NovelToon NovelToon
Alone Together

Alone Together

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horror Thriller-Horror / Teen School/College / Romansa
Popularitas:300
Nilai: 5
Nama Author: Mara Rainey

Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).

Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.

Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 8 : Seven Rings

                                                                            ~Happy Reading~

#Flashback Tahun 1985#

Mobil tanpa plat nomor berhenti di seberang jalan, agak jauh dari pintu gerbang Seoryeong Academy. Mobil sedan menarik, namun tiga orang di dalamnya tidak peduli, justru mobil ini tidak akan menarik perhatian siapa-siapa, apalagi anak-anak orang kaya macam mereka yang terbiasa naik BMW atau Mercedes.

Dua orang yang duduk di jok depan mengenakan baju seragam biru, seperti yang selalu dikenakan montir... atau petugas kebersihan. Satu di belakang mengenakan kemeja hitam dan celana hitam, mirip dengan seragam yang dikenakan security di Seoryeong Academy, badannya tinggi besar, hampir sebesar rumah. Mereka melihat dua anak yang berdiri di trotoar, yang satu memeluk skateboard orange cerah, satu lagi mengepit skateboard biru di bawah ketiak.

Dua orang di jok depan berencana membunuh target yang ada di dalam foto.

Foto yang menampilkan tujuh gadis tersenyum ceria menatap ke kamera.

"Tujuh orang ini, mereka dalangnya. Ingat, datangi mereka di kelas masing-masing, habisi di tempat, lalu keluar."

Tentunya rencana itu tidak sulit mengingat 3 gadis merupakan teman sekelas, 3 lagi terpisah di kelas lain, sementara satu orang letak kelasnya dekat dari pintu utama. Mereka beda angkatan.

Namun pria di jok belakang merancang rencana sendiri.

.

.

.

Tak pernah ada yang tahu nasib ketujuh gadis itu sekarang. Yah, tentu saja, lolos dari maut menyisakan trauma mendalam bagi mereka. Bahkan setelah mereka menikah lalu berumah tangga dan menyandang marga suami.

Mereka juga berusaha keras tutup mulut soal terror yang pernah mereka lakukan. Serta terror yang berbalik merenggut nyawa semua orang. Bersalah atau tidak, korban berjatuhan melebihi dua kali lipat.

Gadis-gadis ini kemudian mengarungi perjalanan hidup berbeda. Tak semuanya berakhir bahagia. Perselingkuhan, perebutan hak asuh anak, kekerasan dalam rumah tangga, tidak akur dengan anak sendiri, hamil di luar nikah kemudian diusir dari rumah dan terpaksa menjalani hidup 180 derajat berkebalikan dari hidup orang tua yang merupakan pejabat paling disegani pada masanya.

Oh iya, mereka lost contact satu sama lain. Benar-benar ingin mengubur kenangan-kenangan bersama dengan persahabatan mereka. Yang dianggap toxic oleh orang-orang.

Lucunya, bertahun-tahun kemudian anak-anak mereka dihukum bareng di hari yang sama. Kebetulan?

.

.

.

Tahun 2015

Sebenarnya pagi tadi Haekyung berangkat di tengah-tengah suana gempar. Ibunya gempar.

Kado terbungkus rapi mejeng di teras rumah, yang seperti biasa memicu kemarahan ibunya. Tanpa dibuka apalagi dilihat isinya, kado itu berakhir di tempat pembakaran sampah. Dibakar langsung oleh Nyonya Jung. Lalu mood jelek sang ibunda mengiringi keberangkatan Haekyung ke ruang hukuman.

.

.

.

Jiha ingat kado pertama yang dikirimi si pengirim tanpa nama. Kado itu diletakkan di depan pintu rumah mereka. Usia Jiha saat itu baru menginjak lima tahun.

Kotak kado itu lumayan besar, ukurannya kira-kira sebesar kotak sepatu, terbungkus kertas kado polos warna abu-abu dan dihiasi pita pink muda. Begitu dibuka isinya boneka Teddy bear kecil yang memakai gaun pink mengembang dengan bahan tile dan pita berwarna senada.

