“Menikahlah denganku, lahirkan keturunanku, dan aku akan membantumu.”
Penawaran dari Sagara dengan imbalan yang cukup fantastis membuat Lisa seakan mendapatkan angin segar di tengah tuntutan hutang yang menggunung. Namun, gadis itu tak memiliki cukup keberanian untuk mengambil tawaran itu karena Lisa tahu bahwa Sagara telah memiliki istri dan Lisa tidak ingin melukai perasaan istri Sagara.
Hingga akhirnya Lisa kembali dihadapkan pada kabar yang mengguncang pertahanannya.
Ia harus memilih antara menjadi istri kedua dan melahirkan keturunan Sagara dengan imbalan yang besar, atau mempertahankan harga diri dan masa depannya, tetapi ia harus kehilangan orang yang ia sayangi.
Lalu, bagaimana dengan keputusan Lisa? Dan apa sebenarnya yang buat Sagara akhirnya berpaling dari istrinya?
Yuk, ikuti terus kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menagih hutang
Keesokan paginya.
Lisa dan Liam yang sudah mulai akur kembali setelah semalam sang ibu memberikan wejangan pada ke duanya pun hari ini pamit pulang. Sebelum keluar, Lisa mampir ke ruang administrasi untuk menanyakan tagihan sang ibu yang mungkin saja saat ini sudah bertambah. Namun, ke duanya dibuat terkejut ketika tagihan itu telah dibayar lunas kemarin malam.
Ada rasa canggung yang dirasakan Liam karena semalam mengatakan hal buruk bahkan membentak kakak satu-satunya yang sudah berkorban banyak untuk dirinya dan keluarga. Namun, bibirnya seolah terkunci hanya untuk mengucapkan maaf karena rasa bersalah yang semakin membesar setelah mendengar informasi yang disampaikan pihak rumah sakit.
“Ayo, pulang!” ajak Lisa pada Liam.
“Kak, maafin Liam, ya,” ucap Liam, lirih.
Lisa tersenyum, “Kamu nggak salah, Li. Tindakanmu semalam menunjukkan bahwa kamu sangat menyayangi kakak. Kakak tahu kamu pasti kecewa, tapi apa boleh buat, kita nggak bisa terus-terusan seperti ini. Setidaknya jika kakak gagal mewujudkan impian kakak, kamu dan Leo bisa mewujudkannya. Sekolah yang rajin dan kakak usahakan setelah ini kalian akan hidup dengan aman dan tenang,”
“Apa benar yang kakak katakan semalam mengenai mas Zaki?”
Sambil menunggu angkutan umum, ke dua bersaudara itu tampak saling berbincang di pinggir jalan, menepis rasa canggung yang sebelumnya sempat hinggap di antara mereka.
Lisa tersenyum sendu, kemudian mengangguk. “Ibunya mas Zaki nggak akan bisa nerima kakak yang hanya lulusan SMA untuk bersanding dengan mas Zaki yang seorang sarjana. Beliau selalu menekankan bahwa di antara kakak dan mas Zaki tidak akan pernah ada yang namanya pernikahan. Mau senekat apapun kita ke depannya, beliau dan keluarganya akan berusaha memisahkan kita. Jadi, daripada terlambat dan berujung penyesalan, lebih baik kakak akhiri sekarang agar sakitnya tidak terlalu dalam.”
Liam diam-diam mengepalkan ke dua tangannya. Sungguh hatinya begitu sakit melihat sang kakak merasa rendah seperti ini. Pria itu berjanji dalam hatinya, suatu saat akan membahagiakan keluarganya terlebih sang kakak.
“Lalu kenapa waktu itu mas Zaki janjiin kakak pernikahan?”
“Kakak nggak tahu,Li. Mungkin karena kami LDR dan jarang ketemu, jadi dia pengen banget ngajak kakak nikah supaya bisa sama-sama terus. Dulu, kakak terlalu cinta mungkin, ya, jadi mau dibilang ini itu sama keluarganya, kakak nggak peduli. Malah kakak iya-iyain aja ketika dia ngajakin serius. Tapi sekarang setelah kakak mencoba pahami semuanya, kakak sadar, bahwa selama ini kakak, lah yang terlalu bodoh karena diam saja ketika dihina oleh mereka. Mas Zaki juga tidak pernah membela kakak ketika kakak direndahkan oleh ibu dan para saudaranya. Itulah yang akhirnya membuat kakak mengambil keputusan ini. Melepas dan memilih penggantinya,”
Pembahasan mereka seketika terhenti ketika angkutan umum yang mereka tunggu tiba. Hanya sekitar dua puluh menit akhirnya mereka tiba di rumah. Liam dan Lisa begitu terkejut ketika mendapati sayuran yang ditanam sang ibu di depan rumah kini hancur berantakan.
“Apa-apaan ini?”
Dari arah samping rumah, muncul tiga orang pria berbadan tegap dengan lengan yang terbalut tato yang terlihat menyeramkan bersama seorang wanita paruh baya dengan pakaian glamornya.
“Nah, akhirnya pulang juga kamu!” seru wanita itu.
