Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Ingin ikut memberi pelajaran?
...****************...
“Hanya Ghariel?”
Araya tidak tahu apa maksud pertanyaan Gevan tadi. Anak mereka kan hanya Ghariel? Ia langsung menutup pintu kamarnya karena canggung mereka terlalu dekat tadi.
Araya kembali mengeratkan selimutnya setelah Dokter Sarah selesai memeriksanya. Setelah kejadian tadi, kini suhu tubuhnya benar-benar tinggi.
“Nyonya terserang demam dan masuk angin. Karena syok juga memperburuk keadaan Anda. Saya sarankan agar istirahat lebih banyak dan tidak banyak pikiran.” Jelas Dokter Sarah.
Araya hanya mengangguk menanggapi.
“Anda bisa minum paracetamol lebih dulu sembari menunggu obat di tebus agar suhunya turun, juga perbanyak minum air putih hangat, Nyonya.”
Araya kembali mengangguk, ia tak memiliki tenaga untuk sekedar menjawab. Toh untuk basa basi ada Bi Laksmi yang mewakilinya.
Setelah Dokter Sarah pergi, Bi Laksmi pamit untuk meminta pelayan menebus obat di apotek.
Araya memejamkan matanya, kepalanya sudahlah nyeri luka sekarang juga nyeri di dalam. Ia berharap dapat segera tidur.
Cklek..
Pintu kamarnya terdengar terbuka. Araya yakin itu Bi Laksmi yang sudah kembali.
Tak lama, ia merasakan tangan seseorang menyentuh dahinya, cukup lama kemudian beralih menjadi usapan ringan yang terasa nyaman.
Tunggu, apa tangan Bi Laksmi memang sebesar ini?
***
Dengan berlari kecil keluar dari kelasnya, Ghariel sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah. Ibunya pasti sudah menunggu di gerbang saat ini.
“Ghaliel, kamu di jemput mama kamu lagi?”
Ghariel mengangguk menjawab pertanyaan dari teman sekelasnya itu. Namanya Viena, gadis itu sering mengajaknya berbicara. Berbeda dengan teman-temannya yang lain yang banyak mengganggu Ghariel karena ia paling pendek di antara laki-laki di kelas.
“Enak ya, aunty cantik jemput kamu setiap hari. Mama aku mana pernah.” Ujar Viena.
Ghariel menahan tawanya mendengar gadis itu berbicara, pelafalan ‘r’ Viena masih belum sempurna, tapi meningkat setiap harinya. Menambah kesan lucu gadis itu.
“Tapi kan Papa kamu sering jemput, Viena.” Jawab Ghariel agar gadis itu tak berkecil hati.
Sebenarnya Ghariel ingin berlari ke gerbang, tapi karena Viena mengajaknya mengobrol, ia jadi mengikuti langkah pelan gadis itu.
“Iya sih, tapi tetap saja nanny yang lebih sering jemput aku.”
Ketika di luar gerbang, Ghariel melihat mobil keluarganya di sana. Ia berpamitan untuk duluan pada Viena.
Tumben sekali Ghariel tak mendapati ibunya menunggu di luar mobil seperti biasanya. Mungkin ibu nya lelah berdiri di luar, pikir Ghariel.
Namun, saat memasuki mobil. Hanya ada Bastian di sana.
Bastian pun langsung melajukan mobil setelah ia masuk, berarti tidak ada yang di tunggu
Berarti, Mama-nya tidak menjemput Ghariel hari ini.
Ghariel memainkan jemarinya kecewa. Kenapa ibunya ingkar janji? Padahal ia jelas mendengar Araya mengatakan akan mengantar jemputnya setiap hari. Ini baru satu minggu, apa ibunya sudah lelah terus menjemputnya?
***
Sampai di rumah, bocah tujuh tahun itu tidak bisa tidak memikirkan Araya. Ia terus bertanya-tanya, apa ibunya akan mengabaikannya lagi?
Ghariel tidak ingin kembali ke masa-masa itu. Ia malah berpikir, apa ia membuat kesalahan? Tapi rasanya tidak ada.
Atau, ibunya menyerah karena Ghariel belum memaafkannya? Araya memang sesekali bertanya, apa Ghariel sudah memaafkannya atau belum. Dan Ghariel hanya diam tak menjawab.
Sebenarnya Ghariel tentu sudah memaafkan ibunya. Ia tidak pernah marah pada ibunya itu, Ghariel sangat menyayanginya. Hanya saja, ia masih takut jika ibunya kembali mengacuhkannya. Ketakutan Ghariel sangat besar akan itu.
Untuk menenangkan perasaannya, Ghariel bertekad untuk menemui sang ibu. Sekarang, Mama-nya pasti tidak akan marah kan jika ia menuju lantai dua? Ghariel percaya jika ibunya kini benar-benar menyayanginya.
Tidak ada pelayan yang menghalangi Ghariel menuju lantai dua seperti dulu. Setelah menaiki lift dan tiba di lantai dua, Ghariel segera menuju kamar ibunya.