"Eommaaa! Bonekanya lucu banget! Boleh buat aku?" Jiha kecil menyambar boneka itu dari tangan ibunya.

Feeling Nyonya Park segera mendeteksi sesuatu yang tidak beres.

Kado kedua muncul di depan pintu rumah mereka bulan Mei tahun depan. Jiha begitu bersemangat ingin melihat isinya. Namun, kali ini hadiah itu dikemas dalam kotak kado kecil, meski masih menggunakan kertas pembungkus abu-abu, pita pink.

Nyonya Park terkejut menemukan cincin kotor bernoda tanah di dalamnya. Cincin platinum dengan ukiran namanya sendiri. Cincin yang seharusnya sudah lama terkubur.

Kado ketiga dikirim tahun depannya lagi, tepat di bulan Mei. Yang begitu diangkat tutup kotaknya, bau menyengat langsung memenuhi rongga hidung. Wanita itu terperangah... isinya bangkai! Berbentuk gumpalan hitam tidak karuan. Banyak belatung yang dengan menjijikkan menggerogoti bangkai itu. Foto yang terselip di bawah gumpalan hitam itu membuat Nyonya Park langsung membuang kotak itu ke tempat sampah. Masalahnya, itu foto mereka bertujuh dulu.

Setelah kado ketiga, Nyonya Park jadi paranoid dan melarang putrinya mendekati barang-barang mencurigakan yang dikirim ke rumah mereka. Semenjak saat itu pula Nyonya Park selalu terlihat uring-uringan dan tidak pernah mau menceritakan hadiah terkutuk itu pada Jiha. Juga apa pun yang berhubungan dengan terror kado abu-abu yang selalu dikirim ke rumah mereka.

Biasanya nasib si kado tidak pernah sampai ke depan pintu. Karena para maid dan penjaga pintu sudah diberi amanat untuk membuangnya begitu kiriman aneh itu tiba.

.

.

.

Sojin duduk gelisah di kursinya. Pacarnya belum kembali sampai sekarang.

Dia punya kebiasaan menggaruk jidat berulang kali ketika pusing memikirkan sesuatu. Termasuk hal-hal tidak masuk akal yang baru saja terjadi.

Tumpukan buku tua dengan berbagai macam judul berdiri menjulang di hadapan Sojin. Laptopnya menampilkan deretan jendela situs mengenai sejarah Seoryeong Academy, mulai awal terbantuk sampai ke pergantian kepala sekolah dari tahun ke tahun. Tidak banyak yang mengupas tuntas sejarah kelam sekolah ini. Sekalinya ada, selalu diakhiri dengan kalimat "pelaku yang belum tertangkap" atau "pihak keluarga para korban penembakan tidak setuju dan berusaha menutut pihak sekolah atas insiden yang menimpa anak-anak mereka".

It's okay kalau memang para petinggi sekolah takut buka-bukaan karena tidak mau membuat murid-murid paranoid. No problem kalau memang mereka mau main rahasia-rahasiaan sampai hari kelulusan tiba. Sojin masih bisa cari tahu sendiri. Dia bukan bocah ingusan lagi yang segala sesuatunya musti dijejalkan dulu ke dalam mulut baru mau makan.

Sementara Professor Park tampak serius menekuni research dadakan, lagi-lagi terdengar suara tawa cekikikan perempuan. Suara kedengaran jelas, tidak ada wujud.

Oke. Baiklah. Kalau memang mereka sebegitu inginnya bermain petak umpet, akan dia ladeni!

Sebagai anggota kru belakang panggung ekskul drama, Sojin selalu menyimpan kamera di dalam ranselnya, kamera itu tidak pernah dikeluarkan.

