Asmaralda, seorang gadis buta yang penuh harapan menikah dengan seorang dokter. Suaminya berjanji kembali setelah bertemu dengan orang tua, tapi tidak kunjung datang. Penantian panjang membuat Asmaralda menghadapi kesulitan hidup, kekecewaan dan keraguan akan cinta sejati. Akankah Asmaralda menemukan kebahagiaan atau terjebak dalam kesepian ???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meindah88, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.14
Ralda, Tante boleh masuk ?" bisik Alena lembut di depan pintu kamar, hati-hati agar tidak mengganggu istirahat Ralda. Di tangannya terdapat sebuah nampan berisi makanan yang ingin ia berikan untuk wanita yang akan mereka angkat menjadi putrinya itu. Sejak Ralda pulang dari rumah sakit, wanita itu terus berada di dalam kamar tanpa makan apa pun.
Alena tidak bisa membiarkannya terus merana seperti ini, ia ingin berusaha membantu Ralda bangkit dari kesedihan yang membelenggunya. " Kenapa Ralda tiba-tiba seperti ini? Bukankah sebelum kami ke rumah sakit ia baik-baik saja," gumam Alena dalam hati, khawatir akan kondisi Ralda yang semakin lama semakin tidak ada sahutan dari dalam.
"Aku tahu Ralda sedang menghadapi masa yang sulit, namun ia harus berjuang untuk kembali berdiri. Hidup tidak selamanya mudah dan bahagia, kita harus menghadapinya dan terus melangkah maju." pikir Alena sembari menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk menghadap Ralda dan mencoba untuk mengajak wanita itu berbicara tentang perasaannya.
Dia ingin menjadi dukungan dan kekuatan bagi wanita malang itu yang sedang rapuh ini, agar Ralda sadar bahwa ada orang-orang yang mencintai dan mendukungnya, serta siap untuk membantunya melewati masa sulit ini.
"Ralda, kenapa, Ma?" tanya seorang pria paruh baya yang mengagetkan Alena, yang ternyata adalah suaminya sendiri.
Alena merasa gelisah dan tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya, ia pun berbicara kepada suaminya,
"Ini, Mas, Ralda belum makan apa-apa. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya? Apalagi saat ini dia sedang hamil. Saya merasa khawatir, seharusnya sebagai seorang ibu, saya lebih memahami kebutuhan anakku, mengurusnya dengan baik, dan melindunginya."
Saat itu juga, pikiran Alena kembali menerawang. Ia teringat akan perjuangan Ralda, anak perempuan hidup dengan kegelapan. Ia tidak ingin anak itu mengalami hal-hal buruk dalam hidupnya, apalagi saat ini ia sedang mengandung.
"Begitu banyak ujian yang sudah Ralda lewati, namun dia tumbuh menjadi wanita dewasa yang kuat dan tangguh. Aku harus bisa membantu dan memberinya dukungan yang terbaik," batin Alena sambil merasa penyesalan karena belum mampu menjaga kebahagiaan putri dari saudara sang suami dengan lebih baik.
Mungkin saja, menurut Alena, hal buruk yang terjadi pada Ralda sekarang ini adalah akibat kurangnya perhatian dan kasih sayang dari seorang ibu. Namun, Alena percaya bahwa bukanlah kesalahan yang harus diperbaiki, melainkan tanggung jawab yang harus diambil. Dan saat ini, tak ada hal lain yang lebih penting baginya selain mendukung keputusan Ralda.
Paman Ralda terpaku, raut wajahnya berubah tak percaya saat mendengar pengakuan istri yang penuh kelembutan. Baginya, Ralda bukan hanya sekedar keponakan, tetapi telah menjadi putri dalam hatinya.
"Terima kasih, Alena... di kala Ralda menghadapi badai kehidupan, kehadiranmu bagaikan pelita yang menerangi gelapnya malam."ucapnya terlihat bangga menatap istrinya penuh cinta.
Alena tersenyum tipis, menatap dalam-dalam ke mata suaminya, mencari kepastian dalam jiwanya. "Kita adalah suami istri, Mas," ucapnya lembut namun dengan nada tegas.
