NovelToon NovelToon
Cinta 'Terkontrak'

Cinta 'Terkontrak'

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Romansa / Slice of Life / Chicklit
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.

Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sosok Misterius.

Bagi sebagian besar kaum hawa, berbelanja, pergi ke salon dan menjalani perawatan kecantikan adalah bentuk terbaik dari healing. Begitu pula dengan Maha dan Niken. Di hari libur kerja mereka, kedua gadis cantik ini memilih untuk memanjakan diri, melupakan sejenak rutinitas yang melelahkan.

Sejak pagi, mereka sudah melangkahkan kaki ke salon langganan mereka di pusat kota, menikmati setiap momen perawatan tubuh. Dari ujung rambut hingga kaki, mereka merasakan kenyamanan yang hanya bisa didapatkan dari tangan-tangan terampil para terapis. Aroma harum dari minyak esensial mengisi udara, membuat suasana semakin rileks. Kini, mereka berdua di puncak healing mereka—berbelanja di salah satu butik pakaian ternama.

Setelah berpisah dengan Niken didalam butik, Maha, melangkah santai mengitari rak-rak pakaian. Matanya berbinar saat mencari busana santai yang akan ia kenakan di rumah. Kakinya yang berbalut sepatu datar bergerak perlahan di atas lantai marmer, sementara jarinya menyentuh kain-kain lembut yang menggantung rapi.

Saat itulah, pandangannya tertumbuk pada sebuah kimono lingerie berbahan satin yang menggantung di salah satu rak. Warnanya merah muda, berkilauan dibawah pencahayaan butik yang hangat. Potongan yang simpel namun elegan, dengan sentuhan renda halus di tepinya, membuat pakaian ini terlihat begitu memikat, meski desainnya minim.

Tangan Maha terulur untuk menyentuh kain satin yang lembut itu, merasakan sensasi halus di ujung jari-jarinya yang membuatnya tersenyum kecil, memikirkan koleksi kimono lingerie yang sudah ia miliki di rumah. Bukan untuk hal-hal yang tidak senonoh, melainkan untuk kenyamanan tidurnya. Bagi Maha, keindahan dan kenyamanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Tanpa ragu, Maha mengambil beberapa potong dengan warna yang berbeda. Masing-masing memiliki pesona tersendiri, dan ia tahu betul bahwa rasa nyaman yang akan ia rasakan nanti malam akan setimpal dengan keputusannya sekarang.

“Aduh, duh… cantik banget.” Gumam Maha dengan senyum puas. Ia pun melanjutkan langkahnya, membawa pakaian-pakaian itu seolah setiap helai kain yang ia pilih adalah simbol rasa sayang pada dirinya sendiri.

Setelah menyelesaikan pembayaran, Maha melangkah menuju Niken yang masih sibuk berkutat memilih pakaian di antara rak-rak butik sambil membawa tas belanjaan dengan tersenyum. Sesampainya di dekat Niken, Maha memiringkan kepala, menatap Niken yang tampak serius memandangi deretan koas.

“Kamu mau beli apa sih, Ken? Lama banget, deh, milihnya,” tanyanya.

“Kaos, nih…” jawab Niken sambil memegang kaos berwarna pastel. “Tapi, kayaknya aku kurang suka, mahal…” imbuhnya

Maha memutar bola matanya sambil mendengus pelan. Ia tahu Niken selalu berhati-hati dalam memilih barang, terutama soal harga.

“Kamu udah? Beli apa?” Tanya Niken, sambil mengalihkan perhatiannya dari rak pakaian yang ia telusuri.

“Kimono lingerie,” jawab Maha.

“Buat ‘pat pat' sama Sadewa, ya?” Ceplos Niken dengan seringai nakal, menggoda Maha dengan tawa kecil yang menggelitik.

“Pat pat? Apa itu?” Tanya Maha dengan kening mengerut, bingung dengan istilah yang tiba-tiba meluncur dari mulut Niken.

Niken hanya tertawa dengan sedikit nakal, kemudian menggerakkan lidahnya dengan kocak. Sehingga pipi kanannya menonjol, Maha, langsung merasa geli sekaligus kesal dan reflek memukul lengan Niken.

Plak!

“Mesum! Pikiranmu jauh banget!” Sungut Maha, matanya melotot tajam. Wajahnya merah padam karena malu dan marah sekaligus.

Melihat wajah Maha yang memerah, Niken, langsung tertawa lepas. Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi Niken selain menggoda sahabatnya yang satu itu.

“Tapi jujur, deh, ya sama aku. Kita ngomongin hal yang realistis aja dan terlepas dari kontrak kalian. Misalnya, nih, misalnya… Sadewa ngajak kamu bercinta, kira-kira kamu mau nggak? Hm?” Tanya Niken, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

Maha menelan ludahnya, perasaan panas langsung menjalar ke pipinya. Pertanyaan Niken sangat mendalam, membuatnya merasa sangat malu.