Sojin merogoh tas ransel di atas meja, dia keluarkan handycam yang dilengkapi dengan IR Night Vision. Seluruh saklar lampu di perpustakaan dia matikan. Setelah itu Sojin menutup semua tirai yang ada. Lalu dia aktifkan lampu LED yang terpasang di handycam miliknya, sementara gambar pada layar sudah tersetting ke mode infrared secara otomatis.

Debar jantung dan adrenalinnya berpacu keras.

Kini ruang perpustakaan benar-benar gelap total.

Sepasang mata Sojin berusah menyesuaikan diri dalam kegelapan. Pendengarannya dia tajamkan. Memang siang hari bukan waktu yang tepat untuk melakukan perburuan. Tapi bagi Sojin, salah sekali kalau dia menolak undangan sementara para penunggu disini sudah ingin berkenalan dengannya.

Samar-samar, dari jarak jauh sekali di depan sana, dia mendengar suara seperti... langkah kaki yang diseret. Begitu lirih dan berat. Dia juga mendengar suara benda berat seperti kamus tebal yang jatuh berdebum di lantai, bunyinya memantul di tembok yang kosong, bergema di langit-langit perpustakaan yang gelap.

Sojin berdiri kaku di tempat, tubuhnya seolah sulit digerakkan. Lama-lama, suara langkah diseret itu semakin dekat dan jelas. Sambil menekan jauh-jauh rasa takut di dalam dirinya, Sojin mengarahkan kamera ke sekeliling ruangan. Lampu penerangannya menyapu deretan rak-rak lemari yang berdebu, tumpukan buku, sarang laba-laba di dekat jam antik, dinding-dinding penuh noda, lukisan seorang bangsawan kerajaan yang tidak Sojin kenali, hingga sampai di celah lebar yang berada diantara dua lemari besar di ujung sana. Dia tadi mendengar suara langkah kaki diseret tapi tak bisa menemukan sosok si pemilik kaki dimanapun. Ckck. Mau main-main rupanya. Belum tau ya mereka sedang berhadapan dengan siapa?

Tiba-tiba dia menangkap sekelebat cahaya putih melesat cepat melewati celah-celah sempit rak buku di ujung lainnya.

Sojin menyunggingkan senyum. Matanya berkilat semangat. Waktunya berburu!

Derap sepatunya bergema bagai irama musik di tengah kehampaan. Sojin celingukan kesana-kemari, mencoba mencari sekelebat cahaya putih tadi. Ketika dia melihatnya lewat beberapa meter di depan, Sojin cepat-cepat berlari mengejar. Jangan sampai lolos. Entah kenapa dia berfirasat cahaya bulat seperti kunang-kunang itu berniat menunjukkan sesuatu padanya.

Mendadak Sojin berhenti berlari. Tepat di depan sana, dia melihat wajah pucat tengah menatap nyalang ke arahnya. Hanya wajah pucat. Sojin tidak menemukan bagian tubuh ke bawah. Bulu kuduknya merinding hebat, namun dia tidak berniat menginvestigasi makhluk apapun yang sedang berdiri di sana mengawasinya. Dia terlanjur tertarik pada cahaya yang tadi.

Si wajah pucat bergerak mendekat seperti ingin menangkapnya. Refleks Sojin beringsut mundur, lalu berbalik dan mempercepat langkah menyusuri deretan lemari buku. Begitu menoleh kebelakang, wanita pucat tadi sudah menghilang. Diam-diam Sojin menghela napas lega.

Setelah nyaris terpeleset dan tersandung berkali-kali gara-gara buru-buru berlari mengikuti cahaya misterius, dia berbelok di ujung rak dan mendapati dinding paling belakangperpustakaan yang pastinya jarang dilalui manusia. Jalan buntu. Tidak ada apa-apalagi selain rak buku yang menghalangi tembok bata di belakangnya.

"What the hell...?" gumamnya pelan. Nyaris menyerupai bisikan.

Setelah terdiam cukup lama, akhirnya cewek itu menyerah. Perburuan selesai.