"Apa yang ada pada dirimu, otomatis menjadi milikku juga, begitu pula Ralda putri kita yang dititipkan sang pencipta, meski bukan berasal dari dalam rahimku. Bukankah begitu kenyataannya?" Alena mencoba membaca perasaan yang tersembunyi di balik ekspresi wajah suaminya. Saat ini yang ia butuhkan adalah dukungan suami tercinta, agar bisa menghadapi bersama rintangan yang akan datang.
" "Kamu memang istri yang sangat pengertian, itulah sebabnya saya tidak bisa meninggalkanmu walaupun banyak godaan di luar sana," ungkap pria paruh baya itu dengan tulus, menatap mata sang istri penuh cinta. Alena merasa hangat saat mendengar ucapan suaminya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki suami yang setia dan mencintainya tanpa batas.
" Sebaiknya Ralda jangan diganggu dulu, tunggu setelah dia bangun," ucap Bram memberitahu istrinya.
Alena mengangguk setuju apa yang dikatakan suaminya, Ralda pasti kelelahan.
" Baiklah, Mas. Jujur, Alena sangat kasihan pada Ralda. Melihat dia murung seperti tadi, Alena ikut merasakan sakit, mungkin ia tiba-tiba teringat dengan ayah dari bayinya." imbuhnya curhat pada suami.
" Entah siapa lelaki itu yang telah mengoyak hati Ralda hingga terluka? Saya akan memastikan dia merasakan penyesalan yang membara sepanjang hidupnya," ucapnya dengan suara serak, sambil mengepal erat tangannya, bergetar penuh amarah yang terpendam.
***
Ralda terbangun dari tidurnya, sejenak terbengong sebelum kemudian sadar dengan lingkungan sekitarnya. Dalam keheningan kamar, pikirannya seakan terus mengulang-ngulang suara dari seorang pria yang tak asing baginya, suara yang telah mengusik ketenangannya sejak dia berada di rumah sakit.
"Kenapa dia muncul kembali? Apakah saya salah orang ?" batin Ralda, dengan perasaan campur aduk antara rasa penasaran dan takut.
"Lantas kenapa suara dokter itu mirip sekali dengan suara mas Abrisam?" Ralda menghela nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya dan merasionalisasi kehadiran pria itu. Ia mulai memahami bahwa terlalu banyak berpikir negatif hanya akan membuat dirinya semakin tidak nyaman.
"Apa pun alasannya, aku tidak boleh membiarkan kehadiran dia menggoyahkan tekadku. Aku harus fokus pada tujuan utamaku, yaitu kesehatan bayi dalam kandunganku dan segera kembali pada kehidupan normal," tegas Ralda dalam hati, sebelum mencoba untuk kembali memejamkan mata dan menenangkan pikirannya agar bisa tidur kembali.
Wanita itu kembali mengelusi lembut pervt yang sudah besar, berharap masa depan anaknya kelak tidak seperti nasibnya yang malang saat ini.
Malam semakin larut dan keheningan semakin menyelimuti. Suara jangkrik mulai terdengar berisik, seolah-olah ingin memecahkan kesunyian yang mengejutkan. Ia mulai terpaku di tempat, merasa seolah-olah semua rasa ingin didiamkan, namun ternyata alam mempunyai cara untuk membuat semua perasaan terbangun. "Malam ini, mengapa Ralda teringat dia? apakah karena suara itu ?" tanyanya pada diri sendiri, sambil mencoba memahami sejauh mana rasa kegelisahan itu akan membawanya. Seolah dunia memainkan perannya, menggoda hati untuk merasakan ketidaknyamanan yang sama. Ia menutup mata, bernafas dalam-dalam, mencoba untuk menemukan kedamaian yang seharusnya didapatkan di tengah hening malam yang memeluk.
" Selamat malam, sayang. Mama harap Dede di sana tak merasakan kesedihan seperti mama," ujar Ralda, tangannya lembut menyentuh pervt yang membuncit, penuh cinta dan proteksi. Sambil merasakan detak jantungnya yang melambat, ia berbisik pelan, "Selamat tidur, sayangku. Apa pun yang terjadi di luar sana, ingatlah bahwa mama selalu di sini untukmu." Kata-katanya penuh harapan, berusaha menciptakan ikatan yang tak terlihat namun terasa hangat dengan sang buah hati yang masih bertumbuh dalam rahim. Setiap malam, seperti ritus sakral, Ralda mengikuti nasihat dokter untuk terus berkomunikasi, membangun dunia penuh kasih bagi sang anak sebelum ia menyapa dunia ini.