Alexa tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam. Tanpa pilihan, ia harus menikah dengan Angkasa-pria yang nyaris asing baginya. Bukan karena permintaan keluarga, bukan pula karena cinta, tetapi karena sebuah alasan yang tak bisa dijelaskan.
Alexa terjebak dalam kehidupan yang tak pernah ia inginkan, tapi semakin ia mencoba memahami pria itu, semakin banyak hal yang tak masuk akal dalam pernikahan mereka.
Di balik sorot mata tajam Angkasa, ada sesuatu yang tersembunyi. Sebuah kebenaran yang perlahan mulai terungkap. Saat Alexa mulai menerima takdirnya, ia menyadari bahwa pernikahan ini bukan sekadar ikatan biasa-ada janji yang harus ditepati, ada masa lalu yang belum selesai.
Namun, ketika semuanya mulai masuk akal, datanglah pilihan: bertahan dalam pernikahan yang penuh teka-teki atau melepaskan segalanya dan menghadapi konsekuensinya.
Di bawah langit yang sama, akankah hati mereka menemukan jalan untuk saling memahami? Atau pernikahan ini hanya menjadi awal da
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon vin97, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak adanya pernikahan ?
Alexa berjalan dengan tergesa-gesa. Ia telah meninggalkan ibunya hampir dua jam lamanya. Tak ingin sang ibu merasa kesepian dan cemas, ia mempercepat langkahnya. Namun, perhatiannya lebih tertuju pada barang bawaannya daripada jalanan di depannya. Ia terus memeriksa apakah ada sesuatu yang tertinggal.
Karena kurang fokus, Alexa tanpa sengaja menabrak seseorang hingga barang bawaannya terjatuh ke lantai. Sadar bahwa dirinya bersalah, ia segera meminta maaf.
"Maaf... maaf," ucap Alexa sembari menoleh ke arah orang yang ia tabrak.
Namun, seketika ia terdiam. Pria di depannya bukanlah orang asing.
Alam...
"Oh, kamu?" Pria itu tampaknya juga mengenali Alexa.
"Kamu..." Alexa pun tak mungkin melupakan sosok yang pernah membantunya malam itu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Alam ketika melihat Alexa berada di rumah sakit dengan banyak barang di tangannya.
"Ibuku dirawat di rumah sakit ini," jawab Alexa.
"Ibumu? Dia sakit? Bagaimana keadaannya?" Alam terlihat panik.
Alexa segera menenangkannya. "Ibuku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkannya," ujarnya dengan lembut.
"Oh..." Alam menghela napas lega. "Syukurlah. Rumah sakit ini terkenal memiliki dokter-dokter terbaik. Kamu tidak perlu khawatir," katanya meyakinkan.
Alexa mengangguk pelan. "Lalu kamu sendiri? Sedang menjenguk seseorang?" tanyanya.
"Oh... ya. Ada temanku yang sedang sakit," jawab Alam.
Alexa mengangguk lagi. Namun, perhatiannya kemudian tertuju pada lantai. Ia melihat ada tetesan darah di dekat kaki Alam.
"Kamu terluka?" tanyanya, baru menyadari bahwa darah itu berasal dari lengan pria di hadapannya.
Alam menoleh ke lengannya yang berdarah, lalu buru-buru menutupinya dengan tangan.
"Sebaiknya segera diobati," kata Alexa sambil menariknya menuju ruang UGD.
"Ayo, aku antar."
"Ah... tidak, tidak perlu..." Alam berusaha menolak. "Aku baik-baik saja."
Meski demikian, ia tetap mengikuti langkah Alexa yang sudah menarik tangannya.
Begitu tiba di UGD, Alexa segera mencari dokter yang berjaga. Matanya menangkap sosok dokter yang sedang berada di dalam ruangan.
"Dok, bisakah Anda membantunya? Tangannya terluka," ucap Alexa.
