Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2 : Hanya Sendiri
“Hamil?” ulang Jagat.
“Ya.” Dokter itu mengangguk. “Dia sudah siuman.”
"Baiklah. Terima kasih."
Setelah membayar biaya pemeriksaan, Jagat membawa wanita itu pergi dari sana.
“Siapa namamu?” tanya Jagat, setelah hanya berdua dengan wanita penjual sapu tangan itu.
“Jenna.”
“Jenna,” ulang Jagat. “Ini sudah malam. Selain itu, kamu juga sedang hamil. Sebaiknya, kuantar pulang.”
“Tidak usah,” tolak Jenna pelan. “Aku sudah sangat merepotkan Anda, Pak.”
Jagat menggumam pelan. “Pepatah mengatakan, ‘Jangan setengah-setengah dalam menolong orang lain.’ Masuklah. Biar kuantar pulang. Kamu bisa turun sebelum tiba di depan rumah. Dengan begitu, suamimu ….”
Jagat tidak melanjutkan kalimatnya, berhubung Jenna lebih dulu masuk ke mobil. Wanita muda itu duduk, lalu memasang sabuk pengaman.
“Berapa biaya yang harus kuganti?” tanya Jenna, setelah Jagat melajukan kendaraan.
“Maksudmu?” Jagat menoleh sekilas, sebelum kembali mengarahkan perhatian ke depan.
“Biaya periksa ke dokter tadi pasti mahal. Sejujurnya, hari ini aku hanya mendapat sedikit uang. Jadi, kuberikan semua sapu tangan ini. Anda bisa memakainya untuk membersihkan debu, kotoran di kaca, atau … atau buang saja bila tidak membutuhkan ini sama sekali. Aku tidak punya apa-apa lagi.” Jenna tertunduk, sambil memainkan tepian blus kemeja lengan pendek yang dikenakannya.
“Aku memang tidak membutuhkan sapu tangan yang kamu jual. Jadi, simpan saja untuk besok lagi,” tolak Jagat.
Jenna menggeleng pelan. “Tidak semua orang tertarik dengan sapu tangan. Padahal, satu lembar ini kubuat berhari-hari. Aku juga tidak mematok harga tinggi. Namun ….”
“Jangan mudah menyerah. Terkadang, kita harus melewati jalan terjal untuk tiba di tujuan. Seorang entrepreneur tak akan mundur dengan mudah, hanya karena satu atau dua kali kegagalan.”
“Entahlah. Terdengar sangat mudah bagi seseorang yang sudah berdiri tegak di kaki sendiri,” ucap Jenna. Dari nada bicaranya, ada keputusasaan yang begitu besar.
Jagat menggumam pelan. Dia ingin menanggapi, tetapi merasa tak pantas berbicara terlalu banyak, pada seseorang yang belum dikenal baik. Pria itu memilih diam dan fokus pada lalu lintas yang mulai sepi.
"Apa kamu berjualan setiap hari?" tanya Jagat.
"Iya," jawab Jenna pelan.
"Sampai larut malam?" Jagat menoleh sekilas, sebelum kembali mengarahkan perhatian ke depan.
Kali ini, Jenna hanya mengangguk pelan.
"Apa kamu tahu sedang hamil atau ______"
"Aku tahu. Itulah kenapa aku harus bekerja keras. Namun, aku bingung memulainya dari mana," sela Jenna.
"Lalu, suamimu?" tanya Jagat lagi. Namun, sesaat kemudian, pria itu tersadar. "Ah, maaf. Aku tidak bermaksud menginterogasimu. Aku hanya penasaran karena kamu sedang hamil, tetapi masih berada di jalanan hingga larut malam begini."
Jenna yang awalnya hanya menunduk, kali ini mengangkat wajah. "Aku tidak punya suami."
Sontak, Jagat menginjak pedal rem hingga mobil itu berhenti mendadak. Tubuh Jenna bahkan sampai maju dan hampir terantuk ke dashboard. Untunglah, dia memakai sabuk pengaman.
"Maaf," ucap Jagat. "Aku ... aku hanya terkejut."
Jenna menoleh, lalu tersenyum kecil. "Aku bisa memahaminya. Keadaan seperti ini, sangat memalukan. Namun, aku harus menerima segala konsekuensi.” Wanita muda berambut panjang itu menggeleng pelan.
“Berapa umurmu?” tanya Jagat, yang tak segera melajukan kembali kendaraannya.
“23 tahun,” jawab Jenna.
“Astaga. Muda sekali,” gumam Jagat tak percaya. “Bagaimana tanggapan orang tuamu?”