“Dih! Jawab, Maha!” Niken menggoyangkan tubuh Maha. Sementara Maha, merasa semakin tidak nyaman, ia gugup dan mencari cara untuk menghindari jawabannya.

“Nggak mau, lah! Emangnya aku cewek apaan?!” Maha mengangkat bahunya, menutupi rasa canggung yang melanda.

“Halah, nggak usah munafik, anjir! Sadewa itu sempurna, semua yang ada dalam kriteria wanita didunia ada di sosok Sadewa. Tampan, kaya, mapan, dan tubuhnya proporsional. Siapa yang bakal nolak, Maha?” Jelas Niken, matanya berbinar seperti sedang membicarakan sesuatu yang luar biasa.

Iya, sih. Sadewa emang ganteng banget dan idaman wanita, gumam Maha dalam hati, meskipun dia berusaha menyembunyikan perasaan itu.

“Nggak semua wanita butuh itu semua, Ken. Aku nggak munafik, aku juga pengen banget punya pasangan yang kaya raya, karena di jaman sekarang apa-apa butuh uang. Tapi, penyayang dan pengertian itu juga penting. Apalagi aku udah lama nggak dapet kasih sayang dari kedua orang tuaku, jadi aku pengen banget punya pasangan yang bisa treat aku seperti Ratu, pengen banget aku kayak gitu, seolah-olah aku ini hal yang paling berharga, lebih dari harta," jelas Maha.

“Sadewa bisa, kok, treat kamu kayak Ratu. Tapi, dia dingin…” Niken terkekeh, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa lebih dalam.

Benar, Maha bukan gadis yang munafik. Dia menginginkan kemewahan duniawi, tapi lebih dari itu, dia menginginkan cinta yang tulus—sesuatu yang selama ini terasa begitu jauh darinya. Hidup sebagai gadis yatim piatu, jauh dari kasih sayang orang tua, membuat Maha merasa kesepian. Cinta seolah menjadi sesuatu yang langkah, yang sulit didapatkan, meskipun semua kemewahan dunia ada disekitarnya.

“Kadang, aku cuma pengen merasa dihargai, Ken. Rasanya... semua orang cuma melihat ku karena apa yang aku punya, bukan siapa aku.” Maha menunduk, ia berkata pelan hampir berbisik. Mimik wajahnya redup, seolah beban emosional itu sedang menumpuk di pundak nya.

...****************...

Ketika mobil Maha akhirnya memasuki area basement apartemennya, ia segera keluar dan membuka bagasi mobil, untuk mengambil belanjaannya. Beberapa paperbag ia keluarkan satu-persatu. Hari ini terasa seperti healing baginya, meskipun pengeluarannya cukup besar dan sedikit menguras isi rekeningnya. Maha merasa itu tidak masalah, yang terpenting baginya adalah bisa menikmati waktu tanpa tekanan, tanpa ada ikatan apapun dengan Sadewa. Sesederhana itu, ia merasa lega.

Maha melangkah ke arah lift, sambil mengatur barang-barang belanjaannya di tangan. Begitu pintu lift terbuka dan tombol lantai ditekan, ponsel yang ada di dalam tasnya mendadak berdering. Cepat-cepat ia merogoh tas untuk mengambil ponsel dan seketika itu, senyum lembut merekah di bibirnya, saat melihat nama terpampang di layar.

Mas Danu calling...

“Halo, Mas…” sapa Maha begitu panggilan telepon tersambung.

“Iya… halo, Maha…” jawab Danu dengan suara tenang namun penuh perhatian dari seberang telepon.

“Tumben nelpon, ada apa? Hm, besok mau ngajak berangkat bareng ke kantor, ya?” Tebak Maha sambil terkekeh kecil.

Ting!

Pintu lift terbuka, dan Maha tetap menempelkan ponselnya di telinga, terus berjalan menuju unit apartemen dengan langkah yang tenang sambil menunggu respon Danu.

“Iya… kalau kamu nggak keberatan, besok aku jemput. nggak apa-apa, ‘kan?” Tanya Danu, sedikit ragu namun tetap berharap.

Maha sampai didepan pintu unitnya, tanpa berlama-lama, ia menekan angka di panel pintu. Sebelum menjawab, ia sempat tersenyum kecil. Rasanya, tawaran Danu itu sangat menyentuh hatinya.

Beep!

Mas Danu gemes banget, sih? Ngapain coba dia minta izin? Kan, bisa langsung jemput aja, pikir Maha sambil terkekeh kecil. Namun, langkahnya terhenti sejenak saat ia hampir sampai pintu di kamarnya. Pandangannya teralihkan pada sosok tinggi dengan pakaian serba hitam, wajahnya tertutup tudung, tengah berdiri membelakanginya.

Sosok itu tampak sibuk dengan peralatan masak didapur, seolah tak menyadari kehadiran Maha. Hal itu membuat Maha memusatkan perhatian, matanya sedikit menyipit berusaha mengamati lebih jelas sosok misterius itu.

