuh dengan tangannya sendiri. Irvin dan kamu hanya salah satu pionnya. Bukti yang didapat kurang kuat. Aparat bisa dia setir. Kami curiga, kebangkrutannya kali ini juga salah satu rencananya untuk tenggelam di masyarakat, karena kalau dia 'berada di atas' akan mencolok.” Kata Baron sambil menjelaskan dokumentasi.
“Lalu... Hana Sasaki.” Baron menoleh ke arah Himawari dan menyeringai. “Jelaskan seperti apa kakakmu, Mawar.”
“Kakakku...” terdengar Himawari menelan ludahnya. “Tidak sesuci yang dikira. Alasan Erick melenyapkan sekeluarga adalah karena....” Mawar menarik nafasnya dengan berat.
Lalu mulai terisak-isak.
“Karena... Hani adalah... anak Erick Sutjandra. Hasil perselingkuhan kakakku dengan Erick. Makanya... makanya Hani harus lenyap.”
Astaga!!” aku berdiri sambil gebrak meja. Lalu memegangi kepalaku yang rasanya hampir copot.
Apa lagi ini Ya Tuhaaan!
Apa lagiiii!!
“Malam itu, tengah malam, Adam Menerima hasil lab kalau dia ternyata dalam keadaan infertil. Benihnya tak akan bisa menghasilkan keturunan. Kakak menelponku, katanya suatu hal yang sangat kebetulan tak wajar kalau Adam melakukan tes di saat Hani berusia 9 tahun. Adam bagaikan mendapat inspirasi entah dari mana, dan wajarkah kalau hasil tes dikirimkan malam hari? Di tengah malam? Saat kami semua berada di pesta keluarga? Begitu katanya. Seperti ada pihak yang mengatur agar ini semua terjadi.” Kata Mawar.
“Lalu...” wanita di sebelahku melanjutkan pembicaraannya. “Kak Hana bilang Erick terlibat dalam kasus narkoba jenis baru, yang samplenya dirahasiakan. Kasus penggandaan sertifikat belum terjadi saat itu, hal itu baru terjadi setelah Adam dan Kak Hana meninggal. Sample narkoba ini kabarnya disembunyikan, tapi Kak Hana sempat curiga mengenai kondisi Hani. Saat pesta itu sebenarnya Hani baru keluar dari Rumah sakit karena sakit tipus, tapi saat sakit itu dokter menyarankannya untuk operasi. Ada bekas operasi di-“
“Rahim bagian bawah.” Sahutku dan Devon berbarengan.
“Kompak sekali ya kalian...” dengus Pak Damaskus.
“Itu luka karena kecelakaan.” Lagi-lagi aku dan Devon berujar berbarengan.
“Diam, brengsek.” Ujarku sambil menunjuk Devon.
“Okeeee, sok penting lu.” Omel Devon.
Himawari mengangkat tangannya padaku, memperingatkanku. Aku hanya bisa menyerah dan akhirnya kalem. “Kak Hana curiga kok bisa diagnosa tipus tapi dioperasi. Kak Hana mengajukan tuntutan ke rumah sakit atas kasus malpraktik, rumah sakit mengklaim kalau operasi mereka atas persetujuan orang tua kandung yaitu...”
“Erick Sutjandra.” Jawab kami.
“Ya. Koh Adam saat itu juga kebingungan, kok bisa rumah sakit malah minta persetujuan dari Koh Erick. Padahal Koh Adam kan bapaknya. Saat mereka ke pesta itu kasusnya baru berjalan, berbarengan dengan itu hasil fertilitas Koh Adam muncul via email. Dan setelah kecelakaan itu semua menghilang bagai ditelan bumi. Baru kali ini saya bicara, saya takut terlibat atas sesuatu yang mengancam keluarga saya. Semua bukti chat dengan kakak saya hapus, hape saya lindas pakai mobil dan saya buang. saya ganti nomor.”
Semua diam.
Beberapa mengangguk.
Aku malah makin bingung.
“Apa ada yang bisa menjelaskan kenapa kalian semua mengangguk seakan mengerti. Jadi di sini hanya saya yang bego ya?” tanyaku sekaligus menyindir.
“Gue juga nggak ngerti, Bocah.” Dengus Devon.
“Coba tebak, Axel. Kamu kan pintar biasanya.” Desis Pak Damaskus. “Kosongkan pikiran, refresh. Runut ke belakang.”
Aku pun tarik nafas.