Sangat panas di sekitar sini. Panas dan lembab. Hawanya lebih parah dari di bagian depan. Mencoba mengusir rasa takutnya, Sojin berjalan menyusuri deretan rak buku untuk kembali ke ruangan baca di tengah-tengah perpustakaan. Waktunya untuk menyalakan lamp—

Dia terperanjat. Wanita pucat itu sudah menunggu di depan sana. Tatapannya kosong, dingin dan mengerikan. Rambutnya panjang sepunggung, hitam legam, terjurai ke depan menutupi separuh wajahnya. Dia berdiri di tengah-tengah menghalangi jalan. Kepalanya berayun ke kiri dan ke kanan, rambut hitam panjang miliknya juga ikut terayun pelan. Wanita itu bersenandung dengan suaranya yang halus, terdengar begitu sedih.

Dengan tangan gemetar dan keringat dingin yang bercucuran, Sojin mengarahkan fokus kamera tepat ke wanita itu. Dia terus mengayun-ayunkan kepala, bola matanya yang gelap terlihat sendu. Wanita itu memakai kemeja putih kucel lengan panjang, ujung kemejanya dimasukkan ke dalam celana high waist warna cokelat yang bagian bawahnya melebar. Dia terlihat formal seperti...

Bukan murid sekolah pastinya.

"Siapa kau?" Suara Sojin keluar jadi bisikan miris, kecil dan bergetar.

Diluar dugaan, makhluk pucat itu berhenti bersenandung. Kakinya yang pincang sebelah dan berdarah diseret perlahan-lahan, kembali ke dalam bayang-bayang gelap. Tepat setelah wanita itu lenyap, serangan cahaya muncul bersamaan memenuhi ruangan. Kegelapan sirna. Berganti dengan sinar matahari yang menghambur masuk melalui tirai-tirai yang dibuka. Sojin spontan melindungi kedua mata dengan telapak tangannya. Silau sekali.

"Sojin, apa yang kau lakukan di belakang situ? Semua teman-temanmu sudah berkumpul di depan. Kau ngapain sih? Berhentilah main-main!"

Oh, rupanya itu Dongwon ssaem. Datang menyelamatkannya seperti pahlawan kesorean.

.

.

.

Dongwon menyuruh tujuh bocah itu mengemasi barang-barang mereka.

"Tunggu dulu, sebelum kalian melangkah keluar meninggalkan tempat ini, aku ingin kalian duduk sebentar-"

Junseok menggeram sambil garuk-garuk kepala. "Tadi katanya boleh pulang?"

"Pak, saya tidak pernah suka sama dia, tapi kali ini saya setuju dengan dia," celetuk Haekyung. "Kami sudah menyusun semua buku sesuai perintah bapak, apa lagi sekarang? Kenapa kami masih ditahan?"

"Bukan ditahan. Dengar dulu." Dongwon berdecak. "Ya ampun! Kalian harus belajar lebih sopan dan bersabar. Masyarakat tidak bisa mentolerir anak-anak urakan. Kalau sifat kalian masih begitu, siapapun ragu mau meluluskan kalian."

"Pak, ada apa?" Namgil melipat lengan di dada. Menyuruhnya to-the-point saja.

"Begini… mm..." Dongwon menarik satu kursi lalu duduk di depan mereka. "Kalian, duduk dulu, saya mohon, saya mau bicara sebentar. Penting!"

Sambil misah-misuh dan mengumpat pelan, mereka bertujuh kembali ke bangku masing-masing.

"Dengar, kalian semua, jika memang punya masalah yang tidak bisa kalian ceritakan kepada orang tua kalian di rumah, kalian bisa datang kepada saya, ungkapkan saja semuanya. Saya tidak akan ragu-ragu membantu."

Junseok terkekeh dengan raut menghina.

"Jeon, apa yang lucu?" Dongwon menyipitkan mata.