Dokter itu berbalik, namun ekspresinya langsung berubah terkejut saat melihat Alam. Di sisi lain, Alam pun tampak menyembunyikan sesuatu.
"Dok..." Alexa kembali memanggil dokter yang terlihat terdiam.
"Oh... ya. Silakan duduk," ujar dokter itu akhirnya.
Ia segera menangani luka Alam. Meski tidak terlalu serius, lukanya cukup dalam hingga harus dijahit.
"Awh..." Alam meringis ketika alkohol menyentuh lukanya.
"Anda kesakitan?" tanya dokter itu dengan nada mengejek. "Maaf, saya pikir Anda kebal terhadap rasa sakit."
"Ekhm." Alam berdeham pelan, seolah memberi isyarat kepada dokter agar tidak membahas lebih lanjut.
"Tentu saja, Dok. Saya manusia," ucapnya, mencoba mengalihkan perhatian Alexa.
Dokter itu hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada luka Alam.
Setelah selesai membalut lukanya dengan perban, dokter tersebut memberikan instruksi. "Kembali lagi dua hari lagi untuk memeriksa jahitannya."
"Terima kasih, Dok," ujar Alam singkat.
Tanpa menunggu lebih lama, Alam segera bangkit dan menarik tangan Alexa, mengajaknya keluar dari ruang UGD.
"Terima kasih," katanya. "Tapi kamu tidak perlu repot-repot membawaku ke sini."
"Kamu pasti buru-buru ingin menemui ibumu, kan?" lanjutnya.
Alexa tersentak. Ia baru sadar bahwa sudah meninggalkan ibunya lebih lama dari yang ia perkirakan.
"Maaf, aku harus pergi!" Alexa buru-buru berlari meninggalkan Alam.
"Ah... ya..." Alam mengangkat tangannya, berniat menahannya, tetapi urung.
Namun, tiba-tiba ia tersadar sesuatu. "Tunggu... siapa namamu?"
Sayangnya, Alexa sudah terlalu jauh untuk mendengar pertanyaannya. Alam hanya bisa menatapnya hingga sosoknya menghilang di balik lorong rumah sakit.
Saat ia masih terpaku dalam lamunannya, suara seseorang membuyarkan pikirannya.
"Siapa wanita itu?"
Alam menoleh dan melihat dokter yang tadi mengobatinya kini berdiri di sampingnya.
"Kau!" seru Alam, mendelik kesal. "Kau sengaja menuangkan terlalu banyak alkohol, kan?"
"Loh? Alkohol itu penting untuk mengobati luka," jawab dokter itu dengan nada santai.
Namun, kemudian tatapannya berubah tajam. "Tapi aku heran, bagaimana bisa seorang Alam yang keras kepala akhirnya datang ke UGD hanya karena seorang wanita?" tanyanya penuh selidik.
"Hanya kenalanku saja," jawab Alam datar.
Dokter itu jelas tidak percaya begitu saja. Ia menyipitkan matanya dan menatap Alam penuh kecurigaan.
"Aku ini dokter sekaligus temanmu. Aku yang memohon-mohon agar kau mau diperiksa, tapi kau menolak dengan alasan 'aku baik-baik saja'. Tapi perempuan yang kau sebut 'kenalan' itu hanya menarikmu sebentar, dan kau langsung menurut?"
Alam hanya diam.
"Jangan bilang kau menyukainya," sindir dokter itu dengan nada menggoda.
"Kenapa kau begitu ingin tahu?" tanya Alam, menghela napas panjang.
"Karena dia mampu membuat seorang Alam datang ke UGD tanpa perlawanan. Itu hal yang jarang terjadi, dan aku penasaran," jawab dokter itu sambil tersenyum penuh arti.
Alam menoleh, menatapnya sekilas. Namun, sebelum ia bisa menjawab, dokter itu kembali bertanya dengan nada serius, "Tapi bagaimana dengan Elisabeth? Bukankah kalian berpacaran?"