Dan berjalan ke arah pantry.
Bikin kopi.
Dengan tangan gemetaran aku mengaduk kopiku. Padahal tanpa gula.
Aku tahu.
Aku sudah tahu.
Tanpa refresh pun aku sudah tahu tapi aku masih denial.
Penyebab kenapa Hani sering pingsan.
Kupikir itu goresan karena kecelakaan tapi ternyata itu bekas operasi yang perbannya copot karena benturan.
Juga kenapa mereka menuliskan status ‘meninggal’ untuk Hani.
Irvin mungkin tak tahu juga soal ini.
Benang merah pun terjalin di depanku.
Bapakku... pedagang obat haram dan pembunuh bayaran, berkedok pengusaha.
Yang penciptaan obatnya didanani oleh Erick Sutjandra. Satu dari sekian proyek haram bapakku yang berkedok usaha building construction.
Semua dokumen yang mereka berikan adalah mandat agar bapakku memutihkan kasus mereka.
Berbagai kasus pembunuhan, penggelapan dana, penganiayaan, penjualan obat terlarang, bahkan humantraficking. Bapakku harus tahu detail awalnya untuk bisa mencari celah dalam cara menuntaskannya. makanya sering ada orang mengirimkan dokumen dan barang bukti.
Mungkin waktu itu, Erick minta ke bapakku untuk menyembunyikan sample obat jenis baru. Bapak memiliki jasa ke dokter korup di rumah sakit tempat Hani dirawat. Mereka... menyembunyikan sampel itu di tubuh Hani berkedok operasi. Makanya Dokter tahu kalau Erick adalah ayah kandung Hani, tampaknya mereka bertiga memang telah sejak lama saling mengenal dan kerjasama dalam hal-hal haram.
Tapi Erick ingin seluruh pihak yang tahu hal ini dilenyapkan. Ia menyebarkan bukti korupsi bapak ke pemerintah.
Bapakku diburu. Dia berhasil kabur ke Amerika tanpa tahu antek-antek Ericklah yang memancing bapakku ke Amerika. Untuk dilenyapkan.
Erick mengatur cara agar Adam dan Hana terlibat perampokan. Makanya lokasi pesta diadakan di tengah hutan. Dan mereka pulang tengah malam karena laporan fertilitas milik adam.
Makanya...
Hana minta aku menyelamatkan Hani. Bukan karena Hani adalah pewaris. Masalahnya ternyata jauh lebih besar dari itu.
Karena Hanilah kunci untuk bisa memenjarakan Erick.
Sekaligus menguak kejahatannya.
Aku pun menyesap kopiku.
Lalu membalik tubuhku.
Sambil menyeringai.
Rasanya darahku mendidih.
Saking mendidihnya kalau tak ditahan oleh kopi, sudah kuburu si Erick dan kubunuh saat ini juga.
“Pertemukan saya dengan Erick dan Irvin. Akan saya kirim mereka ke Artemis.” Sahutku.
“Oke. Putra.” Pak Damaskus memanggil seorang pria tinggi dengan wajah selembut malaikat. Namun dari tadi ia tampak tenang.
Kalau tak salah, tadi dia dikenalkan sebagai menantu Pak Damaskus dari anak Istri Pertamanya. Jadi bukan anaknya Contessa ya.
“Y-y-ya Pak?’ entah bagaimana, si Putra ini tergagap. Namun saraf wajahnya seperti tak terkendali karena ia berbicara sambil tertawa. Aku pernah tahu penyakit semacam ini. Gangguan saraf akibat seringnya terpukul di bagian kepala.
“Sebarkan berita ke Irvin kalau Axel bekerja di Coffe Shop. Axel kamu pancing Irvin supaya berbuat kejahatan lagi. Agar kalian sama-sama dipenjara atau gimana caranya kami tak mau tahu.” Kata pak Damaskus.
“Baik Pak.” Sahutku sambil nyeruput kopi.
Lalu hening.
Semua menatapku.
Kulihat satu persatu individu di sana.
Dan merasa risih.
Kenapa mereka menatapku dengan tajam seperti itu?
Salah apalagi aku?
Aku baru ngeh saat Devon dengan gesture tubuhnya memberitahuku kalau...
“Ehm.” Aku pun berdehem.
“Ada... yang mau kopi?” tawarku jengah.
“Ya iya laaaah!” seru Zaki kesal. “Nggak peka banget lo ngopi sendirian!”
naj** gil**
axel:🤢🤢🤢🤮