"Mau membantu bagaimana?" Junseok bersedekap. "Mau membantu menghajar ayah saya yang brengsek tua bangka mata keranjang? Mau bantu saya memenjarakan dia? Pak, kalau bantuan semacam itu yang bapak tawarkan, saya baru merasa terbantu."

Jiha diam-diam shock. Tuh kan benar! Orang tua Junseok bermasalah.

Dongwon menatap Junseok tepat di mata. "Baiklah, kita mulai dari kau, langganan tetap ruang hukuman. Ada apa dengan ayahmu?"

"Yah... pada dasarnya dia pria tua tidak tahu malu dan tidak tahu diuntung." Junseok mengedikkan bahu, menunduk menghindari tatapan semua orang, termasuk Jiha. "Pria tak tahu malu itu senang memberiku julukan macam-macam."

"Seperti apa?" tanya Dongwon, benar-benar tidak ada nada menghakimi dalam suaranya. Dia ingin menyelami seperti apa pribadi bocah keras kepala ini.

Junseok mulai menghitung menggunakan kesepuluh jarinya. "Bodoh, tidak berharga, tidak berguna, bajingan yang cuma mau gratisan, dungu, mulut besar, pengecut, sok tahu, keparat, brengsek, anak tidak sopan."

"Dia tidak pernah memanggilmu dengan nama?" Dongwon sedang mencatatnya dalam kepala.

Junseok menatap ke sekeliling ruangan, "Kalian pasti tidak percaya."

"Kami percaya," sahut Dongwon. "Apa lagi yang dia lakukan."

Sambil menatap Jiha, cowok itu mulai menggulung naik lengan jaket sebelah kiri, memperlihatkan bekas luka bakar mengering tercetak di atas kulit nadi, itu melepuh dan membengkak seukuran cerutu. Bentuknya bulat dan abu-abu gelap.

Jiha segera berpaling dan menundukkan kepala, tidak sanggup melihatnya lebih lama.

"Ini yang saya dapati di rumah saya, hanya karena tidak sengaja menumpahkan kopi di meja makan."

Dongwon memasang rengutan, dia prihatin sekaligus ingin menangis. Setelah sekian lama menghukum Junseok sambil membentak-bentaknya di hadapan murid lain, hari ini dia baru menemukan penyebab utama yang membentuk karakter keras pada diri Junseok. "Serius, aku bisa memanggil ayahmu ke sekolah kapan-kapan."

"Bagaimana kalau kita buat perjanjian." Junseok membalas tatapan Dongwon tanpa ragu. "Saya cerita jujur, asalkan tidak usah ada acara panggil-panggil ke sekolah segala."

"Junseok, tidak apa-apa, saya hanya ingin memberi peringatan kecil padanya. Lagipula, orang tua tidak seharusnya melakukan tindakan kelewatan seperti itu."

"Pak, saya mohon... dengan sangat..." ucap Junseok penuh penekanan dan ekspresi kaku samurai siap mati. "Jangan pernah mengirim surat teguran ke ayah saya. Jangan pernah! Apalagi menyuruh ayah saya datang ke sekolah. Jika itu terjadi, sekolah ini yang saya bakar. Saya tidak main-main!"

Di sinilah Haekyung dan yang lainnya mulai melihat Junseok dari sudut pandang berbeda. Kacamata berbeda. Melihat dia sebagai bocah enam belas tahun yang rapuh. Bukan penindas berbadan besar sok berkuasa.

"Oke oke." Dongwon menghela napas dalam-dalam. "Saya tidak akan memanggil ayahmu ke sekolah. Tapi, ingat, mulai sekarang kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk jujur kepada saya. Ini berlaku untuk kalian semua. Saya bukan cenayang, saya tidak tahu apa-apa dan tidak bisa membantu kalau kalian tidak pernah cerita. Mungkin bukan membantu dengan jalan ekstrem, tapi saya punya telinga."