Ekspresi Alam berubah dingin. Tanpa menjawab, ia berbalik dan berjalan pergi.
"Aku punya urusan. Sampai jumpa," ucapnya singkat.
Dokter itu hanya menggelengkan kepala sambil mendesah. "Selalu seperti ini," gumamnya.
---
Alexa berlari dan berhenti tepat di depan ruang inap ibunya. Napasnya masih memburu saat ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Namun, langkahnya seketika terhenti ketika melihat sosok yang sedang berbicara dengan ibunya.
"Pak Angkasa?" Alexa terkejut melihat pria itu berada di sana.
Pikirannya langsung kacau. Ia khawatir Angkasa akan mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya diketahui oleh ibunya.
"Alexa, kenapa lama sekali?" tegur sang ibu dengan lembut. "Angkasa sudah menunggumu cukup lama."
Alexa mengedarkan pandangannya, memperhatikan ekspresi ibunya. Namun, tidak ada tanda-tanda keanehan. Ia pun sedikit lega, menyadari bahwa tampaknya tidak ada pembicaraan yang mencurigakan.
Angkasa kemudian berdiri dan menatap Alexa.
"Alexa, bisa bicara sebentar? Ada beberapa hal penting yang ingin kubahas denganmu," katanya.
Alexa melirik ibunya sekilas sebelum mengangguk. "Bu, aku keluar sebentar, ya."
Sang ibu tersenyum dan mengangguk, memberi izin.
Angkasa pun berjalan keluar ruangan, diikuti oleh Alexa yang masih menyimpan rasa waspada.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Alexa begitu mereka berada di luar. "Kamu tidak mengatakan hal aneh pada ibuku, kan?"
Angkasa tersenyum tipis. "Kenapa kamu selalu berpikir bahwa aku akan melakukan hal seperti itu?"
Alexa tidak segera menjawab. Ia sendiri tidak memiliki alasan yang kuat—hanya ketakutan semata. Takut jika ibunya mengetahui sesuatu yang bisa membuatnya kecewa.
"Aditya sudah menunggu kita," ujar Angkasa, mengalihkan pembicaraan.
"Kita mau ke mana?" Alexa bertanya, sedikit bingung.
Namun, Angkasa tidak langsung menjawab. Ia terus melangkah, sementara Alexa mempercepat langkahnya agar bisa berjalan sejajar dengannya.
"Aku tidak bisa meninggalkan ibuku terlalu lama," kata Alexa akhirnya. "Kalau memang ada yang perlu dibicarakan, lebih baik katakan saja di sini."
Namun, tepat saat itu, Aditya sudah berdiri di hadapan mereka.
"Ruangannya sudah siap, Tuan," lapor Aditya dengan nada formal.
Tanpa banyak bicara, ia membuka sebuah pintu, dan Angkasa masuk lebih dulu. Alexa terdiam sejenak, merasa ragu untuk melangkah masuk.
"Silakan, Nona," ucap Aditya, memberi isyarat agar Alexa ikut masuk.
Alexa akhirnya mengikuti mereka ke dalam. Ruangan itu sepi, nyaris terasa dingin. Aditya kemudian menarik kursi dan mempersilakan Alexa untuk duduk.
"Ini surat perjanjian antara kita," kata Angkasa sambil menyodorkan sebuah dokumen.
"Tandatangani ini, setelah itu tugas baru akan dimulai."
Alexa ragu-ragu. Namun, ia tahu bahwa menolak bukanlah pilihan. Dengan sedikit enggan, ia mengambil kertas itu dan mulai membaca setiap kata dengan saksama.
Namun, saat matanya sampai pada satu kalimat tertentu, tubuhnya menegang.
"Pernikahan tanpa pendaftaran?"
Ia mengangkat wajahnya, menatap Angkasa dengan ekspresi terkejut.
"Maksudmu... kita tidak akan benar-benar menikah secara resmi?" tanyanya, nyaris tidak percaya.
---
To be continued..