“Apa yang kalian lakukan di rumahku, hah!” pekik Lisa marah.
“Dasar gadis bodoh! Aku sudah memperingatimu untuk membayar hutangmu tepat waktu, tapi kamu malah kabur! Hari ini hari terakhir mu melunasi hutang ayahmu, jadi jangan pura-pura amnesia dan bayar hutangmu sekarang!”
Lisa tersentak kaget, ia lupa jika hari ini adalah jatuh tempo pembayaran hutang sang ayah karena terlalu banyak hal yang ia pikirkan.
“Aku akan membayarnya, jadi anda tidak perlu membuat keributan di rumahku!”
“Ya, sudah, bayar sekarang! Aku sudah cukup sabar menunggu dan terus menunggu janji yang tidak pernah kamu tepati!” bentak rentenir itu.
“Nanti! Aku akan melunasinya nanti, jadi lebih baik kamu pergi dari sini karena aku harus mengambil uangnya terlebih dulu,” jawab Lisa mencoba menegosiasi.
“Cih, memangnya aku percaya kalau kamu bisa melunasi semua hutang-hutang ayahmu? Ah … atau, kamu bisa menukar hutang-hutang itu dengan tubuhmu. Sepertinya kamu masih perawan,” ucapnya sembari memindai tu*buh Lisa yang masih terlihat ranum itu.
“Jaga bicaramu!” bentak Liam.
“Kenapa? Kamu tersinggung dengan ucapanku? Kalau miskin ya miskin aja, jangan belagu. Udah dikasih solusi malah bentak-bentak. Mau kuhajar kamu, hah!”
“Berhenti!” cegah Lisa ketika anak buah rentenir itu hendak menghajar adiknya.
“Seperti janjiku, aku akan melunasinya hari ini. Jika memang hari ini aku nggak bisa melunasinya kamu bisa membawaku pergi, tapi kalau hari ini aku bisa melunasi hutang-hutang itu, kamu harus janji tidak akan lagi mengusik keluargaku!”
“Oke. Aku tunggu sampai jam delapan malam nanti. Kalau sampai lewat dari jam delapan dan kamu belum bayar semuanya, aku akan membawamu pergi, dengan atau tanpa persetujuan keluargamu.”
“Oke, deal!”
Setelah memastikan rentenir dan anak buahnya pergi, Lisa segera mengajak Liam untuk masuk ke rumah, rupanya di dalam sana, ada Leo dan Seli yang baru saja keluar dari bawah kolong ranjang dengan raut ketakutan di wajahnya.
“Kak Lisa,” panggil Leo dan langsung menghambur ke pelukan sang kakak.
Lisa tentu saja terkejut, tetapi gadis itu segera merengkuh lebih erat adiknya yang terlihat ketakutan itu. “Sudah, mereka sudah pergi. Kakak janji setelah ini mereka tidak akan pernah datang ke rumah ini lagi,”
Leo lantas mengangguk, percaya pada apa yang kakaknya ucapkan.
“Tadi niatnya aku mau nganterin Leo mandi sama ganti baju, Lis. Eh, nggak taunya mereka datang sambil teriak-teriak. Untung aja pintunya sempat aku kunci setelah masuk ke rumah, kalau nggak, bisa saja mereka menerobos masuk dan malah ngancurin barang-barang yang ada di dalam rumah,” jelas Seli setelah melihat Leo sedikit tenang.
“Aku nggak tahu kalau mereka akan datang sepagi ini, Sel. Untung kalian nggak kenapa-napa. Makasih, ya, Sel udah jagain Leo,”
“Iya, sama-sama. Ya, sudah, berhubung kamu udah pulang, aku balik dulu, ya. Mau siap-siap juga. Oh, ya, Liam, nanti mampir ke rumah, ya, tadi ibu buatin bekal buat kamu. jangan lupa diambil," pamit Seli kemudian bergegas keluar rumah.
"makasih, kak,"
Lisa dan Liam mengangguk.
Sepeninggalnya Seli, Lisa segera meminta ke dua adiknya untuk bersiap, sementara dirinya harus memastikan bahwa Sagara benar-benar menepati janjinya untuk mengirimkan uangnya lebih cepat.
[Bisakah anda mengirim uangnya hari ini karena saya benar-benar membutuhkannya sekarang]
***
Dewi memasuki kamarnya dengan cepat. Tubuhnya terasa lelah setelah seharian kemarin disibukkan dengan kegiatan syuting yang menggila ditambah semalaman dirinya menghabiskan waktunya bersama selingkuhannya. Namun, baru saja hendak merebahkan tubuhnya ke atas kasur, matanya justru tanpa sengaja tertaut pada ponsel Sagara yang menyala, menampilan pop up kiriman pesan dari seseorang.
Dahinya mengernyit ketika membaca pesan itu.
“Uang? Uang apa? Dan siapa si Lisa ini. Kenapa dia seolah begitu istimewa sekali untuk mas Saga?” gumam Dewi yang melihat stiker hati di belakang nama pengirimnya.
bersambung
***