Dongwon menampakkan senyum manis itu lagi. Senyum yang bikin Sojin salah fokus. "Kalian bisa datang ke ruangan saya, selain di jam-jam sibuk atau jam pelajaran, di luar jam itu, kalian bisa cerita masalah kalian. Dan..." Dongwon kembali mengarahkan fokus tatapan ke Junseok. "Saya minta, ini terakhir saya bertemu denganmu di hari Minggu, Jeon. Apa kau sesayang itu padaku, hah? Astaga! Pergi kencan sana! Tapi jangan sampai hamil."

"Siapa yang hamil, pak?" goda Haekyung. "Junseok atau pasangannya?"

Junseok mencibir dengan tampang menyebalkan. "Ha ha ha. Lucu sekali."

"Berikutnya siapa?" Dongwon menyoroti enam wajah lain yang tegang, takut ditunjuk.

"Tenang saja, ini hanya sekedar sharing, jangan terlalu tegang." Tatapan Dongwon jatuh pada Yoohan. "Kau... anak baru, bagaimana denganmu? Ada yang ingin kau sampaikan? Ada masalah?"

Yoohan tetap dengan tampang pengantuk datar ciri khasnya. "Saya dihukum karena dituduh sombong oleh guru agama, tapi saya tidak salah."

"Ya ya, aku tahu soal itu. Bukan itu yang mau kudengar. Apa yang terjadi di sekolah lamamu?"

"Orang tua saya keduanya pengacara, mereka bercerai karena perempuan yang malas saya ungkit, lalu saya ikut ibu pindah ke Seoul. Tidak ada masalah di sekolah lama."

"Hanya itu?" Dongwon mengerutkan alis.

"Bapak mengharapkan apa? Saya diam-diam ikut pertandingan gulat pakai kostum spiderman yang saya jahit sendiri?"

Dongwon menggeleng, percuma memaksa Yoohan bicara kalau memang dia tidak mau bicara.

"Kau." Dongwon menunjuk Taera. "Ada masalah hidup apa, Nona Kim? Selama ini guru-guru mengenalmu sebagai murid yang rajin."

Taera geleng-geleng cepat. Poni rambutnya ikut bergerak-gerak mengikuti gelengan kepala.

Melihat Taera yang menunduk ketakutan di kursinya, Haekyung angkat tangan menawarkan diri. "Pak, mending saya yang ditanya."

"Oke, silahkan."

"Sebelumnya, maaf pak kalau saya terkesan kurang sopan." Haekyung menegakkan tubuh, menandakan dia siap menerima konsekuensi atas apa pun yang dia keluarkan dari mulutnya. "Tapi menurut saya ini aneh sekali dan tidak masuk akal."

"Kenapa kau beranggapan seperti itu?"

"Setahu saya, murid yang pantas menjalani detensi adalah murid yang telah melanggar tiga kali. Pelanggaran satu kali, kita hanya diberi surat teguran, dua kali juga begitu, bukan dikirim ke ruang detensi. Pelanggaran berat seperti mabuk-mabukan di toilet sambil merokok, menurut saya itu baru masuk akal untuk dikirim ke ruang detensi. Makanya menurut saya hari ini tidak masuk akal."

Yoohan mengerutkan kening, otaknya memproses kejanggalan hukuman detensi ini.

"Taera baru satu kali membolos dari pelajaran olahraga, itu pun di kelas tambahan, kelas ekstrakurikuler. Bukannya kami menganggap olahraga tidak penting, tapi kami berdua benar-benar cuma jalan-jalan, tidak sampai berbuat merugikan." Haekyung bolak-balik melirik ke Taera, memastikan gadis itu baik-baik saja.

"Pak, jangan cabut beasiswa saya..." cicit Taera. "Pleasee..."

Untuk itulah ibunya tergiur mendaftarkan Taera di Seoryeong Academy. Sekolah mahal yang elit, padahal background keluarganya menengah ke bawah.

Dongwon menghela napas. "Yang lain gimana? Diantara kalian ada penerima beasiswa selain Taera, Haekyung, dan Sojin?"

