Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17 Kejaran Berlanjut
Raka mengarahkan motornya dengan kecepatan tinggi, melintasi jalanan Jakarta yang mulai ramai. Di belakangnya, Nadia dan Pak Hasan mengikuti dengan penuh kewaspadaan. Meski mereka berhasil mengalahkan dua pria bersenjata yang mencoba menghentikan perjalanan mereka, ancaman itu masih jauh dari selesai. Mereka tahu, orang-orang di balik layar persekongkolan ini tidak akan berhenti sampai tujuan mereka tercapai.
Raka menatap kaca spion motor, memastikan bahwa tidak ada kendaraan mencurigakan yang mengikuti mereka. Kecepatan yang mereka tempuh membuat mereka sulit dikenali, namun Raka tahu ini hanya masalah waktu sebelum musuh menemukan jejak mereka. Ia memegang erat dokumen yang disembunyikan di dalam tas ransel, menjadi satu-satunya kunci untuk mengungkap kejahatan yang sudah merajalela di Jakarta.
“Tunggu dulu, Rak,” kata Nadia yang mengendarai motor di belakang Raka. “Jangan terlalu cepat, kita harus pastikan nggak ada yang nyusul kita.”
Raka mengangguk tanpa menjawab, matanya terus waspada memandang jalanan. Mereka sudah berada di luar pusat kota, melewati jalan-jalan yang lebih sepi dan kurang terang.
Ini adalah jalur alternatif yang mereka rencanakan untuk menghindari deteksi musuh. Namun, rasa was-was tidak bisa hilang begitu saja. Di belakang mereka, jalanan tampak kosong, tapi di depan, mereka belum tahu apa yang menanti.
Setelah beberapa kilometer melaju, mereka tiba di sebuah persimpangan yang terlihat sepi. Raka memutuskan untuk berhenti sejenak, menilai kondisi sekitar. Ia berhenti di bawah sebuah pohon besar yang memberikan sedikit perlindungan dari terik matahari siang. Pak Hasan yang mengikuti di belakangnya segera berhenti dan turun dari motornya.
“Ada apa, Rak?” tanya Pak Hasan, matanya menyiratkan kekhawatiran.
“Kita nggak bisa terus maju dengan cara ini,” jawab Raka dengan suara pelan. “Kita butuh informasi lebih lanjut. Gue rasa kita akan segera menghadapi sesuatu yang lebih besar.”
Nadia turun dari motornya dan bergabung dengan mereka. “Lo bener, Rak. Kita nggak bisa hanya lari terus-menerus. Kita perlu tahu siapa yang ngejar kita dan apa yang sebenarnya mereka inginkan.”
Raka menghela napas panjang, kemudian melihat ke arah jalan yang sepi. “Kalau kita terus bersembunyi, kita nggak akan pernah tahu siapa yang di belakang semua ini. Kita harus berhenti sejenak, tapi jangan biarkan mereka menemukan kita. Mereka pasti sudah mengejar lagi.”
Pak Hasan mengangguk. “Kita bisa mencari tempat yang lebih aman untuk menyembunyikan bukti ini, tapi kita harus hati-hati. Waktu kita nggak banyak.”
Mereka berdiskusi beberapa saat sebelum memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, dengan hati-hati memilih jalan yang lebih sunyi dan aman. Namun, ketegangan semakin meningkat. Mereka tahu bahwa setiap detik yang mereka habiskan di jalan ini semakin memperburuk situasi.
**Kebenaran yang Terungkap**
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di sebuah tempat yang cukup terpencil, sebuah desa kecil di luar Jakarta. Raka merasa agak lega karena tempat ini jauh dari keramaian, dan lebih sulit untuk ditemukan.
Mereka menyembunyikan motor dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Tujuan mereka adalah mencari seorang informan yang mungkin bisa memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai siapa yang menginginkan dokumen itu.
Ketika mereka tiba di rumah informan mereka, Raka merasakan ketegangan yang semakin menambah beban pikirannya. Namun, ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Saat pintu terbuka, seorang pria berusia paruh baya menyambut mereka.
“Lo datang juga akhirnya,” kata pria itu, membuka pintu lebar-lebar. “Kita nggak punya banyak waktu. Mereka udah tahu kalian datang.”
Raka segera merasakan adanya sesuatu yang tak beres. “Maksud lo apa? Siapa yang tahu kita datang?”
Pria itu menatap mereka dengan serius. “Ada orang-orang yang ingin menghentikan kalian. Mereka punya lebih banyak orang daripada yang kalian kira. Tapi, ada satu orang yang bisa membantu—tapi kalian harus cepat. Semuanya ada di tangan KPK sekarang.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar rumah. Mereka mendengar mobil mendekat, dan rasa cemas menyelimuti mereka. Raka segera memberi isyarat kepada Nadia dan Pak Hasan untuk bersembunyi di dalam rumah.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pintu rumah terbuka lagi, dan empat orang pria bersenjata memasuki rumah. Mereka mengenakan masker, menyembunyikan identitas mereka. Satu pria di depan menyeringai.
“Gue nggak ingin membuat masalah, Raka,” kata pria itu dengan suara rendah, tetapi penuh ancaman. “Tapi lo tahu apa yang harus lo lakukan. Serahkan dokumen itu sekarang, atau ini akan berakhir buruk untuk lo.”
Raka berdiri tegak, tak menunjukkan tanda-tanda takut. “Kalian bisa ambil apapun yang kalian mau, tapi lo nggak akan dapetin dokumen ini. Kalau lo nekat, gue janji akan pastiin semuanya selesai hari ini. Bahkan lo sendiri yang akan menyesal.”
Pria itu tersenyum sinis, lalu mengangkat senjata. “Kalau itu keputusan lo, kita akan bicarakan itu dengan cara lain.”