Ia sedikit ragu untuk membuka pintu kamar ini, tapi keinginannya untuk bertemu sang ibu lebih besar. Tangan kecilnya naik menarik knop pintu.
Cklek.
Ghariel berjalan masuk, tapi ia malah mendapati seseorang yang tidak ia duga berada di kamar ibunya saat ini.
“Papa?”
***
Cklek.
Suara pintu di buka mengalihkan pandangan Gevan ke pintu kamar Araya. Padahal ia sudah mewanti pelayan wanita itu agar tidak menganggunya.
Tapi yang ia dapati, adalah putra kecilnya di sana. Yang sepertinya menatapnya terkejut.
“Papa?”
Gevan tak menghiraukan, ia kembali menatap wajah cantik istrinya yang sudah tertidur nyenyak. Ia menaikkan selimut agar menutupi sampai leher jenjang itu.
Setelahnya mengode putranya untuk keluar. Ia tidak ingin suara anak ini membangunkan Araya nanti.
Ghariel mengikuti pria itu dengan takut. Demi apapun, orang yang paling di takuti Ghariel di dunia ini adalah Papanya. Sekalipun ibunya sering memarahinya, Ghariel tetap menganggap Papanya itu yang paling menakutkan.
Mereka menuju lantai tiga, yang se tahu Ghariel adalah kawasan papanya. Setelahnya, mereka memasuki ruangan dengan pintu ber cat hitam.
“Tuan Muda?” Bastian yang jarang menampilkan emosi terkejut melihat keberadaan Ghariel di sini.
“Keluar, Bastian.” Ujar Gevan memerintah, yang segera di turuti tangan kanannya itu.
Gevan mengambil duduk di salah satu sofa di dalam ruang kerjanya itu, lalu menatap putranya yang berdiri sembari menunduk takut.
“Rayvandra,” Panggil Gevan rendah membuat anaknya itu menatapnya, “Tahu apa kesalahan kamu?”
Ghariel menggeleng pelan, “Tidak, Papa.”
“Benar-benar tidak tahu?”
Ghariel tak menjawab pertanyaan mengintimidasi itu.
“Siapa yang mengajarkan kamu, mengucapkan benci pada Mama-mu?” Tanya Gevan dingin.
Ghariel menundukkan pandangannya, Papa nya selalu tahu segalanya. Padahal seingat Gevan, saat itu hanya ada ia dan mamanya.
“Apa Bastian? Pelayan? Atau teman sekolah kamu?”
“Maaf, Papa.” Jawab Ghariel menunduk.
Gevan menghela nafasnya kasar, “Kamu membencinya?”
“Tidak!” Ghariel segera menggeleng.
“Lalu?”
“Aku selalu menyayangi Mama.” Jawab Ghariel.
Gevan mengangguk, “Bagus.”
“Kalau begitu berhenti mengucapkan omong kosong pada Mama-mu. Berhenti membuatnya lelah karena kamu terus mempermainkannya. Jika dia sampai bersedih, kamu yang akan di hukum, mengerti Rayvandra?”
Ghariel mengangguk, “Mengerti, Papa.”
Sejak awal, Ghariel tidak pernah marah atau pun benci pada mamanya. Sekalipun Araya memukulnya, tidak ada perasaan benci tertanam di hatinya.
Papanya selalu menekankan untuk menghormati mamanya melebihi siapa pun di dunia ini, melebihi bagaimana Ghariel menghormati Papanya.
Sejak ia lahir, Gevan selalu menekankan jika Araya sangat menyayangi Ghariel. Ghariel selalu percaya itu dari dulu, lalu saat mama nya terus membentak dan memarahi Ghariel, Gevan tetap mengatakan jika Araya menyayanginya.
Gevan bilang, Ibunya hanya sedang sakit. Karena itu, apa pun yang di lakukan sang ibu pada Ghariel, Ghariel tidak boleh melawan. Ghariel harus tetap menyayangi Araya dan bersabar menunggu ibunya sembuh.
Saat Araya sembuh nanti, ia akan memperlakukan Ghariel dengan baik.
Ghariel selalu mempercayai itu, karena itu lah saat ibunya meminta maaf, ia yakin ibunya telah sembuh. Hanya saja, Ghariel ingin memastikan ibunya benar-benar sembuh atau tidak. Padahal dalam hatinya ia sudah kesenangan.
“Mama kamu sakit, karena itu tidak dapat menjemput kamu ke sekolah tadi.” Ungkap Gevan.
“Mama sakit?” Sakit dalam maksud Ghariel memiliki arti lain, karena itu ia bertanya panik.
“Dia demam,” Ujar Gevan menatap anaknya lurus, “karena ulah seseorang.”
“Siapa?” Tanya Ghariel, ada binar tidak suka terlihat jelas di matanya.
Dan Gevan menyukai itu. Binar itu menunjukkan jika bocah ini benar-benar anaknya.
“Ingin ikut memberinya pelajaran?”
...****************...
tbc.
Rayvandra \= aRAYa geVANDRA
Keliatan banget kecintaannya bang💋