Namgil angkat tangan.

Yoohan angkat tangan.

Jiha angkat tangan.

Dongwon tidak bakalan sekaget ini kalau saja Junseok tidak angkat tangan. Dia kira bocah itu bergurau dan cuma ikut-ikutan biar disangka keren. Ternyata setelah ditunggu-tunggu, Junseok belum juga berniat menurunkan tangannya.

"Kau selama ini penerima beasiswa?" Dongwon kaget. "Kok bisa?"

Maksud Dongwon: Kok bisa-bisanya tukang buat onar dapat beasiswa.

Memfasilitasi kriminal? Yang benar saja! Pantas anak itu banyak tingkah. Dapat beasiswa jalur khusus!

Itu kebijakan baru semenjak Seoyeon naik menjadi kepala sekolah. Untuk mengenang tragedi di tahun 1985, semua murid yang selamat dari tragedi pembantaian mendapat hak istimewa. Biaya pendidikan anak-anak mereka kelak yang bersekolah di Seoryeong Academy ditanggung oleh pihak sekolah sampai anak-anak mereka lulus, tanpa keluar duit sepeser pun!

Pihak sekolah terpaksa berbaik hati untuk menyetop pernyataan-pernyataan buruk yang sering dikeluarkan para orang tua dengan cara menjelek-jelekkan lewat media. Dengan kata lain, taktik untuk menyuap korban-korban tragedi yang selamat. Tidak peduli bagaimana buruknya anak-anak mereka di bidang akademik, beasiswa tersebut tidak bakal ditarik.

Dongwon nyaris lupa sekolah ini menerapkan kebijakan baru sejak Seoyeon menjabat sebagai kepala sekolah. Posisi yang tadinya diincar Dongwon, namun Seoyeon justru yang berhasil naik takhta.

"Kenapa, pak? Bapak meragukan kemampuan akademik saya?" Junseok angkat dagu bangga. "Saya tidak sebodoh yang bapak pikir."

Dongwon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Orang tuamu alumni di sekolah ini?"

Junseok mengangguk. "Yap, ibuku."

"Siapa namanya?"

Junseok mengernyit curiga.

"Siapa?" ulang Dongwon.

"Miyeon," sahut Junseok.

"Miyeon?" Dongwon mendadak teringat satu nama, teman sekelasnya adiknya dulu. "Lee Miyeon, bukan?"

Belum sempat Junseok memberi jawaban, Dongwon tiba-tiba berdiri, menatap ketujuh anak di depannya dengan sorot aneh, seolah-olah telah bertemu dengan alien.

"Orang tua kalian semuanya lulusan Seoryeong Academy?"

Tujuh kepala mengangguk nyaris serempak.

"Kalian tunggu sebentar, saya mau ambil sesuatu." Pria itu buru-buru keluar, pintu ganda terbanting menutup di belakangnya. Tak lama, dia kembali membawa dokumen berisi kertas-kertas yang kelihatan penting.

"Orang tua kalian dulunya alumni sekolah ini, benar?" Dongwon menatap wajah-wajah di depannya satu-persatu.

"Soal itu kami tau," sahut Namgil.

"Nah... apa kalian sudah tahu ibu kalian dulunya saling berteman dekat?" tanya Dongwon.

Tujuh anak di hadapannya sama-sama melotot tidak percaya. Mengira Dongwon sedang melontarkan guyonan.

"Lho? Kenapa kaget?" Dongwon bingung. "Memangnya ibu kalian tidak pernah cerita sebelum mendaftarkan kalian di sekolah ini?"

Mereka kompak menggeleng.

"Sudah kuduga," Dongwon mengelus-elus dagunya sambil berpikir keras.

"Tunggu dulu, pak." Haekyung melongo. "Maksud bapak apa tiba-tiba menyampaikan ini?"