“Bagaimana, Maha?” Suara Danu terdengar lagi dari seberang telepon, membuat Maha terkejut.

“Ah, sebentar ya, Mas. Teleponnya aku matikan dulu, nanti aku hubungi lagi.” Jawab Maha buru-buru, suaranya sedikit cemas.

Tanpa menunggu respon lebih lanjut dari Danu, Maha langsung mematikan sambungan telepon itu menaruh ponselnya kembali kedalam tas. Pikirannya kini terfokus pada sosok di dapur. Suasana yang tadinya terasa nyaman, tiba-tiba terasa mencekam.

Maha meletakkan paper bag-nya dengan cepat di lantai, lalu dengan cemas ia berjalan pelan-pelan menuju dekat kamarnya. Tangannya bergetar saat meraih tongkat golf. Kalau aku pukul, tapi dia bawa pistol atau sajam lainnya, gimana? Pikirnya, membuat hatinya berdebar-debar, gemetaran saat memegang tongkat golf.

Sosok itu jelas bukan orang yang dikenal Maha. Maling? Penyusup? Maha semakin yakin, karena selain dirinya tidak ada orang yang tahu password untuk membuka pintu unitnya. Dengan nafas tertahan, Maha melangkah maju. Ia memegang tongkat golf itu erat-erat sambil menatap sosok misterius itu dari kejauhan.

“Heh! Siapa kamu?” Teriak Maha, suaranya sedikit serak karena ketegangan. Ia mengulurkan tongkat golf kedepan, siap bertindak jika diperlukan.

“Pergi! Atau aku laporin ke polisi! Karena kamu udah masuk ke unit ku tanpa izin!” Maha mengancam lagi, berusaha terdengar lebih percaya diri meskipun ia ketakutan.

Maha berusaha menenangkan diri, namun kepalanya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Siapa orang ini, dan apa yang sebenarnya dia inginkan? Sayangnya, sosok itu tetap tidak bergerak, asyik dengan kegiatannya di dapur seolah tidak mendengar teriakkan Maha. Apa dia setan? Batinnya, ia bahkan sampai menunduk untuk melihat lebih jelas guna memperhatikan kaki sosok itu. Napak lantai, kok, berarti bukan setan? Batinnya lagi dengan lega, meskipun tangannya kini semakin gemetaran.

Sosok itu masih tampak tidak terganggu dengan kehadiran Maha, seakan Maha hanyalah bayangan dalam suasana yang mencekam ini. Tak berapa lama, tubuh Maha terperanjat tatkala sosok itu berbalik.

“Pak Sadewa?!” Pekik Maha, matanya membelalak lebar hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja melihatnya.

Sadewa, pria itu hanya menatap sekilas Maha tanpa ekspresi, lalu melanjutkan langkahnya menuju meja makan di pojok ruangan. Dengan tenang, ia meletakkan dua piring diatas meja, seolah tidak terjadi apa-apa.

Sementara Maha, ia masih terpaku di tempatnya. Tubuhnya terasa kaku dan pikirannya mendadak kacau. Sadewa tahu password apartemen ku dari mana? Dan ngapain dia disini? Batinnya, bingung.

Suasana dalam unit Maha kini penuh ketegangan. Maha menatap Sadewa yang kini duduk dengan santai, seakan tidak ada masalah sama sekali.

“Mau sampai kapan kamu berdiri disitu, hm?” Celetuk Sadewa, menatap Maha sambil membuka tudung hoodie-nya, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan meluruskan kakinya.

Dengan perasaan marah dan cemas bercampur aduk, Maha dengan hati-hati melangkah maju mendekati meja makan, matanya tak lepas dari sosok Sadewa yang kini terlihat sangat tenang.

“Dari mana Anda tahu password unit saya? Dan kenapa Anda berani masuk tanpa izin saya? Saya ingin penjelasan sekarang juga!” Tanya Maha dengan serius, sementara Sadewa tersenyum smirk tanpa segera menjawab pertanyaan Maha. “Jawab saya, Pak Sadewa!” Sentak Maha, suaranya sedikit bergetar. Namun, tekadnya untuk tahu apa sebenarnya terjadi lebih besar dari rasa takutnya.

1
Bunda Mimi
thor bab 21 dan 22 nya kok sudah tidak ada ya
Bunda Mimi: ok siap thor
Lucky ᯓ★: terimakasih atas dukungannya kak, dan mohon maaf jika nanti update ulang dengan isi yang sama. aku revisi karena biar lebih nyaman untuk dibaca, juga ini saran dari editor saya
total 4 replies
Wayan Sucani
Luar biasa
Wayan Sucani
Rasanya berat bgt
catalina trujillo
Bikin ketawa sampe perut sakit.
Lửa
Ngakak sampai sakit perut 😂
Kiyo Takamine and Zatch Bell
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!