Tanpa peringatan lebih lanjut, pria itu melepaskan tembakan pertama ke arah Raka. Tembakan itu hanya sedikit melewati tubuh Raka, yang langsung melompat ke samping, bersembunyi di balik meja kayu besar di ruang tamu.
“Ayo!” seru Raka kepada Nadia dan Pak Hasan. “Lari sekarang!”
Dengan kecepatan tinggi, Raka, Nadia, dan Pak Hasan bergerak untuk menghindari serangan berikutnya. Mereka bergerak gesit, mencoba melawan para pria bersenjata itu, tetapi situasinya semakin memanas. Raka bisa merasakan ada beberapa musuh yang sudah siap dengan serangan balasan yang lebih mematikan.
Suara tembakan bergema di seluruh rumah, sementara Raka dan kelompoknya berusaha bertahan hidup. Masing-masing bergerak cepat, berusaha menghindar dari serangan. Ketegangan semakin memuncak, dan Raka tahu bahwa waktu mereka semakin habis. Mereka harus melarikan diri secepat mungkin atau semuanya akan berakhir di sini.
suara tembakan yang terus terdengar dan langkah kaki yang semakin mendekat. Raka dan kelompoknya berdiri di ujung jurang, berjuang untuk bertahan hidup, dengan harapan bahwa kebenaran akhirnya akan terungkap—meskipun harga yang harus dibayar sangat tinggi.
Raka merasakan ketegangan yang memuncak. Dengan tembakan yang semakin deras, ia tahu bahwa mereka tak bisa lagi terus bersembunyi. Rencana mereka untuk melarikan diri semakin sulit, dan musuh yang dihadapi lebih banyak dari yang mereka perkirakan.
Dalam sekejap, Raka membuat keputusan. Ia berbalik dan menarik Nadia serta Pak Hasan ke arah pintu belakang rumah. “Kita harus keluar lewat sini! Mereka pasti sudah mengepung rumah depan!”
Namun, saat mereka berlari menuju pintu belakang, pria bersenjata yang tadi berdiri di depan pintu rumah segera menghalangi jalan mereka. “Ke mana kalian lari? Nggak ada tempat aman di sini,” ujar pria itu dengan suara dingin, senjata masih terhunus di tangannya.
Raka menatap pria itu, napasnya terengah-engah.
“Jangan coba main-main. Lo tahu siapa yang gue bawa. Lo nggak bisa nahan ini lebih lama.”
Namun, pria itu hanya tertawa. “Lo pikir gue takut? Kita udah lama menunggu untuk saat ini, dan sekarang lo akan menyerah, Raka.”
Dengan cepat, Raka berlari ke samping dan menendang meja besar yang ada di dekatnya, membuatnya terjatuh ke arah pria itu. Pria itu terpaksa mundur sejenak untuk menghindari meja yang jatuh tepat di depannya.
Tanpa membuang waktu, Raka segera menarik Nadia dan Pak Hasan ke luar pintu belakang.
“Cepat!”
serunya dengan nada panik. Mereka berlari melintasi halaman rumah yang gelap, melintasi jalanan sempit di belakangnya yang menuju ke hutan kecil.
Tembakan-tembakan yang terdengar semakin dekat, menandakan bahwa musuh tidak akan menyerah. Dalam kecepatan mereka berlari, Raka merasakan betapa beratnya beban yang mereka bawa.
Hanya beberapa langkah lagi sebelum mereka mencapai batas hutan, tempat yang bisa memberi mereka kesempatan untuk bersembunyi sejenak.
Namun, sebelum mereka sampai ke hutan, suara mesin mobil terdengar semakin mendekat. Raka menoleh dan melihat sebuah mobil hitam datang dengan kecepatan tinggi. Pintu belakang terbuka, dan dari dalam mobil, muncul beberapa orang pria bersenjata lain yang langsung mengarahkan senjata mereka ke arah mereka.
“Udah cukup, Raka,” kata seorang pria, dengan suara yang jelas penuh ancaman. “Sekarang, serahkan bukti itu, dan lo semua bisa pergi dengan aman.”
Raka tahu bahwa ini adalah titik kritis. Tidak ada lagi ruang untuk mundur. Satu-satunya cara untuk keluar dari sini adalah dengan melawan dan bertahan. Ia menarik napas panjang, menatap Nadia dan Pak Hasan.
“Kalian siap, kan?”
Nadia mengangguk. “Kita nggak bisa menyerah.”
Pak Hasan, yang selama ini hanya diam, tiba-tiba berkata,
“Lo nggak sendirian, Raka. Kami ikut.”
Dengan tekad yang semakin bulat, Raka melangkah maju, menantang para pria bersenjata itu. Perasaan takut memang ada, namun kini ia tahu bahwa mereka tak hanya melawan musuh, mereka melawan ketidakadilan yang sudah merajalela begitu lama.
“Ayo coba kalau berani,” kata Raka dengan suara tegas, berusaha menenangkan dirinya meskipun hati berdebar kencang.
Suasana semakin tegang. Ketika mobil semakin dekat dan pria-pria bersenjata itu menyiapkan diri untuk serangan selanjutnya, Raka dan kelompoknya tahu mereka tak punya banyak pilihan. Jalan di depan mereka dipenuhi ancaman.
Pertarungan ini akan menentukan segalanya apakah mereka bisa bertahan hidup, ataukah semuanya akan berakhir di sini.
Keputusan Raka untuk terus maju tanpa menyerah menunjukkan kekuatan tekadnya.
Dalam hati, ia berdoa agar mereka bisa selamat dan akhirnya membawa kebenaran itu ke tempat yang tepat. Namun, bahaya masih mengintai di depan. Pertarungan yang lebih sengit dan lebih berbahaya sudah menanti mereka.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)