"Kebetulan aku kenal siapa mereka, tujuh-tujuhnya, mereka dulu tergabung dalam satu geng. Dongwon membaca lembaran kertas dokumen di tangannya, kemungkinan besar itu hasil bongkar-membongkar brangkas di ruang staff akademik.

"Son Yejin ibumu kan?" Dongwon mengamati Haekyung serius.

Yang ditanggapi pakai anggukan.

"Ya, aku ingat Son Yejin, sekelas dengan Go Hyunjung." Dongwon menatap Jiha.

"...dan Woo Hejin." Dongwon mengalihkan tatapan ke Taera. "Hyunjung dan Hejin itu bisa dibilang kembar beda orang tua, kemana-mana selalu berdua."

Merasa nama ibunya disebut-sebut, Jiha dan Taera saling bertukar pandang. Kali ini tanpa tatapan benci dan perasaan ingin menikam, mereka malah penasaran satu sama lain. Agak tidak percaya ibu mereka berusaha menutup-nutupi kenyataan ini.

"Ibu kalian bertiga." Dongwon menunjuk Yoohan, Sojin, dan Namgil secara berurutan. "Juga teman sekelas. Kecuali ibunya Jeon Junseok, Lee Miyeon, yang waktu itu masih kelas satu, anggota baru di geng."

Hening. Mereka bertujuh masih sulit memproses kejutan yang baru saja disampaikan.

"Apa? Kalian mau bilang "tidak percaya"? Nih biodatanya." Dongwon mengacungkan dokumen di tangannya. "Orang tua kalian mengisi formulir ini waktu pendaftaran. Aku alumni sini juga. Kebetulan pernah sekelas satu kali dengan Miyeon ibunya Junseok."

Yoohan bingung, ini terlalu random soalnya. Mulai dari hukuman detensi sampai pembongkaran fakta ibu mereka ternyata satu geng di masa lalu.

"Kalian semua diterima lewat jalur beasiswa?"

Tujuh-tujuhnya mengangguk.

"Kalian pasti dapat amplop atau e-mail berlogo resmi yang isinya undangan penerimaan?"

"Ayahku yang menemukannya duluan, dikirim lewat e-mail kantornya," kata Namgil.

"Ya ampun." Dongwon geleng-geleng kepala sembari menatap dokumen itu, membolak-balik halaman demi halaman, seolah dia juga tidak percaya. Matanya kentara menerawang jauh, bernostalgia ke masa lalu. "Aku tidak menyangka, maksudku, dokumen pendaftaran murid baru bukan bagianku. Ini jatah staff akademik, aku tidak pernah... tidak pernah kepikiran memeriksa satu-persatu, bodohnya aku baru tahu sekarang. Kalian dihukum bareng pula. Kok bisa kebetulan begini...?"

Ponsel berdering di kantong celana Dongwon. Pria itu bangkit dari kursi sambil merogoh ke dalam saku.

"Halo?" Kerutan di jidatnya bertambah. Dongwon menyadari ada tujuh pasang mata yang sedang menatapnya penasaran. Agak risih dipelototi begitu, Dongwon menjauhkan ponsel dari telinga. "Anak-anak, tunggu sebentar, saya mau ambil tas saya yang ketinggalan di gedung seberang. Kalian tunggu saja di sini." Dia melempar peringatan lewat sorot mata. "Jangan kemana-mana!"

Sembari berbicara pada ponsel, pria itu buru-buru menghampiri pintu.

Dan lagi-lagi pintu tertutup di belakang punggungnya.

.

.

Bersambung...

1
QueenRaa🌺
Keren banget ceritanya thorr✨️ Semangat up!!
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Mara Rainey: siappp aku akan mampir. makasih juga lho udah berkenan mampir dan meninggalkan komentar serta vote. /Heart/
total 1 replies
QueenRaa🌺
satu kata untuk novel ini, SERU!
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami
Mara Rainey: Makasih bangett untuk reviewnya, aku akan berusaha lebih baik lagi dan lebih semangat lagi. senengg banget dikunjungin author favoritkuuu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!