Jenna tak langsung menjawab. Dia menatap Jagat, dengan sorot tak dapat diartikan. “Anda pikir bagaimana, Pak? Aku tidak akan berada di jalanan hingga larut malam begini. Kelaparan. Aku belum makan dari tadi siang.”
Jenna kembali tertunduk. “Hari ini, sapu tanganku hanya terjual satu buah. Padahal, harganya cuma 15 ribu.”
“Ya, Tuhan,” gumam Jagat teramat pelan. Rasa iba menggelayuti sudut hatinya. Dia menatap Jenna beberapa saat, barulah mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Ayo, turun," ajak Jagat, seraya melepas sabuk pengaman.
"Ke mana, Pak?"
"Ikut saja." Jagat tersenyum kecil, sebelum keluar dari mobil.
Jenna tak banyak bertanya lagi. Wanita muda itu ikut turun, lalu mengekor langkah gagah Jagat menuju rumah makan khas Sunda, yang buka 24 jam.
"Pak, aku tidak punya uang," ucap Jenna agak berbisik. Dia hendak berbalik keluar dari sana.
Namun, Jagat segera meraih pergelangan tangan Jenna. Menahan wanita muda itu agar tidak ke mana-mana.
"Maaf," ucap Jagat, langsung melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan Jenna. "Aku yang bayar. Jangan khawatir."
"Ta-tapi ...." Jenna jadi serba salah. Namun, dia tak bisa menolak. Apalagi, perutnya sudah keroncongan sejak siang.
Beberapa menu khas Sunda, sudah tersaji di meja. Namun, Jenna tak segera menyantapnya. Wanita muda itu tampak ragu. Jenna hanya memperhatikan makanan di hadapannya.
"Kenapa?" tanya Jagat keheranan.
Jenna mengalihkan perhatian kepada Jagat. "Siapa Anda? Kenapa melakukan semua ini untukku? Kita tidak saling mengenal dan ...." Jenna menatap sayu. Paras cantiknya tampak agak pucat.
"Tidak perlu saling mengenal untuk berbagi kebaikan. Begitu, kan?" Jagat tersenyum simpul. "Makanlah."
Meskipun agak ragu, Jenna mulai menyantap makanan yang telah tersaji. Namun, makin lama rasa ragunya hilang. Wanita muda itu menyantap isi dalam piring dengan sangat lahap.
Sementara itu, Jagat hanya memperhatikan dengan tatapan tak dapat diartikan. Entah apa yang ada dalam benak pria 41 tahun tersebut.
Jenna. Wanita muda itu terlihat sangat menyedihkan. Pakaian serta tatanan rambutnya biasa saja, bahkan terbilang lusuh. Mungkin karena itu juga, tak ada yang tertarik dengan barang dagangannya.
"Biar kuantar pulang," ucap Jagat, setelah keluar dari rumah makan.
"Aku bisa pulang sendiri," tolak Jenna halus.
"Ini sudah terlalu malam. Sangat berbahaya bagi wanita muda sepertimu."
Jenna tersenyum kecil. "Aku tidak peduli lagi, Pak. Kalaupun besok atau lusa orang-orang menemukan mayatku tergeletak di jalanan ...." Jenna menggeleng pelan. "Tak akan ada yang peduli," ucapnya kemudian.
"Bagaimana kamu tahu tak ada yang peduli pada hidupmu?"
"Aku menjalani semua ini sendirian." Jenna tersenyum getir.
"Biar kuantar pulang. Mari." Jagat tak ingin berlama-lama di sana karena malam kian larut.
"Ta-tapi ...." Lagi-lagi, Jenna terlihat ragu.
"Kenapa?"
Jenna menggeleng. "Tempat tinggalku sudah dekat dari sini. Aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki," tolak wanita muda itu.
"Terima kasih untuk semua yang Anda lakukan malam ini. Aku tidak akan pernah melupakannya." Jenna memberikan kresek berisi sapu tangan yang akan dijual. Dia tak peduli, meskipun Jagat menolak benda itu sejak awal.
"Selamat malam." Jenna berlalu meninggalkan Jagat yang terpaku menatap kepergiannya.
Jagat memicingkan mata, kemudian bergegas masuk ke mobil. Dia mengikuti Jenna secara diam-diam.
Beberapa saat kemudian, Jagat menghentikan laju kendaraan, dengan tetap menjaga jarak. Dari sana, dia mengawasi Jenna yang memasuki kawasan kumuh. "Ya, ampun," gumamnya.